Pengadilan Hong Kong Tolak Tangguhkan Larangan Penggunaan Topeng
A
A
A
HONG KONG - Sebuah pengadilan di Hong Kong menolak gugatan terhadap undang-undang darurat yang melarang penggunaan topeng saat aksi demonstrasi. Tantangan hukum di pengadilan Tinggi Hong Kong ini adalah upaya kedua setelah upaya awal gagal pada Jumat malam, beberapa jam setelah Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan larangan tersebut.
Anggota parlemen Hong Kong Dennis Kwok sebelumnya membandingkan kekuatan darurat pemerintah dengan monarki absolut.
"Ini adalah situasi (mirip) Henry VIII. Ini pada dasarnya, saya katakan apa itu hukum dan saya katakan kapan itu berhenti menjadi hukum. Bukan seperti itu konstitusi kita bekerja," ujarnya seperti dikutip dari Deutsche Welle, Minggu (6/10/2019).
Larangan penggunaan topeng perlu disetujui oleh dewan legislatif wilayah tersebut, yang dilanjutkan kembali pada 16 Oktober mendatang.
Sementara para penggugat gagal membuat larangan topeng ditangguhkan, mereka memenangkan peninjauan kembali, yang akan dilanjutkan pada akhir Oktober.
Pada hari Jumat, Kepala Eksekutif Carrie Lam memberlakukan undang-undang darurat era kolonial yang terakhir kali digunakan lebih dari 50 tahun lalu. Langkah itu diambil untuk mencoba dan mengakhiri aksi protes yang telah berlangsung selama berbulan-bulan terhadap pemerintahannya dan pemerintah Beijing.
Lam mengatakan penggunaan undang-undang darurat dibenarkan karena aksi kekerasan ekstrem pada saat aksi protes, yang terjadi setelah pemerintah menerapkan larangan mengenakan topeng pada demonstrasi. Penggunaan topeng adalah salah satu cara peserta aksi melindungi diri dari identifikasi dan pengawasan.
Sejak itu banyak warga Hong Kong yang memakai topeng guna menentang larangan itu, beberapa bahkan melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar, melempar bom Molotov dan membakar bendera China. Seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun ditembak dan terluka pada hari Jumat ketika seorang petugas polisi, yang dikelilingi oleh pengunjuk rasa, menembakkan senjata dinasnya. Sebelumnya, seorang remaja lain ditembak dan terluka oleh polisi ketika dia menyerang seorang perwira ketika China merayakan 70 tahun kekuasaan Partai Komunis.
Aksi protes awalnya dimulai pada bulan Maret sebagai sikap oposisi terhadap RUU ekstradisi yang telah dihapus. Namun sejak itu aksi mereka berubah dengan tuntutan yang lebih luas.
Demonstran menyerukan demokrasi yang dijanjikan kepada mereka ketika wilayah itu diserahkan ke China dari Inggris pada tahun 1997, dan ketakutan hidup di bawah otoritarianisme yang hadir dari China.
Anggota parlemen Hong Kong Dennis Kwok sebelumnya membandingkan kekuatan darurat pemerintah dengan monarki absolut.
"Ini adalah situasi (mirip) Henry VIII. Ini pada dasarnya, saya katakan apa itu hukum dan saya katakan kapan itu berhenti menjadi hukum. Bukan seperti itu konstitusi kita bekerja," ujarnya seperti dikutip dari Deutsche Welle, Minggu (6/10/2019).
Larangan penggunaan topeng perlu disetujui oleh dewan legislatif wilayah tersebut, yang dilanjutkan kembali pada 16 Oktober mendatang.
Sementara para penggugat gagal membuat larangan topeng ditangguhkan, mereka memenangkan peninjauan kembali, yang akan dilanjutkan pada akhir Oktober.
Pada hari Jumat, Kepala Eksekutif Carrie Lam memberlakukan undang-undang darurat era kolonial yang terakhir kali digunakan lebih dari 50 tahun lalu. Langkah itu diambil untuk mencoba dan mengakhiri aksi protes yang telah berlangsung selama berbulan-bulan terhadap pemerintahannya dan pemerintah Beijing.
Lam mengatakan penggunaan undang-undang darurat dibenarkan karena aksi kekerasan ekstrem pada saat aksi protes, yang terjadi setelah pemerintah menerapkan larangan mengenakan topeng pada demonstrasi. Penggunaan topeng adalah salah satu cara peserta aksi melindungi diri dari identifikasi dan pengawasan.
Sejak itu banyak warga Hong Kong yang memakai topeng guna menentang larangan itu, beberapa bahkan melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar, melempar bom Molotov dan membakar bendera China. Seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun ditembak dan terluka pada hari Jumat ketika seorang petugas polisi, yang dikelilingi oleh pengunjuk rasa, menembakkan senjata dinasnya. Sebelumnya, seorang remaja lain ditembak dan terluka oleh polisi ketika dia menyerang seorang perwira ketika China merayakan 70 tahun kekuasaan Partai Komunis.
Aksi protes awalnya dimulai pada bulan Maret sebagai sikap oposisi terhadap RUU ekstradisi yang telah dihapus. Namun sejak itu aksi mereka berubah dengan tuntutan yang lebih luas.
Demonstran menyerukan demokrasi yang dijanjikan kepada mereka ketika wilayah itu diserahkan ke China dari Inggris pada tahun 1997, dan ketakutan hidup di bawah otoritarianisme yang hadir dari China.
(ian)