Sarat Materi Jihad, Kurikulum Sekolah Palestina Dianggap Lebih Radikal
A
A
A
RAMALLAH - Sebuah lembaga penelitian internasional menilai kurikulum sekolah Otoritas Palestina saat ini lebih radikal dari kurikulum sebelumnya. Alasannya, materi kurikulum dibebani dengan ide-ide kemartiran dan jihad.
Penilaian itu disampaikan oleh IMPACT-se, sebuah lembaga penelitian dan kebijakan yang menganalisis bagaimana buku teks diukur dengan standar UNESCO untuk penerimaan, perdamaian dan toleransi.
Menurut IMPACT-se, kurikulum sekolah Otoritas Palestina mendorong anak-anak untuk mati syahid, dan bahkan menghitung para martir dalam soal matematika seperti anak-anak menghitung apel.
"Melihat buku-buku pelajaran di Timur Tengah, kami telah melihat peningkatan," kata CEO IMPACT-se, Marcus Sheff, kepada Fox News.
"Itu benar untuk kurikulum Yordania, kurikulum Tunisia memiliki standar yang baik dan kami melihat peningkatan di Mesir," ujarnya.
"Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya dari kurikulum Palestina," papar Sheff. "Kurikulum baru yang direformasi diberlakukan antara 2016 dan 2019 dan lebih radikal dari kurikulum yang datang sebelumnya."
Dia menambahkan bahwa kurikulum saat ini mendorong anak-anak sekolah untuk mengorbankan diri mereka sendiri. "Konten yang berkaitan dengan perdamaian dengan Israel telah sengaja dikeluarkan dari kurikulum," imbuh Sheff, yang dilansir Rabu (4/9/2019).
Sheff mengatakan kepada Fox News bahwa penelitian lembaganya menemukan bahwa studi sosial, sejarah dan buku teks Arab di Otoritas Palestina untuk kelas 2 sampai 12 terdapat "konten yang bermasalah".
Dia menambahkan bahwa lembaga itu juga menemukan konten yang bermasalah dalam sains."Termasuk mengajar matematika dengan bertanya orang-orang muda melakukan penambahan (jumlah) para martir dalam Intifada Pertama dan Intifada Kedua dan bertanya kepada mereka berapa banyak martir, daripada menggunakan penghitungan apel," kata Sheff.
Intifada Pertama adalah pemberontakan Palestina terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza yang dimulai pada Desember 1987 dan mengakibatkan kematian lebih dari 2.000 orang. Intifada Kedua dimulai pada September 2000 dengan seruan untuk melakukan kekerasan setelah kunjungan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke Temple Mount, sebuah situs suci untuk umat Yahudi dan Muslim di Yerusalem. Lebih dari 4.000 orang terbunuh dalam minggu-minggu berikutnya setelah para pemimpin Palestina melepaskan gelombang bom bunuh diri yang mematikan.
Tahun lalu, Parlemen Eropa mengesahkan undang-undang yang ditujukan untuk mencegah konten kebencian dalam materi pendidikan Palestina.
IMPACT-se dan organisasi lain juga menyajikan contoh konten anti-Israel dan anti-Yahudi di buku teks Palestina bulan lalu dalam sesi ke-99 Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) di Swiss.
"Untuk pertama kalinya sebuah komite PBB meminta Palestina untuk menghentikan pidato kebencian setelah IMPACT-se mempresentasikan kepada komite (CERD) anti-Semitisme dan kebencian dalam buku-buku teks Palestina," kata Sheff, merujuk pada sebuah laporan yang dikeluarkan oleh CERD pekan lalu.
Sheff juga mencatat bahwa undang-undang yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada bulan April tahun ini memiliki tujuan untuk mencegah kebencian dalam kurikulum sekolah.
"Legislasi yang diloloskan Komite Urusan Luar Negeri House, HR2343, adalah kesempatan bagi Kongres AS untuk menambahkan suaranya kepada Parlemen Eropa dan PBB dalam menuntut agar kebencian dalam kurikulum dihapus sekali dan untuk semua," kata Sheff.
Sheff mengatakan IMPACT-se akan terus mempresentasikan temuannya kepada Kongres AS, PBB dan legislator di seluruh dunia."Khususnya negara-negara donor yang mendanai Kementerian Pendidikan Palestina," ujarnya.
Dia mengatakan lembaganya akan terus menuntut agar kurikulumnya diubah."Anak-anak Palestina diajari bahwa cara untuk menyelesaikan konflik adalah melalui penciptaan perdamaian dan bukan perang berkelanjutan," katanya.
