511 Hari Dipenjara di Myanmar, Dua Wartawan Reuters Bebas
A
A
A
YANGON - Dua wartawan Reuters yang dipenjara di Myanmar menghirup udara bebas setelah lebih dari 500 hari berada di balik jeruji besi. Mereka bebas setelah mendapatkan amnesti dari Presiden Myanmar bersama ribuan tahanan lainnya.
Wa Lone (33) dan Kyaw Soe Oo (29) dihukum pada bulan September lalu dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara setelah dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Rahasia Negara. Mereka dibebaskan di bawah amnesti presiden untuk 6.520 tahanan. Presiden Win Myint telah memaafkan ribuan tahanan lain dalam amnesti massal sejak bulan lalu.
Diserbut oleh media dan simpatisan saat mereka berjalan melewati gerbang Penjara Insein, di pinggiran Yangon, Wa Lone tersenyum sembari mengacungkan jempol. Ia mengucapkan terima kasih atas upaya internasional untuk mengupayakan kebebasan mereka.
“Saya sangat senang dan bersemangat melihat keluarga dan kolega saya. Saya tidak sabar untuk pergi ke ruang redaksi saya," katanya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (8/5/2019).
Rekan Wa Lone, Kyaw Soe Oo juga terlihat tersenyum dan melambaikan tangan kepada wartawan.
Keduanya kemudian digiring oleh rekan-rekannya dan dipersatukan kembali dengan istri serta anak-anak mereka.
Sebelum penangkapan mereka pada bulan Desember 2017, mereka telah melakukan penyelidikan atas pembunuhan 10 pria dan anak laki-laki Muslim Rohingya oleh pasukan keamanan dan warga sipil Buddha di Negara Bagian Rakhine Myanmar barat selama penumpasan tentara yang dimulai pada Agustus 2017.
Laporan yang ditulis oleh kedua orang itu, yang menyajikan kesaksian dari para pelaku, saksi dan keluarga para korban, dianugerahi Penghargaan Pulitzer untuk pelaporan internasional pada bulan Mei, menambah sejumlah penghargaan yang diterima oleh pasangan tersebut untuk laporan jurnalisme mereka.
Baca Juga: Bongkar Pembantaian Muslim Rohingya, Wartawan Reuters Raih Pulitzer
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan keputusan untuk membebaskan keduanya dilakukan setelah keluarga menulis surat kepada pemimpin pemerintah Aung San Suu Kyi.
"Kami mempertimbangkan surat-surat itu dan membebaskannya untuk kepentingan negara," kata Zaw Htay kepada wartawan.
Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J. Adler menyambut baik berita itu.
“Kami sangat senang bahwa Myanmar telah membebaskan reporter pemberani kami, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Sejak penangkapan mereka 511 hari yang lalu, mereka telah menjadi simbol pentingnya kebebasan pers di seluruh dunia. Kami menyambut kembalinya mereka,” kata Adler.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres merasa lega mengetahui pembebasan itu, kata seorang juru bicara. PBB melihat pembebasan itu sebagai tanda komitmen pemerintah Myanmar terhadap transisi menuju demokrasi.
Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) juga menyambut pembebasan itu dan mengatakan senang bahwa keduanya dapat kembali ke keluarga mereka.
Sebelumnya, Mahkamah Agung Myanmar telah menolak banding terakhir kedua jurnalis Reuters pada April lalu. Mereka telah mengajukan petisi ke pengadilan tinggi, mengutip bukti pengaturan polisi dan kurangnya bukti kejahatan, setelah Pengadilan Tinggi Yangon menolak banding pada bulan Januari.
Istri kedua wartawan kemudian menulis surat kepada pemerintah pada bulan April memohon grasi, bukan karena suami mereka telah melakukan kesalahan, tetapi karena itu akan memungkinkan mereka dibebaskan dari penjara dan dipersatukan kembali dengan keluarga mereka.
Dua wartawan Reuters dilepaskan di penjara kepada perwakilan Reuters dan Lord Ara Darzi, ahli bedah dan ahli perawatan kesehatan Inggris yang telah menjabat sebagai anggota kelompok penasihat pemerintah Myanmar dalam reformasi di Negara Bagian Rakhine.
"Pembebasan ini menunjukkan bahwa dialog bekerja, bahkan dalam keadaan yang paling sulit," kata Darzi dalam sebuah pernyataan.
Darzi mengatakan dialog tentang pengampunan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo telah melibatkan pemerintah Myanmar, Reuters, PBB dan perwakilan dari pemerintah lain.
Ia mengatakan pemerintah, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Suu Kyi, hanya bisa mempertimbangkan untuk melepaskan pasangan setelah Mahkamah Agung menolak banding terakhir mereka.
"Saya sangat berterima kasih kepada presiden, penasihat negara (Suu Kyi) dan juga kabinet, untuk mewujudkannya," ucapnya.
