Aktivis Minta Saudi Tak Deportasi 250 Warga Rohingya ke Bangladesh
A
A
A
RIYADH - Kelompok aktivis meminta pemerintah Arab Saudi untuk tidak mendeportasi sekitar 250 warga Rohingya ke Bangladesh. Mereka khawatir para warga asal Myanmar itu akan dipenjara ketika tiba di Bangladesh.
Kelompok aktivis Free Rohingya Coalition mengatakan jika Saudi tetap menjalankan rencananya untuk mendeportasi 250 orang tersebut maka itu akan menjadi deportasi paksa kedua oleh Riyadh sejak 2018.
Koordinator Free Rohingya Coalition, Nay San Lwin, kepada Al Jazeera yang dilansir Senin (21/1/2019), mengatakan Arab Saudi adalah rumah bagi hampir 300.000 warga Rohingya.
"Mayoritas Rohingya ini memiliki izin tinggal dan dapat tinggal di Arab Saudi secara legal," katanya.
"Tetapi para 'tahanan' ini, yang ditahan di pusat penahanan Shumaisi (di Jeddah), belum diperlakukan seperti saudara Rohingya mereka. Sebaliknya, mereka diperlakukan seperti penjahat," ujarnya.
Menurut sebuah video yang diperoleh Nay San Lwin, Rohingya, yang sebagian besar tiba di negara itu beberapa tahun yang lalu, sedang dipersiapkan untuk dibawa ke bandara internasional Jeddah pada hari Minggu di mana mereka kemudian akan naik penerbangan langsung ke Dhaka.
Dia mengatakan orang-orang itu diperkirakan akan diterbangkan pada hari Minggu atau Senin malam.
Nay San Lwin menambahkan bahwa banyak dari warga Rohingya memasuki Arab Saudi setelah mendapatkan paspor milik negara-negara seperti Pakistan, Bangladesh, India dan Nepal melalui penyelundupan dokumen palsu.
Myanmar mencabut status kewarganegaraan Rohingya pada tahun 1982. Di bawah Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, para warga Rohingya tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis negara itu. Dampaknya, hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, memberikan suara dalam pemilu, mempraktikkan agama mereka dan mengakses layanan kesehatan dibatasi.
Arab Saudi juga berhenti mengeluarkan izin tinggal kepada warga Rohingya yang memasuki negara itu setelah 2011.
Nay San Lwin mengatakan bahwa beberapa aktivis hak asasi manusia telah mengajukan banding ke pemerintah Saudi selama dua tahun terakhir untuk membela para warga Rohingya. Dia sendiri mengaku telah mendekati pejabat dan diplomat Saudi untuk melakukan intervensi.
"Ketika Rohingya ini tiba di Bangladesh, mereka bisa dipenjara," katanya. "Arab Saudi harus menghentikan deportasi ini dan memberikan mereka izin tinggal seperti para Rohingya lainnya yang tiba di negara itu sebelum mereka," paparnya.
Tahun lalu, Middle East Eye (MEE) melaporkan bahwa tahanan Rohingya sedang dipersiapkan untuk dideportasi tidak lama setelah Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengunjungi Arab Saudi.
Beberapa "tahanan" yang ditahan di pusat penahanan Shumaisi mengatakan mereka telah tinggal di Kerajaan Arab Saudi sepanjang hidup mereka dan telah dikirim ke fasilitas penahanan setelah polisi Saudi menemukan mereka tidak memiliki dokumen identitas secara resmi.
Kelompok aktivis Free Rohingya Coalition mengatakan jika Saudi tetap menjalankan rencananya untuk mendeportasi 250 orang tersebut maka itu akan menjadi deportasi paksa kedua oleh Riyadh sejak 2018.
Koordinator Free Rohingya Coalition, Nay San Lwin, kepada Al Jazeera yang dilansir Senin (21/1/2019), mengatakan Arab Saudi adalah rumah bagi hampir 300.000 warga Rohingya.
"Mayoritas Rohingya ini memiliki izin tinggal dan dapat tinggal di Arab Saudi secara legal," katanya.
"Tetapi para 'tahanan' ini, yang ditahan di pusat penahanan Shumaisi (di Jeddah), belum diperlakukan seperti saudara Rohingya mereka. Sebaliknya, mereka diperlakukan seperti penjahat," ujarnya.
Menurut sebuah video yang diperoleh Nay San Lwin, Rohingya, yang sebagian besar tiba di negara itu beberapa tahun yang lalu, sedang dipersiapkan untuk dibawa ke bandara internasional Jeddah pada hari Minggu di mana mereka kemudian akan naik penerbangan langsung ke Dhaka.
Dia mengatakan orang-orang itu diperkirakan akan diterbangkan pada hari Minggu atau Senin malam.
Nay San Lwin menambahkan bahwa banyak dari warga Rohingya memasuki Arab Saudi setelah mendapatkan paspor milik negara-negara seperti Pakistan, Bangladesh, India dan Nepal melalui penyelundupan dokumen palsu.
Myanmar mencabut status kewarganegaraan Rohingya pada tahun 1982. Di bawah Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, para warga Rohingya tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis negara itu. Dampaknya, hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, memberikan suara dalam pemilu, mempraktikkan agama mereka dan mengakses layanan kesehatan dibatasi.
Arab Saudi juga berhenti mengeluarkan izin tinggal kepada warga Rohingya yang memasuki negara itu setelah 2011.
Nay San Lwin mengatakan bahwa beberapa aktivis hak asasi manusia telah mengajukan banding ke pemerintah Saudi selama dua tahun terakhir untuk membela para warga Rohingya. Dia sendiri mengaku telah mendekati pejabat dan diplomat Saudi untuk melakukan intervensi.
"Ketika Rohingya ini tiba di Bangladesh, mereka bisa dipenjara," katanya. "Arab Saudi harus menghentikan deportasi ini dan memberikan mereka izin tinggal seperti para Rohingya lainnya yang tiba di negara itu sebelum mereka," paparnya.
Tahun lalu, Middle East Eye (MEE) melaporkan bahwa tahanan Rohingya sedang dipersiapkan untuk dideportasi tidak lama setelah Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengunjungi Arab Saudi.
Beberapa "tahanan" yang ditahan di pusat penahanan Shumaisi mengatakan mereka telah tinggal di Kerajaan Arab Saudi sepanjang hidup mereka dan telah dikirim ke fasilitas penahanan setelah polisi Saudi menemukan mereka tidak memiliki dokumen identitas secara resmi.
(mas)