Salah Bila Bebaskan Ba'asyir, Ini 3 Kritik Sidney Jones ke Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Peneliti terorisme Sidney Jones mengkritik keras rencana Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) yang akan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir. Menurut penasihat senior International Crisis Group (ICG) ini, rencana itu patut dipertanyakan secara hukum dan tidak layak secara politis.
Sidney Jones menuliskan tiga kritik keras untuk Jokowi soal rencana pembebasan terpidana kasus terorisme itu di situs Lowy Institute, Selasa (22/1/2019).
"Ia mengirim pesan bahwa jika seseorang menentang negara cukup lama, pada akhirnya dia akan menyerah. Ini memberanikan mereka yang melihat demokrasi sebagai hal yang tidak sesuai dengan Islam karena itulah yang Ba'asyir argumentasikan sepanjang hidupnya," tulis Jones.
Menurutnya, pembebasan Ba'asyir akan memberikan para jihadis kembalinya pahlawan mereka. "Statusnya semakin meningkat dengan memenangkan kebebasannya tanpa harus menerima Pancasila, ideologi negara, atau berjanji setia kepada negara Indonesia," lanjut peneliti perempuan tersebut.
"Mengapa Jokowi memilih untuk bertindak sekarang, tidak dapat dihindari bahwa ia akan dituduh mencoba untuk mencetak poin politik?," tanya Jones.
Jones mengatakan bila Ba'asyir dibebaskan, Jokowi akan tampak seperti Machiavellian yang akan melakukan apa saja dengan imbalan beberapa suara, atau secara politis tuli dan buta sehingga dia tidak tahu konsekuensinya. "Ini menunjukkan bahwa dia menyimpan belas kasihannya untuk seorang ekstremis terkenal yang kebetulan sudah tua, daripada tahanan lain yang sakit kritis, korban penganiayaan massa, atau terlalu miskin untuk membayar pengadilan yang korup," papar Jones.
Lebih lanjut, Jones menuliskan tiga kritik kerasnya terhadap Jokowi. Pertama, pembebasan itu—ika terjadi—mungkin tidak meningkatkan risiko serangan, tetapi tentu saja akan memungkinkan Ba'asyir untuk mengobarkan "jihad" dan mendukung kekerasan oleh orang lain.
"Pengacaranya mengatakan ia tidak akan berada di bawah batasan, dan pria itu tidak kehilangan kemampuan mental atau kemampuan berbicara. Bahkan jika dia hanya duduk di rumah, yang tidak mungkin, dia akan memiliki aliran simpatisan— termasuk sebanyak tiga generasi ekstrimis—datang untuk memberikan penghormatan dan banyak kesempatan untuk mendorong militansi mereka," tulis Jones.
"Mengapa dia tidak pindah ke tahanan rumah jika dia terlalu lemah untuk tinggal di penjara? Dia bisa berada di bawah penjagaan konstan, dengan pembatasan bicara dan perjalanan. Dengan cara ini, polisi akan berusaha untuk memantau rumahnya," lanjut Jones.
Kritik kedua, tulis Jones, adalah dasar hukum keputusan presiden dangkal. "Jelas bukan pengampunan, karena Ba'asyir tidak pernah meminta pengampunan. Itu bukan amnesti," tulis dia.
Dia menduga keputusan itu kan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang membuat pembebasan awal untuk kategori pelaku tertentu, termasuk teroris yang dihukum, bergantung pada kesediaannya untuk menandatangani sumpah setia secara tertulis kepada pemerintah Indonesia.
Jones mempertanyakan keputusan presiden untuk melakukan intervensi hukum atas dasar kemanusiaan. "Mengapa persyaratan kesetiaan kepada negara Indonesia dilepaskan untuk alasan kemanusiaan? Itu tidak masuk akal," kritik Jones.
Kritik ketiga soal waktu. "Jika Jokowi dan para penasihatnya tidak ingin menimbulkan spekulasi bahwa ini semua dilakukan karena alasan politis, untuk menarik kaum konservatif Islam sebelum pemilihan presiden April 2019, mengapa harus bertindak sekarang?," imbuh dia.
