Suhu Global pada 2018 Mencapai Rekor Terpanas Keempat
A
A
A
JENEWA - Suhu global pada 2018 akan menjadi yang tertinggi keempat dalam rekor terpanas. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan perlunya tindakan segera untuk mengendalikan pemanasan bumi.
Dalam laporan yang dirilis menjelang konferensi tingkat tinggi (KTT) iklim COP 24 di Polandia, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyoroti 20 tahun terpanas dalam rekor yang terjadi dalam 22 tahun terakhir.
“Pada 2018 tentu menjadi tahun terpanas keempat dalam rekor,” papar pernyataan WMO, dilansir kantor berita Reuters. “Ini berarti empat tahun terakhir, 2015, 2016, 2017, dan 2018, menjadi empat tahun terpanas berturut-turut,” ungkap laporan WMO.
“Tren pemanasan ini jelas dan berlanjut,” ujar Kepala WMO Petteri Taalas di Jenewa kemarin. Laporan itu menunjukkan suhu rata-rata global untuk 10 bulan pertama 2018 mencapai 1,0 derajat Celsius di atas era praindustri (1850-1900).
“Penting untuk diulang sekali lagi bahwa kita generasi pertama yang sepenuhnya memahami perubahan iklim dan generasi terakhir yang dapat melakukan sesuatu untuk itu,” kata Taalas. “Dengan level gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor tertinggi, kita mungkin melihat suhu naik 3 hingga 5 derajat Celsius pada akhir abad,” ungkap Taalas.
Dia menambahkan, “Jika kita mengeksploitasi semua sumber daya bahan bakar fosil yang ada, kenaikan suhu akan lebih tinggi.” Para delegasi dari hampir 200 negara akan berada di Polandia pekan depan untuk KTT iklim COP24 yang bertujuan memperbarui dan membangun kesepakatan Paris dan membatasi pemanasan global.
Para pemimpin dunia berupaya meniupkan napas baru pada kesepakatan 195 negara itu setelah mundurnya beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan yang ditanda tangani pada Desember 2015 itu.
Kesepakatan Paris akan berlaku pada 2020 dan menyerukan pembatasan pemanasan global hingga kurang dari 1,5 derajat Celsius di atas level praindustri. Meski demikian, para pakar memperingatkan pemanasan global akan melampaui 3 derajat Celsius pada 2100.
Mereka mendesak semua negara bertindak lebih banyak dibandingkan yang telah direncanakan. “Setiap pemanasan satu derajat menciptakan perbedaan pada kesehatan manusia dan akses pada makanan dan air bersih, hingga kepunahan binatang dan tanaman, untuk kelangsungan hidup terumbu karang dan kehidupan laut,” ungkap Deputi Kepala WMO Elena Manaenkova.
Dia menjelaskan, “Ini membuat perbedaan pada produktivitas ekonomi, keamanan pangan, dan ketangguhan pada infrastruktur dan kota kita. Ini menciptakan perbedaan untuk kecepatan pencairan gletser dan suplai air serta masa depan pulau-pulau yang rendah dan komunitas pantai.”
Para pakar juga memperingatkan perubahan iklim membuat orang di penjuru dunia rawan pada paparan panas sehingga memiliki risiko lebih besar untuk serangan jantung, ginjal, stroke panas, dan penyakit lain terkait panas.
Dampak pemanasan global lebih serius bagi populasi lanjut usia dan yang tinggal di perkotaan serta mengalami kondisi kesehatan kronis. Eropa dan Mediterania timur lebih rawan dibandingkan Afrika dan Asia Tenggara karena banyak warga lanjut usia tinggal di kota-kota dengan populasi padat.
“Tren dampak perubahan iklim, paparan dan kerentanan menunjukkan risiko tinggi yang tak dapat dihadapi bagi kesehatan, sekarang dan di masa depan,” ujar Hilary Graham, profesor di Universitas York, Inggris, dalam laporan yang dirilis di jurnal medis The Lancet.
Laporan berjudul Hitung Mundur untuk Kesehatan dan Perubahan Iklim The Lancet melibatkan studi dari 27 lembaga akademisi dari bidang kesehatan hingga engineering dan ekologi, serta para pakar dari PBB dan lembaga antar-pemerintah di penjuru dunia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim memengaruhi banyak faktor penting bagi kesehatan, termasuk udara bersih dan air, pangan, dan perumahan.
Diperkirakan antara 2030 dan 2050, perubahan iklim dapat menyebabkan tambahan korban tewas 250.000 jiwa pertahun akibat gizi buruk, diare, malaria, dan suhu panas. Laporan itu menemukan pada 2017, sebanyak 157 juta warga rawan terpapar gelombang panas. Sebanyak 153 miliar jam kerja hilang tahun lalu akibat paparan panas.
