Pakar: Korut Uji Senjata 'Kreatif' yang Dapat Mengancam AS
A
A
A
SEOUL - Mengklik serangkaian slide foto yang menggambarkan tes rudal Korea Utara (Korut) baru-baru ini, pakar pertahanan militer Korea Selatan (Korsel) Choi Kang bereaksi dengan nada yang menunjukkan dia takut sekaligus terkesan.
"Ini benar-benar pemikiran imajinatif atau kreatif untuk menggunakan rudal," kata Choi, mantan direktur Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan dan sekarang wakil presiden Institut Asan untuk Studi Kebijakan, sebuah kelompok think tank konservatif terkemuka di Seoul, sebagaimana dikutip dari CNN, Senin (9/9/2019).
Para ahli mengatakan uji coba rudal terbaru rezim Kim Jong-un menunjukkan Pyongyang—untuk pertama kalinya—secara aktif menggunakan uji coba senjata untuk menargetkan titik lemah dalam sistem pertahanan rudal canggih yang melindungi Amerika Serikat (AS), Jepang dan Korea Selatan.
Sebelum melanjutkan uji coba rudal balistik pada bulan Mei, Korea Utara tidak melakukan uji coba penembakan rudal sejak November 2017. Jeda itu merupakan faktor penting dalam membantu menciptakan kondisi yang tepat untuk pertemuan pertama antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada Juni 2018.
Trump dan Kim telah bertemu pada dua kesempatan lain sejak itu, tetapi hanya sedikit kemajuan yang dibuat antara kedua belah pihak.
Trump telah mengecilkan bahaya dari serangkaian uji coba rudal Korut belum lama ini. Dia menyoroti fakta bahwa Kim hanya setuju untuk berhenti menguji coba rudal jarak jauh dan bom nuklir.
Namun, serangkaian peluncuran rudal itu melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB dan mengancam Korea Selatan dan Jepang.
"Kim Jong-un telah, Anda tahu, cukup lurus dengan saya, saya pikir," kata Presiden Trump kepada wartawan pada 23 Agustus lalu.
"Dan kami akan melihat apa yang sedang terjadi, melihat apa yang terjadi. Dia suka menguji coba rudal, tetapi kami tidak pernah membatasi rudal jarak pendek, kami akan lihat apa yang terjadi. Banyak negara menguji rudal itu."
Namun, para ahli khawatir bahwa tes senjata ini menunjukkan Pyongyang lebih jauh dalam pengembangan senjatanya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Secara teoritis rudal terbaru Korut dapat diaktifkan dengan pemberitahuan yang lebih singkat dan terbang lebih cepat dari pendahulunya.
Para pakar tersebut memperingatkan kemampuan baru teknologi itu dapat diterapkan pada rudal jarak jauh yang dapat menjangkau daratan AS.
"Tampaknya bagi saya bahwa Korea Utara memiliki kemampuan rudal asli yang sangat, sangat kuat dan ... (mampu) untuk mengerahkan semua rudal dalam waktu yang sangat singkat," kata Choi.
Menargetkan Celah
Korea Utara menunda program senjatanya selama 17 bulan untuk memungkinkan perundingan, tetapi moratorium itu rusak pada 4 Mei ketika negara komunis tersebut menguji sistem senjata baru. Tujuan peluncuran, seperti dilaporkan media pemerintah Korea Utara, adalah untuk "memeriksa kemampuan operasi dan akurasi kinerja tugas yang mencolok dari peluncur roket berkaliber besar jarak jauh dan senjata taktis."
Itu saja sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran, tetapi serangkaian tes paling jitu datang hanya beberapa hari di bulan Juli.
Kemudian, Korea Utara menembakkan serangkaian rudal jarak pendek pada ketinggian sebagian besar antara 25 kilometer hingga 50 kilometer di berbagai jarak antara 220 kilometer hingga 600 kilometer dari berbagai lokasi peluncuran.
Korea Utara menyatakan AS dan Korea Selatan melakukan provokasi dengan melanjutkan latihan militer gabungan, yang sebagian besar terdiri dari simulasi komputer. Pyongyang juga marah dengan pembelian jet tempur siluman F-35 oleh Seoul.
Choi dan para pakar lain mengatakan ketinggian rudal yang diuji coba Korut mengindikasikan bahwa rezim Kim Jong-un menargetkan celah dalam dua sistem pertahanan rudal, yakni sistem pertahanan rudal Patriot dan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD).
Sistem THAAD memiliki kemampuan menargetkan rudal di kisaran ketinggian 50 hingga 150 kilometer, sedangkan sistem Patriot mampu menargetkan rudal musuh di kisaran ketinggian 30 kilometer ke bawah. Korea Selatan sedang mengembangkan sesuatu untuk menutupi celah tersebut.
Kim Dong-yub, seorang analis di Institute for Far Eastern Studies di Kyungnam University di Seoul, mengatakan rudal yang diuji coba Korut dapat menghindari sistem pertahanan rudal Korea Selatan karena ketinggian terbang misil terlalu tinggi untuk ditargetkan oleh baterai Patriot dan terlalu rendah untuk ditargetkan THAAD.