Menurutnya, kesehatan Ba'asyir yang sekarang sama seperti setahun yang lalu ketika Jokowi mengabaikan petisi untuk pembebasannya.
Sidney Jones menuliskan tiga kritik keras untuk Jokowi soal rencana pembebasan terpidana kasus terorisme itu di situs Lowy Institute, Selasa (22/1/2019).
"Ia mengirim pesan bahwa jika seseorang menentang negara cukup lama, pada akhirnya dia akan menyerah. Ini memberanikan mereka yang melihat demokrasi sebagai hal yang tidak sesuai dengan Islam karena itulah yang Ba'asyir argumentasikan sepanjang hidupnya," tulis Jones.
Menurutnya, pembebasan Ba'asyir akan memberikan para jihadis kembalinya pahlawan mereka. "Statusnya semakin meningkat dengan memenangkan kebebasannya tanpa harus menerima Pancasila, ideologi negara, atau berjanji setia kepada negara Indonesia," lanjut peneliti perempuan tersebut.
"Mengapa Jokowi memilih untuk bertindak sekarang, tidak dapat dihindari bahwa ia akan dituduh mencoba untuk mencetak poin politik?," tanya Jones.
Jones mengatakan bila Ba'asyir dibebaskan, Jokowi akan tampak seperti Machiavellian yang akan melakukan apa saja dengan imbalan beberapa suara, atau secara politis tuli dan buta sehingga dia tidak tahu konsekuensinya. "Ini menunjukkan bahwa dia menyimpan belas kasihannya untuk seorang ekstremis terkenal yang kebetulan sudah tua, daripada tahanan lain yang sakit kritis, korban penganiayaan massa, atau terlalu miskin untuk membayar pengadilan yang korup," papar Jones.
Lebih lanjut, Jones menuliskan tiga kritik kerasnya terhadap Jokowi. Pertama, pembebasan itu—ika terjadi—mungkin tidak meningkatkan risiko serangan, tetapi tentu saja akan memungkinkan Ba'asyir untuk mengobarkan "jihad" dan mendukung kekerasan oleh orang lain.
"Pengacaranya mengatakan ia tidak akan berada di bawah batasan, dan pria itu tidak kehilangan kemampuan mental atau kemampuan berbicara. Bahkan jika dia hanya duduk di rumah, yang tidak mungkin, dia akan memiliki aliran simpatisan— termasuk sebanyak tiga generasi ekstrimis—datang untuk memberikan penghormatan dan banyak kesempatan untuk mendorong militansi mereka," tulis Jones.
"Mengapa dia tidak pindah ke tahanan rumah jika dia terlalu lemah untuk tinggal di penjara? Dia bisa berada di bawah penjagaan konstan, dengan pembatasan bicara dan perjalanan. Dengan cara ini, polisi akan berusaha untuk memantau rumahnya," lanjut Jones.
Kritik kedua, tulis Jones, adalah dasar hukum keputusan presiden dangkal. "Jelas bukan pengampunan, karena Ba'asyir tidak pernah meminta pengampunan. Itu bukan amnesti," tulis dia.
Dia menduga keputusan itu kan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang membuat pembebasan awal untuk kategori pelaku tertentu, termasuk teroris yang dihukum, bergantung pada kesediaannya untuk menandatangani sumpah setia secara tertulis kepada pemerintah Indonesia.
Jones mempertanyakan keputusan presiden untuk melakukan intervensi hukum atas dasar kemanusiaan. "Mengapa persyaratan kesetiaan kepada negara Indonesia dilepaskan untuk alasan kemanusiaan? Itu tidak masuk akal," kritik Jones.
Kritik ketiga soal waktu. "Jika Jokowi dan para penasihatnya tidak ingin menimbulkan spekulasi bahwa ini semua dilakukan karena alasan politis, untuk menarik kaum konservatif Islam sebelum pemilihan presiden April 2019, mengapa harus bertindak sekarang?," imbuh dia.
Menurutnya, kesehatan Ba'asyir yang sekarang sama seperti setahun yang lalu ketika Jokowi mengabaikan petisi untuk pembebasannya.
(mas)