Selain itu, perubahan kecil pada suhu dan curah hujan dapat mengakibatkan perpindahan berbagai penyakit infeksi yang menyebar lewat air dan nyamuk, termasuk kolera, malaria, dan demam berdarah.
Dalam laporan yang dirilis menjelang konferensi tingkat tinggi (KTT) iklim COP 24 di Polandia, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyoroti 20 tahun terpanas dalam rekor yang terjadi dalam 22 tahun terakhir.
“Pada 2018 tentu menjadi tahun terpanas keempat dalam rekor,” papar pernyataan WMO, dilansir kantor berita Reuters. “Ini berarti empat tahun terakhir, 2015, 2016, 2017, dan 2018, menjadi empat tahun terpanas berturut-turut,” ungkap laporan WMO.
“Tren pemanasan ini jelas dan berlanjut,” ujar Kepala WMO Petteri Taalas di Jenewa kemarin. Laporan itu menunjukkan suhu rata-rata global untuk 10 bulan pertama 2018 mencapai 1,0 derajat Celsius di atas era praindustri (1850-1900).
“Penting untuk diulang sekali lagi bahwa kita generasi pertama yang sepenuhnya memahami perubahan iklim dan generasi terakhir yang dapat melakukan sesuatu untuk itu,” kata Taalas. “Dengan level gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor tertinggi, kita mungkin melihat suhu naik 3 hingga 5 derajat Celsius pada akhir abad,” ungkap Taalas.
Dia menambahkan, “Jika kita mengeksploitasi semua sumber daya bahan bakar fosil yang ada, kenaikan suhu akan lebih tinggi.” Para delegasi dari hampir 200 negara akan berada di Polandia pekan depan untuk KTT iklim COP24 yang bertujuan memperbarui dan membangun kesepakatan Paris dan membatasi pemanasan global.
Para pemimpin dunia berupaya meniupkan napas baru pada kesepakatan 195 negara itu setelah mundurnya beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan yang ditanda tangani pada Desember 2015 itu.
Kesepakatan Paris akan berlaku pada 2020 dan menyerukan pembatasan pemanasan global hingga kurang dari 1,5 derajat Celsius di atas level praindustri. Meski demikian, para pakar memperingatkan pemanasan global akan melampaui 3 derajat Celsius pada 2100.
Mereka mendesak semua negara bertindak lebih banyak dibandingkan yang telah direncanakan. “Setiap pemanasan satu derajat menciptakan perbedaan pada kesehatan manusia dan akses pada makanan dan air bersih, hingga kepunahan binatang dan tanaman, untuk kelangsungan hidup terumbu karang dan kehidupan laut,” ungkap Deputi Kepala WMO Elena Manaenkova.
Dia menjelaskan, “Ini membuat perbedaan pada produktivitas ekonomi, keamanan pangan, dan ketangguhan pada infrastruktur dan kota kita. Ini menciptakan perbedaan untuk kecepatan pencairan gletser dan suplai air serta masa depan pulau-pulau yang rendah dan komunitas pantai.”
Para pakar juga memperingatkan perubahan iklim membuat orang di penjuru dunia rawan pada paparan panas sehingga memiliki risiko lebih besar untuk serangan jantung, ginjal, stroke panas, dan penyakit lain terkait panas.
Dampak pemanasan global lebih serius bagi populasi lanjut usia dan yang tinggal di perkotaan serta mengalami kondisi kesehatan kronis. Eropa dan Mediterania timur lebih rawan dibandingkan Afrika dan Asia Tenggara karena banyak warga lanjut usia tinggal di kota-kota dengan populasi padat.
“Tren dampak perubahan iklim, paparan dan kerentanan menunjukkan risiko tinggi yang tak dapat dihadapi bagi kesehatan, sekarang dan di masa depan,” ujar Hilary Graham, profesor di Universitas York, Inggris, dalam laporan yang dirilis di jurnal medis The Lancet.
Laporan berjudul Hitung Mundur untuk Kesehatan dan Perubahan Iklim The Lancet melibatkan studi dari 27 lembaga akademisi dari bidang kesehatan hingga engineering dan ekologi, serta para pakar dari PBB dan lembaga antar-pemerintah di penjuru dunia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim memengaruhi banyak faktor penting bagi kesehatan, termasuk udara bersih dan air, pangan, dan perumahan.
Diperkirakan antara 2030 dan 2050, perubahan iklim dapat menyebabkan tambahan korban tewas 250.000 jiwa pertahun akibat gizi buruk, diare, malaria, dan suhu panas. Laporan itu menemukan pada 2017, sebanyak 157 juta warga rawan terpapar gelombang panas. Sebanyak 153 miliar jam kerja hilang tahun lalu akibat paparan panas.
Selain itu, perubahan kecil pada suhu dan curah hujan dapat mengakibatkan perpindahan berbagai penyakit infeksi yang menyebar lewat air dan nyamuk, termasuk kolera, malaria, dan demam berdarah.
(don)