Korban Tewas Pembantaian Muslim Mali Naik Jadi 157
A
A
A
BAMAKO - Seorang juru bicara pemerintah Mali mengatakan korban tewas dalam serangan terhadap penduduk desa di Mali tengah pada hari Sabtu oleh orang-orang bersenjata tak dikenal telah meningkat menjadi 157. Ia juga membenarkan serangan tersebut sebagai salah satu kekejaman terbaru di negara yang dilanda oleh kekerasan etnis itu.
Serangan tersebut terjadi ketika misi Dewan Keamanan PBB mengunjungi negara penghasil emas Afrika Barat itu untuk mencari solusi bagi kekerasan yang telah menewaskan ratusan warga sipil tahun lalu dan menyebar ke seluruh wilayah Sahel di Afrika Barat.
Seorang pejabat dari kota terdekat mengatakan pada hari Sabtu bahwa orang-orang bersenjata, berpakaian tradisional seperti suku pemburu Donzo, menyerang desa-desa yang dihuni oleh suku penggembala Fulani. Banyak dari mereka mencurigai suku Fulani menyembunyikan para ekstrimis Islam, tuduhan yang disangkal oleh Fulani.
Baca Juga: Kelompok Bersenjata Bantai Lebih dari 100 Warga Desa di Mali
Serangan itu terjadi kurang dari seminggu setelah serangan mematikan oleh jihadis pada sebuah pos tentara yang menewaskan sedikitnya 23 tentara, juga di wilayah tengah Mali. Serangan itu diklaim oleh kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda.
"Jumlah korban tewas resmi adalah 157," kata juru bicara pemerintah Amadou Kotia seperti dikutip dari Reuters, Rabu (27/3/2019).
Para pejabat pada hari Sabtu mengatakan bahwa sekitar 134 telah terbunuh, meskipun mereka memperkirakan jumlah itu akan meningkat.
Baca Juga: Horor Pembantaian 134 Muslim Mali, Sebagian Dibakar Hidup-hidup
Kelompok-kelompok jihad yang terkait dengan al-Qaeda dan Negara Islam (ISIS) telah mengeksploitasi persaingan etnis seperti yang terjadi antara Fulani dan Donzo di Mali dan tetangganya, Burkina Faso dan Niger dalam beberapa tahun terakhir. Itu dilakukan untuk meningkatkan rekrutmen dan membuat sebagian besar wilayah hampir tidak dapat dikendalikan.
Pasukan Prancis melakukan intervensi di Mali, bekas koloninya pada 2013 untuk mendorong mundur gerakan kelompok-kelompok ekstrimis itu dari gurun utara. Tetapi gerilyawan sejak itu telah berkumpul kembali dan memperluas kehadiran mereka ke Mali tengah dan negara-negara tetangga.
Sekitar 4.500 tentara Prancis tetap bermarkas di Sahel yang lebih luas, kebanyakan dari mereka di Mali. Amerika Serikat (AS) juga memiliki ratusan tentara di wilayah tersebut.
Serangan tersebut terjadi ketika misi Dewan Keamanan PBB mengunjungi negara penghasil emas Afrika Barat itu untuk mencari solusi bagi kekerasan yang telah menewaskan ratusan warga sipil tahun lalu dan menyebar ke seluruh wilayah Sahel di Afrika Barat.
Seorang pejabat dari kota terdekat mengatakan pada hari Sabtu bahwa orang-orang bersenjata, berpakaian tradisional seperti suku pemburu Donzo, menyerang desa-desa yang dihuni oleh suku penggembala Fulani. Banyak dari mereka mencurigai suku Fulani menyembunyikan para ekstrimis Islam, tuduhan yang disangkal oleh Fulani.
Baca Juga: Kelompok Bersenjata Bantai Lebih dari 100 Warga Desa di Mali
Serangan itu terjadi kurang dari seminggu setelah serangan mematikan oleh jihadis pada sebuah pos tentara yang menewaskan sedikitnya 23 tentara, juga di wilayah tengah Mali. Serangan itu diklaim oleh kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda.
"Jumlah korban tewas resmi adalah 157," kata juru bicara pemerintah Amadou Kotia seperti dikutip dari Reuters, Rabu (27/3/2019).
Para pejabat pada hari Sabtu mengatakan bahwa sekitar 134 telah terbunuh, meskipun mereka memperkirakan jumlah itu akan meningkat.
Baca Juga: Horor Pembantaian 134 Muslim Mali, Sebagian Dibakar Hidup-hidup
Kelompok-kelompok jihad yang terkait dengan al-Qaeda dan Negara Islam (ISIS) telah mengeksploitasi persaingan etnis seperti yang terjadi antara Fulani dan Donzo di Mali dan tetangganya, Burkina Faso dan Niger dalam beberapa tahun terakhir. Itu dilakukan untuk meningkatkan rekrutmen dan membuat sebagian besar wilayah hampir tidak dapat dikendalikan.
Pasukan Prancis melakukan intervensi di Mali, bekas koloninya pada 2013 untuk mendorong mundur gerakan kelompok-kelompok ekstrimis itu dari gurun utara. Tetapi gerilyawan sejak itu telah berkumpul kembali dan memperluas kehadiran mereka ke Mali tengah dan negara-negara tetangga.
Sekitar 4.500 tentara Prancis tetap bermarkas di Sahel yang lebih luas, kebanyakan dari mereka di Mali. Amerika Serikat (AS) juga memiliki ratusan tentara di wilayah tersebut.
(ian)