Baik Kementerian Pendidikan Palestina maupun misi Palestina di PBB tidak segera menanggapi permintaan komentar dari Fox News.
Penilaian itu disampaikan oleh IMPACT-se, sebuah lembaga penelitian dan kebijakan yang menganalisis bagaimana buku teks diukur dengan standar UNESCO untuk penerimaan, perdamaian dan toleransi.
Menurut IMPACT-se, kurikulum sekolah Otoritas Palestina mendorong anak-anak untuk mati syahid, dan bahkan menghitung para martir dalam soal matematika seperti anak-anak menghitung apel.
"Melihat buku-buku pelajaran di Timur Tengah, kami telah melihat peningkatan," kata CEO IMPACT-se, Marcus Sheff, kepada Fox News.
"Itu benar untuk kurikulum Yordania, kurikulum Tunisia memiliki standar yang baik dan kami melihat peningkatan di Mesir," ujarnya.
"Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya dari kurikulum Palestina," papar Sheff. "Kurikulum baru yang direformasi diberlakukan antara 2016 dan 2019 dan lebih radikal dari kurikulum yang datang sebelumnya."
Dia menambahkan bahwa kurikulum saat ini mendorong anak-anak sekolah untuk mengorbankan diri mereka sendiri. "Konten yang berkaitan dengan perdamaian dengan Israel telah sengaja dikeluarkan dari kurikulum," imbuh Sheff, yang dilansir Rabu (4/9/2019).
Sheff mengatakan kepada Fox News bahwa penelitian lembaganya menemukan bahwa studi sosial, sejarah dan buku teks Arab di Otoritas Palestina untuk kelas 2 sampai 12 terdapat "konten yang bermasalah".
Dia menambahkan bahwa lembaga itu juga menemukan konten yang bermasalah dalam sains."Termasuk mengajar matematika dengan bertanya orang-orang muda melakukan penambahan (jumlah) para martir dalam Intifada Pertama dan Intifada Kedua dan bertanya kepada mereka berapa banyak martir, daripada menggunakan penghitungan apel," kata Sheff.
Intifada Pertama adalah pemberontakan Palestina terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza yang dimulai pada Desember 1987 dan mengakibatkan kematian lebih dari 2.000 orang. Intifada Kedua dimulai pada September 2000 dengan seruan untuk melakukan kekerasan setelah kunjungan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke Temple Mount, sebuah situs suci untuk umat Yahudi dan Muslim di Yerusalem. Lebih dari 4.000 orang terbunuh dalam minggu-minggu berikutnya setelah para pemimpin Palestina melepaskan gelombang bom bunuh diri yang mematikan.
Tahun lalu, Parlemen Eropa mengesahkan undang-undang yang ditujukan untuk mencegah konten kebencian dalam materi pendidikan Palestina.
IMPACT-se dan organisasi lain juga menyajikan contoh konten anti-Israel dan anti-Yahudi di buku teks Palestina bulan lalu dalam sesi ke-99 Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) di Swiss.
"Untuk pertama kalinya sebuah komite PBB meminta Palestina untuk menghentikan pidato kebencian setelah IMPACT-se mempresentasikan kepada komite (CERD) anti-Semitisme dan kebencian dalam buku-buku teks Palestina," kata Sheff, merujuk pada sebuah laporan yang dikeluarkan oleh CERD pekan lalu.
Sheff juga mencatat bahwa undang-undang yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada bulan April tahun ini memiliki tujuan untuk mencegah kebencian dalam kurikulum sekolah.
"Legislasi yang diloloskan Komite Urusan Luar Negeri House, HR2343, adalah kesempatan bagi Kongres AS untuk menambahkan suaranya kepada Parlemen Eropa dan PBB dalam menuntut agar kebencian dalam kurikulum dihapus sekali dan untuk semua," kata Sheff.
Sheff mengatakan IMPACT-se akan terus mempresentasikan temuannya kepada Kongres AS, PBB dan legislator di seluruh dunia."Khususnya negara-negara donor yang mendanai Kementerian Pendidikan Palestina," ujarnya.
Dia mengatakan lembaganya akan terus menuntut agar kurikulumnya diubah."Anak-anak Palestina diajari bahwa cara untuk menyelesaikan konflik adalah melalui penciptaan perdamaian dan bukan perang berkelanjutan," katanya.
Baik Kementerian Pendidikan Palestina maupun misi Palestina di PBB tidak segera menanggapi permintaan komentar dari Fox News.
(mas)