Bela Permukiman Ilegal, AS Bikin Konflik Israel-Palestina Makin Runyam
A
A
A
WASHINGTON - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Michael Pompeo telah mengumumkan perubahan kebijakan Washington terhadap permukiman Israel di Tepi Barat. Washington kini menganggap permukiman di tanah Palestina yang diduduki rezim Zionis itu sesuai hukum internasional.
Pompeo mengatakan AS tidak akan lagi mematuhi pendapat hukum Departemen Luar Negeri 1978 tentang penyelesaian wilayah tersebut. Dia bersikeras perubahan kebijakan yang menyakitkan Palestina ini tidak akan membuat Amerika diisolasi komunitas global.
Analis mengkritik langkah AS, dengan mengatakan keputusan itu akan membuat konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih dari 70 tahun semakin runyam dan penyelesaian konflik menjadi lebih sulit.
"Dia dapat menyatakan bahwa malam adalah siang, tetapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa permukiman Israel tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga merupakan hambatan besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan kita," kata Hagit Ofran dari kelompok Israel anti-permukiman Peace Now.
Pengumuman Pompeo menandai contoh besar ketiga di mana pemerintahan Trump berpihak pada Israel dan terhadap posisi Palestina dan Arab. (Baca: Bela Israel, AS Anggap Permukiman Tepi Barat Sesuai Hukum Internasional )
Pada 2017 Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan, pada 2018, Amerika Serikat secara resmi membuka kedutaan di sana. Padahal, kebijakan AS sebelumnya adalah bahwa status Yerusalem harus diputuskan oleh para pihak yang terlibat konflik.
Pada bulan Maret, Trump mengakui pencaplokan Dataran Tinggi Golan oleh Israel tahun 1981 dari Suriah yang memicu kemarahan Damaskus.
Sampai Senin malam, tidak ada negara lain yang mengikuti Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa mereka telah berhenti memandang permukiman Israel di Tepi Barat sebagai pelanggaran hukum internasional.
Langkah pemerintah Trump diduga mungkin bertujuan untuk membantu Netanyahu ketika dia mencoba untuk tetap berkuasa. Setelah dua pemilu yang tidak meyakinkan tahun ini, Netanyahu dan saingannya Benjamin Gantz berjuang untuk membentuk koalisi yang berkuasa.
Martin Indyk, mantan negosiator perdamaian AS, menggambarkan keputusan pemerintah Trump sebagai "langkah yang serampangan".
“Mengapa menampar muka orang Palestina lagi? Mengapa mendorong gerakan permukiman/pencaplokan pada saat Gantz sedang berusaha membentuk pemerintahan?," tanya dia, seperti dikutip Reuters, Selasa (19/11/2019).
Pompeo mengatakan AS tidak akan lagi mematuhi pendapat hukum Departemen Luar Negeri 1978 tentang penyelesaian wilayah tersebut. Dia bersikeras perubahan kebijakan yang menyakitkan Palestina ini tidak akan membuat Amerika diisolasi komunitas global.
Analis mengkritik langkah AS, dengan mengatakan keputusan itu akan membuat konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih dari 70 tahun semakin runyam dan penyelesaian konflik menjadi lebih sulit.
"Dia dapat menyatakan bahwa malam adalah siang, tetapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa permukiman Israel tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga merupakan hambatan besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan kita," kata Hagit Ofran dari kelompok Israel anti-permukiman Peace Now.
Pengumuman Pompeo menandai contoh besar ketiga di mana pemerintahan Trump berpihak pada Israel dan terhadap posisi Palestina dan Arab. (Baca: Bela Israel, AS Anggap Permukiman Tepi Barat Sesuai Hukum Internasional )
Pada 2017 Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan, pada 2018, Amerika Serikat secara resmi membuka kedutaan di sana. Padahal, kebijakan AS sebelumnya adalah bahwa status Yerusalem harus diputuskan oleh para pihak yang terlibat konflik.
Pada bulan Maret, Trump mengakui pencaplokan Dataran Tinggi Golan oleh Israel tahun 1981 dari Suriah yang memicu kemarahan Damaskus.
Sampai Senin malam, tidak ada negara lain yang mengikuti Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa mereka telah berhenti memandang permukiman Israel di Tepi Barat sebagai pelanggaran hukum internasional.
Langkah pemerintah Trump diduga mungkin bertujuan untuk membantu Netanyahu ketika dia mencoba untuk tetap berkuasa. Setelah dua pemilu yang tidak meyakinkan tahun ini, Netanyahu dan saingannya Benjamin Gantz berjuang untuk membentuk koalisi yang berkuasa.
Martin Indyk, mantan negosiator perdamaian AS, menggambarkan keputusan pemerintah Trump sebagai "langkah yang serampangan".
“Mengapa menampar muka orang Palestina lagi? Mengapa mendorong gerakan permukiman/pencaplokan pada saat Gantz sedang berusaha membentuk pemerintahan?," tanya dia, seperti dikutip Reuters, Selasa (19/11/2019).
(mas)