Analis di Korea Selatan percaya bahwa Korea Utara menguji setidaknya tiga jenis senjata baru; sistem roket berpemandu dan berkaliber besar, sistem rudal yang setara dengan sistem misil Iskander Rusia dan "senjata baru" yang diuji pada 10 Agustus, yang terbang sekitar 400 kilometer.
Tidak jelas apakah rudal yang baru-baru ini diuji oleh Korea Utara dirancang untuk membawa hulu ledak nuklir atau tidak.
"Nuklir atau bukan...ini adalah rudal yang mengancam dua sekutu terpenting kami dan sekutu utama kami di timur laut Asia," kata pensiunan Jenderal Angkatan Darat AS Vincent Brooks, seorang mantan komandan Pasukan AS-Korea Selatan. "Ini pasti sesuatu yang harus ditangani Amerika Serikat."
Brooks memimpin hampir 650.000 tentara AS dan Korea Selatan yang membentuk Komando Pasukan Gabungan AS-Korea Selatan dari April 2016 hingga November 2018. Itu merupakan salah satu periode paling aktif di Semenanjung Korea.
Hubungan tegang pernah memuncak ketika Korea Utara menguji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) pada 28 November 2017, yang menurut Pyongyang bisa mencapai daratan AS. Setelah peluncuran ICBM itu, Brooks mulai menghitung hari sampai tes berikutnya dengan hati-hati. Dia terus melakukannya setelah pensiun dan menonton perkembangan di Semenanjung Korea dari rumahnya di Austin, Texas. Hitungannya berhenti pada 520 hari pada 4 Mei.
Ketika analis mengkhawatirkan peningkatan aktivitas militer Korea Utara baru-baru ini, Brooks menyatakan keyakinannya pada kemampuan aliansi untuk mempertahankan semenanjung Korea, meskipun ia menolak untuk mengungkapkan kemampuan pertahanan khusus. Dia juga mengatakan tes senjata Pyongyang justru memudahkan AS dan sekutunya "untuk memahami kemampuan" dari sistem senjata Korea Utara.
"Saya yakin bahwa komando militer di sana, di Korea dan sekitarnya, sedang memikirkan apa sebenarnya yang dapat kami lakukan untuk itu," kata Brooks. Sementara hitungan hari bebas provokasi tertunda untuk saat ini, Brooks masih berharap untuk resolusi damai.
"Saya merindukan hari-hari ketika Korea bisa bebas dari pengaruh eksternal yang mencegah mereka menentukan caranya sendiri; Saya merindukan hari-hari ketika Korea bisa bersatu, dan saya ingin mereka mencapainya dan saya akan jujur bahwa di situlah hati saya," paparnya.
"Ini benar-benar pemikiran imajinatif atau kreatif untuk menggunakan rudal," kata Choi, mantan direktur Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan dan sekarang wakil presiden Institut Asan untuk Studi Kebijakan, sebuah kelompok think tank konservatif terkemuka di Seoul, sebagaimana dikutip dari CNN, Senin (9/9/2019).
Para ahli mengatakan uji coba rudal terbaru rezim Kim Jong-un menunjukkan Pyongyang—untuk pertama kalinya—secara aktif menggunakan uji coba senjata untuk menargetkan titik lemah dalam sistem pertahanan rudal canggih yang melindungi Amerika Serikat (AS), Jepang dan Korea Selatan.
Sebelum melanjutkan uji coba rudal balistik pada bulan Mei, Korea Utara tidak melakukan uji coba penembakan rudal sejak November 2017. Jeda itu merupakan faktor penting dalam membantu menciptakan kondisi yang tepat untuk pertemuan pertama antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada Juni 2018.
Trump dan Kim telah bertemu pada dua kesempatan lain sejak itu, tetapi hanya sedikit kemajuan yang dibuat antara kedua belah pihak.
Trump telah mengecilkan bahaya dari serangkaian uji coba rudal Korut belum lama ini. Dia menyoroti fakta bahwa Kim hanya setuju untuk berhenti menguji coba rudal jarak jauh dan bom nuklir.
Namun, serangkaian peluncuran rudal itu melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB dan mengancam Korea Selatan dan Jepang.
"Kim Jong-un telah, Anda tahu, cukup lurus dengan saya, saya pikir," kata Presiden Trump kepada wartawan pada 23 Agustus lalu.
"Dan kami akan melihat apa yang sedang terjadi, melihat apa yang terjadi. Dia suka menguji coba rudal, tetapi kami tidak pernah membatasi rudal jarak pendek, kami akan lihat apa yang terjadi. Banyak negara menguji rudal itu."
Namun, para ahli khawatir bahwa tes senjata ini menunjukkan Pyongyang lebih jauh dalam pengembangan senjatanya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Secara teoritis rudal terbaru Korut dapat diaktifkan dengan pemberitahuan yang lebih singkat dan terbang lebih cepat dari pendahulunya.
Para pakar tersebut memperingatkan kemampuan baru teknologi itu dapat diterapkan pada rudal jarak jauh yang dapat menjangkau daratan AS.
