Rusia Sebut Barat Perlakukan Teroris Suriah seperti Bayi Tak Bersalah
A
A
A
NEW YORK - Moskow melalui Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Dmitry Polyanskiy, mengecam negara-negara Barat yang menyerukan penghentian aksi bersenjata setiap kali pasukan Suriah merebut wilayah dan memukul mundur kelompok teroris.
"Rekan-rekan Barat kami menguatkan erangan dan seruan mereka untuk menghentikan aksi bersenjata, seolah-olah melupakan keputusan bersama kami untuk memerangi terorisme dengan cara yang tak kenal kompromi," katanya.
"Kemudian, seperti yang Anda lihat hari ini, teroris (seperti) menjadi bayi yang tidak bersalah. Konsensus yang mendukung sebuah Suriah baru yang damai yang dimiliki oleh orang-orang Suriah daripada anak didik dan tentara bayaran Barat sudah ada. Teroris dan mereka yang mendukungnya bukanlah orang-orang yang memegang inisiatif," ujar Polyanskiy seperti dikutip Sputniknews, Jumat (30/8/2019).
Koordinator Politik Inggris untuk PBB, Stephen Hickey, sebelumnya mengklaim pada hari Kamis selama pertemuan DK PBB bahwa masih ada lebih banyak bayi daripada teroris di Idlib.
Konflik bersenjata di Suriah telah berlangsung sejak 2011. Pada Agustus 2015, Presiden Suriah Bashar al-Assad meminta bantuan militer Rusia dalam menghadapi pasukan oposisi bersenjata, termasuk sejumlah organisasi teroris.
Pasukan pemerintah Assad telah mendapatkan kembali kendali atas sebagian besar wilayah dan menyatakan kemenangan atas kelompok teroris Daesh atau ISIS. Kendati demikian, beberapa bagian dari provinsi Idlib masih dikendalikan kelompok teroris seperti Jabhat al-Nusra.
Pada awal Agustus, gencatan senjata yang telah lama dibahas diberlakukan di Idlib. Para pemimpin militer Suriah mengatakan akan melanjutkan operasi militernya di Suriah barat laut jika Turki gagal melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian Turki-Rusia pada September 2018 yang dicapai di Sochi.
Tiga hari kemudian, pada 5 Agustus, pasukan pemerintah Suriah melanjutkan operasi karena ketidakpatuhan militan dengan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia dan Turki.
Rusia, Turki dan Iran adalah penjamin gencatan senjata di Suriah yang terkena dampak konflik. Rusia melakukan operasi kemanusiaan di seluruh negeri secara teratur dan membantu Damaskus dalam menyediakan jalan yang aman bagi kembalinya para pengungsi Suriah.
"Rekan-rekan Barat kami menguatkan erangan dan seruan mereka untuk menghentikan aksi bersenjata, seolah-olah melupakan keputusan bersama kami untuk memerangi terorisme dengan cara yang tak kenal kompromi," katanya.
"Kemudian, seperti yang Anda lihat hari ini, teroris (seperti) menjadi bayi yang tidak bersalah. Konsensus yang mendukung sebuah Suriah baru yang damai yang dimiliki oleh orang-orang Suriah daripada anak didik dan tentara bayaran Barat sudah ada. Teroris dan mereka yang mendukungnya bukanlah orang-orang yang memegang inisiatif," ujar Polyanskiy seperti dikutip Sputniknews, Jumat (30/8/2019).
Koordinator Politik Inggris untuk PBB, Stephen Hickey, sebelumnya mengklaim pada hari Kamis selama pertemuan DK PBB bahwa masih ada lebih banyak bayi daripada teroris di Idlib.
Konflik bersenjata di Suriah telah berlangsung sejak 2011. Pada Agustus 2015, Presiden Suriah Bashar al-Assad meminta bantuan militer Rusia dalam menghadapi pasukan oposisi bersenjata, termasuk sejumlah organisasi teroris.
Pasukan pemerintah Assad telah mendapatkan kembali kendali atas sebagian besar wilayah dan menyatakan kemenangan atas kelompok teroris Daesh atau ISIS. Kendati demikian, beberapa bagian dari provinsi Idlib masih dikendalikan kelompok teroris seperti Jabhat al-Nusra.
Pada awal Agustus, gencatan senjata yang telah lama dibahas diberlakukan di Idlib. Para pemimpin militer Suriah mengatakan akan melanjutkan operasi militernya di Suriah barat laut jika Turki gagal melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian Turki-Rusia pada September 2018 yang dicapai di Sochi.
Tiga hari kemudian, pada 5 Agustus, pasukan pemerintah Suriah melanjutkan operasi karena ketidakpatuhan militan dengan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia dan Turki.
Rusia, Turki dan Iran adalah penjamin gencatan senjata di Suriah yang terkena dampak konflik. Rusia melakukan operasi kemanusiaan di seluruh negeri secara teratur dan membantu Damaskus dalam menyediakan jalan yang aman bagi kembalinya para pengungsi Suriah.
(mas)