Darzi telah menjadi anggota komisi penasehat yang dibentuk pada tahun 2016 untuk mempertimbangkan saran dari sebuah panel yang dipimpin oleh mantan kepala PBB Kofi Annan untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama di Rakhine.
Wa Lone (33) dan Kyaw Soe Oo (29) dihukum pada bulan September lalu dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara setelah dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Rahasia Negara. Mereka dibebaskan di bawah amnesti presiden untuk 6.520 tahanan. Presiden Win Myint telah memaafkan ribuan tahanan lain dalam amnesti massal sejak bulan lalu.
Diserbut oleh media dan simpatisan saat mereka berjalan melewati gerbang Penjara Insein, di pinggiran Yangon, Wa Lone tersenyum sembari mengacungkan jempol. Ia mengucapkan terima kasih atas upaya internasional untuk mengupayakan kebebasan mereka.
“Saya sangat senang dan bersemangat melihat keluarga dan kolega saya. Saya tidak sabar untuk pergi ke ruang redaksi saya," katanya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (8/5/2019).
Rekan Wa Lone, Kyaw Soe Oo juga terlihat tersenyum dan melambaikan tangan kepada wartawan.
Keduanya kemudian digiring oleh rekan-rekannya dan dipersatukan kembali dengan istri serta anak-anak mereka.
Sebelum penangkapan mereka pada bulan Desember 2017, mereka telah melakukan penyelidikan atas pembunuhan 10 pria dan anak laki-laki Muslim Rohingya oleh pasukan keamanan dan warga sipil Buddha di Negara Bagian Rakhine Myanmar barat selama penumpasan tentara yang dimulai pada Agustus 2017.
Laporan yang ditulis oleh kedua orang itu, yang menyajikan kesaksian dari para pelaku, saksi dan keluarga para korban, dianugerahi Penghargaan Pulitzer untuk pelaporan internasional pada bulan Mei, menambah sejumlah penghargaan yang diterima oleh pasangan tersebut untuk laporan jurnalisme mereka.
Baca Juga: Bongkar Pembantaian Muslim Rohingya, Wartawan Reuters Raih Pulitzer
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan keputusan untuk membebaskan keduanya dilakukan setelah keluarga menulis surat kepada pemimpin pemerintah Aung San Suu Kyi.
"Kami mempertimbangkan surat-surat itu dan membebaskannya untuk kepentingan negara," kata Zaw Htay kepada wartawan.
Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J. Adler menyambut baik berita itu.
“Kami sangat senang bahwa Myanmar telah membebaskan reporter pemberani kami, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Sejak penangkapan mereka 511 hari yang lalu, mereka telah menjadi simbol pentingnya kebebasan pers di seluruh dunia. Kami menyambut kembalinya mereka,” kata Adler.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres merasa lega mengetahui pembebasan itu, kata seorang juru bicara. PBB melihat pembebasan itu sebagai tanda komitmen pemerintah Myanmar terhadap transisi menuju demokrasi.
Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) juga menyambut pembebasan itu dan mengatakan senang bahwa keduanya dapat kembali ke keluarga mereka.
Sebelumnya, Mahkamah Agung Myanmar telah menolak banding terakhir kedua jurnalis Reuters pada April lalu. Mereka telah mengajukan petisi ke pengadilan tinggi, mengutip bukti pengaturan polisi dan kurangnya bukti kejahatan, setelah Pengadilan Tinggi Yangon menolak banding pada bulan Januari.
Istri kedua wartawan kemudian menulis surat kepada pemerintah pada bulan April memohon grasi, bukan karena suami mereka telah melakukan kesalahan, tetapi karena itu akan memungkinkan mereka dibebaskan dari penjara dan dipersatukan kembali dengan keluarga mereka.
Dua wartawan Reuters dilepaskan di penjara kepada perwakilan Reuters dan Lord Ara Darzi, ahli bedah dan ahli perawatan kesehatan Inggris yang telah menjabat sebagai anggota kelompok penasihat pemerintah Myanmar dalam reformasi di Negara Bagian Rakhine.
"Pembebasan ini menunjukkan bahwa dialog bekerja, bahkan dalam keadaan yang paling sulit," kata Darzi dalam sebuah pernyataan.
Darzi mengatakan dialog tentang pengampunan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo telah melibatkan pemerintah Myanmar, Reuters, PBB dan perwakilan dari pemerintah lain.
Ia mengatakan pemerintah, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Suu Kyi, hanya bisa mempertimbangkan untuk melepaskan pasangan setelah Mahkamah Agung menolak banding terakhir mereka.
"Saya sangat berterima kasih kepada presiden, penasihat negara (Suu Kyi) dan juga kabinet, untuk mewujudkannya," ucapnya.
Darzi telah menjadi anggota komisi penasehat yang dibentuk pada tahun 2016 untuk mempertimbangkan saran dari sebuah panel yang dipimpin oleh mantan kepala PBB Kofi Annan untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama di Rakhine.
(ian)