"Tampaknya bagi saya bahwa Korea Utara memiliki kemampuan rudal asli yang sangat, sangat kuat dan ... (mampu) untuk mengerahkan semua rudal dalam waktu yang sangat singkat," kata Choi.
Menargetkan Celah
Korea Utara menunda program senjatanya selama 17 bulan untuk memungkinkan perundingan, tetapi moratorium itu rusak pada 4 Mei ketika negara komunis tersebut menguji sistem senjata baru. Tujuan peluncuran, seperti dilaporkan media pemerintah Korea Utara, adalah untuk "memeriksa kemampuan operasi dan akurasi kinerja tugas yang mencolok dari peluncur roket berkaliber besar jarak jauh dan senjata taktis."
Itu saja sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran, tetapi serangkaian tes paling jitu datang hanya beberapa hari di bulan Juli.
Kemudian, Korea Utara menembakkan serangkaian rudal jarak pendek pada ketinggian sebagian besar antara 25 kilometer hingga 50 kilometer di berbagai jarak antara 220 kilometer hingga 600 kilometer dari berbagai lokasi peluncuran.
Korea Utara menyatakan AS dan Korea Selatan melakukan provokasi dengan melanjutkan latihan militer gabungan, yang sebagian besar terdiri dari simulasi komputer. Pyongyang juga marah dengan pembelian jet tempur siluman F-35 oleh Seoul.
Choi dan para pakar lain mengatakan ketinggian rudal yang diuji coba Korut mengindikasikan bahwa rezim Kim Jong-un menargetkan celah dalam dua sistem pertahanan rudal, yakni sistem pertahanan rudal Patriot dan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD).
Sistem THAAD memiliki kemampuan menargetkan rudal di kisaran ketinggian 50 hingga 150 kilometer, sedangkan sistem Patriot mampu menargetkan rudal musuh di kisaran ketinggian 30 kilometer ke bawah. Korea Selatan sedang mengembangkan sesuatu untuk menutupi celah tersebut.
Kim Dong-yub, seorang analis di Institute for Far Eastern Studies di Kyungnam University di Seoul, mengatakan rudal yang diuji coba Korut dapat menghindari sistem pertahanan rudal Korea Selatan karena ketinggian terbang misil terlalu tinggi untuk ditargetkan oleh baterai Patriot dan terlalu rendah untuk ditargetkan THAAD.
Analis di Korea Selatan percaya bahwa Korea Utara menguji setidaknya tiga jenis senjata baru; sistem roket berpemandu dan berkaliber besar, sistem rudal yang setara dengan sistem misil Iskander Rusia dan "senjata baru" yang diuji pada 10 Agustus, yang terbang sekitar 400 kilometer.
Tidak jelas apakah rudal yang baru-baru ini diuji oleh Korea Utara dirancang untuk membawa hulu ledak nuklir atau tidak.
"Nuklir atau bukan...ini adalah rudal yang mengancam dua sekutu terpenting kami dan sekutu utama kami di timur laut Asia," kata pensiunan Jenderal Angkatan Darat AS Vincent Brooks, seorang mantan komandan Pasukan AS-Korea Selatan. "Ini pasti sesuatu yang harus ditangani Amerika Serikat."
Brooks memimpin hampir 650.000 tentara AS dan Korea Selatan yang membentuk Komando Pasukan Gabungan AS-Korea Selatan dari April 2016 hingga November 2018. Itu merupakan salah satu periode paling aktif di Semenanjung Korea.
Hubungan tegang pernah memuncak ketika Korea Utara menguji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) pada 28 November 2017, yang menurut Pyongyang bisa mencapai daratan AS. Setelah peluncuran ICBM itu, Brooks mulai menghitung hari sampai tes berikutnya dengan hati-hati. Dia terus melakukannya setelah pensiun dan menonton perkembangan di Semenanjung Korea dari rumahnya di Austin, Texas. Hitungannya berhenti pada 520 hari pada 4 Mei.
Ketika analis mengkhawatirkan peningkatan aktivitas militer Korea Utara baru-baru ini, Brooks menyatakan keyakinannya pada kemampuan aliansi untuk mempertahankan semenanjung Korea, meskipun ia menolak untuk mengungkapkan kemampuan pertahanan khusus. Dia juga mengatakan tes senjata Pyongyang justru memudahkan AS dan sekutunya "untuk memahami kemampuan" dari sistem senjata Korea Utara.
"Saya yakin bahwa komando militer di sana, di Korea dan sekitarnya, sedang memikirkan apa sebenarnya yang dapat kami lakukan untuk itu," kata Brooks. Sementara hitungan hari bebas provokasi tertunda untuk saat ini, Brooks masih berharap untuk resolusi damai.
"Saya merindukan hari-hari ketika Korea bisa bebas dari pengaruh eksternal yang mencegah mereka menentukan caranya sendiri; Saya merindukan hari-hari ketika Korea bisa bersatu, dan saya ingin mereka mencapainya dan saya akan jujur bahwa di situlah hati saya," paparnya.
(mas)