Sekjen PBB Khawatir 'Peti Mati' Nuklir di Pasifik Bocor
A
A
A
SUVA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, khawatir kubah beton penampung limbah tes bom nuklir di Pasifik bocor. Kubah yang dia gambarkan sebagai "peti mati" nuklir itu berisiko mengeluarkan bahan radioaktif yang bisa menjadi bencana mengerikan.
Berbicara kepada pelajar di Fiji pada hari Kamis, Guterres mengatakan kubah beton di Enewetak Atoll, Kepulauan Marshall adalah warisan dari uji coba bom nuklir era Perang Dingin di Pasifik.
"Pasifik menjadi korban di masa lalu seperti yang kita semua tahu," kata Guterres, merujuk pada ledakan nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Prancis di wilayah tersebut.
Di Marshalls, banyak penduduk pulau dievakuasi secara paksa dari tanah leluhur dan dimukimkan kembali. Ribuan warga lainnya terkena dampak radioaktif.
Tes senjata nuklir di wilayah itu termasuk bom hidrogen "Bravo" tahun 1954, bom terkuat yang pernah diledakkan oleh AS. Kekuatan bom Bravo itu sekitar 1.000 kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima.
Guterres, yang sedang melakukan perjalanan ke Pasifik Selatan untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu perubahan iklim, mengatakan penduduk kepulauan Pasifik masih membutuhkan bantuan untuk menghadapi dampak dari uji coba senjata nuklir.
"Konsekuensi dari ini sangat dramatis, dalam kaitannya dengan kesehatan, dalam kaitannya dengan keracunan air di beberapa daerah," katanya.
"Saya baru saja bersama presiden Kepulauan Marshall (Hilda Heine), yang sangat khawatir karena ada risiko bocornya bahan radioaktif yang terkandung dalam semacam peti mati di daerah itu," ujarnya, seperti dikutip Sputnik, Jumat (17/5/2019).
"Peti mati" nuklir tersebut dibangun pada akhir 1970-an di Pulau Runit, bagian dari Enewetak Atoll, sebagai tempat pembuangan limbah dari uji coba bom nuklir.
Tanah yang tercemar radioaktif dan abu dari ledakan bom nuklir berada kawah dan ditutup dengan kubah beton setebal 45 cm.
Kubah beton yang sudah tua itu dikhawatirkan pecah jika terkena topan tropis.
Berbicara kepada pelajar di Fiji pada hari Kamis, Guterres mengatakan kubah beton di Enewetak Atoll, Kepulauan Marshall adalah warisan dari uji coba bom nuklir era Perang Dingin di Pasifik.
"Pasifik menjadi korban di masa lalu seperti yang kita semua tahu," kata Guterres, merujuk pada ledakan nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Prancis di wilayah tersebut.
Di Marshalls, banyak penduduk pulau dievakuasi secara paksa dari tanah leluhur dan dimukimkan kembali. Ribuan warga lainnya terkena dampak radioaktif.
Tes senjata nuklir di wilayah itu termasuk bom hidrogen "Bravo" tahun 1954, bom terkuat yang pernah diledakkan oleh AS. Kekuatan bom Bravo itu sekitar 1.000 kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima.
Guterres, yang sedang melakukan perjalanan ke Pasifik Selatan untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu perubahan iklim, mengatakan penduduk kepulauan Pasifik masih membutuhkan bantuan untuk menghadapi dampak dari uji coba senjata nuklir.
"Konsekuensi dari ini sangat dramatis, dalam kaitannya dengan kesehatan, dalam kaitannya dengan keracunan air di beberapa daerah," katanya.
"Saya baru saja bersama presiden Kepulauan Marshall (Hilda Heine), yang sangat khawatir karena ada risiko bocornya bahan radioaktif yang terkandung dalam semacam peti mati di daerah itu," ujarnya, seperti dikutip Sputnik, Jumat (17/5/2019).
"Peti mati" nuklir tersebut dibangun pada akhir 1970-an di Pulau Runit, bagian dari Enewetak Atoll, sebagai tempat pembuangan limbah dari uji coba bom nuklir.
Tanah yang tercemar radioaktif dan abu dari ledakan bom nuklir berada kawah dan ditutup dengan kubah beton setebal 45 cm.
Kubah beton yang sudah tua itu dikhawatirkan pecah jika terkena topan tropis.
(mas)