Myanmar Tangkap Kapal Angkut 93 Pengungsi Rohingya
A
A
A
YANGON - Pihak berwenang Myanmar menangkap sebuah perahu yang membawa 93 orang. Diduga mereka adalah Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kamp-kamp pengungsi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Barat, dan berharap bisa mencapai Malaysia.
Perahu itu diyakini merupakan perahu ketiga yang mencoba mencapai perbatasan Malaysia yang terhenti di perairan Myanmar sejak musim hujan mulai reda bulan lalu. Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran akan gelombang baru pelayaran berbahaya setelah tindakan keras tahun 2015 terhadap penyelundupan manusia.
Direktur kantor pemerintah Myanmar di Dawei, Moe Zaw Latt mengatakan nelayan melaporkan kapal mencurigakan kepada pihak berwenang. Dawei adalah sebuah kota pantai di Myanmar selatan.
Latt mengatakan Angkatan Laut menghentikan kapal pada hari Minggu dan menahan 93 orang, yang mengatakan mereka datang dari kamp Thae Chaung di Ibu Kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe.
Thae Chaung berjarak sekitar 900 km barat laut Dawei dan menampung orang-orang terlantar, yang kebanyakan adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan Rohingya.
“Mereka mengatakan mereka melarikan diri dari kamp. Mereka mengatakan mereka bermaksud pergi ke Malaysia,” kata Latt, menambahkan pihak berwenang sedang mempersiapkan untuk mengirim mereka kembali ke Sittwe pada hari Selasa (27/11/2018), seperti dikutip dari Reuters.
Foto-foto di media menunjukkan polisi berdiri di mana penumpang - banyak dari mereka wanita berjilbab dan anak-anak - berkerumun di dek.
Perahu itu menyerupai kapal yang biasanya digunakan Rohingya untuk melarikan diri dari kondisi seperti apartheid di Negara Bagian Rakhine, di mana pergerakan dan akses mereka ke layanan dasar sangat dibatasi.
Ini bukan yang pertama kali. Pada 16 November, Myanmar menahan 106 pria, wanita dan anak-anak Rohingya di atas kapal dekat pusat komersial Yangon, ketika mengalami kegagalan mesin dalam perjalanan dari kamp Sittwe ke Malaysia.
Orang-orang itu telah dikembalikan ke kamp, bersama dengan kelompok lain yang terdiri lebih dari 80 orang yang kapalnya ditangkap di lepas pantai Rakhine selatan pekan lalu yang juga menuju Malaysia, menurut seorang pekerja bantuan di Sittwe yang memantau pergerakan kapal.
Badan pengungsi PBB mengatakan Myanmar harus mengatasi akar penyebab eksodus, termasuk kewarganegaraan bagi Rohingya, yang menganggap diri mereka asli Negara Bagian Rakhine.
Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari anak benua India dan telah membatasi puluhan ribu hingga kamp-kamp yang luas di luar Sittwe sejak kekerasan menyapu kawasan itu pada tahun 2012.
Lebih dari 700 ribu orang Rohingya menyeberang ke Bangladesh tahun lalu. Mereka melarikan diri dari operasi militer di utara Negara Bagian Rakhine, menurut badan-badan PBB.
Penyelidik yang diberi mandat PBB telah menuduh tentara Myanmar mempunyai “niat genosida” dan pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah sebagian besar tuduhan kekejaman, menyalahkan gerilyawan Rohingya yang menyerang pos polisi karena memicu eksodus.
Para pejabat Myanmar mengatakan mereka siap menerima Rohingya yang ingin kembali dari kamp pengungsi Bangladesh. Tapi pengungsi sendiri dan lembaga bantuan menentang rencana pemulangan yang akan dimulai pada 15 November, mengatakan kondisi di Myanmar tidak aman.
Perahu itu diyakini merupakan perahu ketiga yang mencoba mencapai perbatasan Malaysia yang terhenti di perairan Myanmar sejak musim hujan mulai reda bulan lalu. Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran akan gelombang baru pelayaran berbahaya setelah tindakan keras tahun 2015 terhadap penyelundupan manusia.
Direktur kantor pemerintah Myanmar di Dawei, Moe Zaw Latt mengatakan nelayan melaporkan kapal mencurigakan kepada pihak berwenang. Dawei adalah sebuah kota pantai di Myanmar selatan.
Latt mengatakan Angkatan Laut menghentikan kapal pada hari Minggu dan menahan 93 orang, yang mengatakan mereka datang dari kamp Thae Chaung di Ibu Kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe.
Thae Chaung berjarak sekitar 900 km barat laut Dawei dan menampung orang-orang terlantar, yang kebanyakan adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan Rohingya.
“Mereka mengatakan mereka melarikan diri dari kamp. Mereka mengatakan mereka bermaksud pergi ke Malaysia,” kata Latt, menambahkan pihak berwenang sedang mempersiapkan untuk mengirim mereka kembali ke Sittwe pada hari Selasa (27/11/2018), seperti dikutip dari Reuters.
Foto-foto di media menunjukkan polisi berdiri di mana penumpang - banyak dari mereka wanita berjilbab dan anak-anak - berkerumun di dek.
Perahu itu menyerupai kapal yang biasanya digunakan Rohingya untuk melarikan diri dari kondisi seperti apartheid di Negara Bagian Rakhine, di mana pergerakan dan akses mereka ke layanan dasar sangat dibatasi.
Ini bukan yang pertama kali. Pada 16 November, Myanmar menahan 106 pria, wanita dan anak-anak Rohingya di atas kapal dekat pusat komersial Yangon, ketika mengalami kegagalan mesin dalam perjalanan dari kamp Sittwe ke Malaysia.
Orang-orang itu telah dikembalikan ke kamp, bersama dengan kelompok lain yang terdiri lebih dari 80 orang yang kapalnya ditangkap di lepas pantai Rakhine selatan pekan lalu yang juga menuju Malaysia, menurut seorang pekerja bantuan di Sittwe yang memantau pergerakan kapal.
Badan pengungsi PBB mengatakan Myanmar harus mengatasi akar penyebab eksodus, termasuk kewarganegaraan bagi Rohingya, yang menganggap diri mereka asli Negara Bagian Rakhine.
Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari anak benua India dan telah membatasi puluhan ribu hingga kamp-kamp yang luas di luar Sittwe sejak kekerasan menyapu kawasan itu pada tahun 2012.
Lebih dari 700 ribu orang Rohingya menyeberang ke Bangladesh tahun lalu. Mereka melarikan diri dari operasi militer di utara Negara Bagian Rakhine, menurut badan-badan PBB.
Penyelidik yang diberi mandat PBB telah menuduh tentara Myanmar mempunyai “niat genosida” dan pembersihan etnis. Namun Myanmar membantah sebagian besar tuduhan kekejaman, menyalahkan gerilyawan Rohingya yang menyerang pos polisi karena memicu eksodus.
Para pejabat Myanmar mengatakan mereka siap menerima Rohingya yang ingin kembali dari kamp pengungsi Bangladesh. Tapi pengungsi sendiri dan lembaga bantuan menentang rencana pemulangan yang akan dimulai pada 15 November, mengatakan kondisi di Myanmar tidak aman.
(ian)