Pengungsi Desak Bangladesh Akui Etnik Rohingya
A
A
A
COX S BAZAR - Para pengungsi dari Myanmar di kamp-kamp Bangladesh berunjuk rasa mendesak pemerintah Bangladesh mengakui etnisitas mereka sebagai Rohingya.
Mereka juga meminta para pejabat Bangladesh dan badan bantuan berhenti membagikan informasi keluarga mereka pada Myanmar. Sejumlah pasar tutup di beberapa kamp pengungsi di Bangladesh bagian tenggara karena unjuk rasa itu.
Warga Rohingya yang bekerja untuk berbagai kelompok non-pemerintah dan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) juga mogok kerja sebagai bagian dari aksi unjuk rasa tersebut.
“Istilah ‘Rohingya’ sangat penting karena kami telah mengalami persekusi karena identitas kami,” papar para pengungsi Rohingya yang berunjuk rasa, dilansir kantor berita Reuters.
Para demonstran menyatakan, karena istilah Rohingya dilarang di Myanmar maka sebutan itu tidak boleh dilarang di Bangladesh. Lebih dari 700.000 Muslim Rohingya mengungsi saat operasi militer Myanmar digelar di Rakhine tahun lalu.
Rohingya menyebut diri mereka sebagai warga asli Rakhine di Myanmar barat, tapi otoritas Myanmar dan mayoritas warga Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Sebagian besar Rohingya tak mendapatkan kewarganegaraan dari pemerintah Myanmar. Undang-undang Myanmar 1982 membatasi kewarganegaraan untuk Rohingya dan kelompok minoritas lain yang tidak dianggap sebagai anggota ras nasional Myanmar. Pemerintah Myanmar juga menolak menggunakan kata ‘Rohingya’ dan lebih memilih menyebut mereka sebagai ‘Bengali’.
Bangladesh mendesak para pengungsi menerima kartu cerdas yang membantu identifikasi dan pembagian bantuan. Kartu cerdas itu mengidentifikasi setiap orang sebagai warga Myanmar yang mengungsi secara paksa dan bukan sebagai Rohingya.
Para demonstran juga mengungkapkan kekhawatiran tentang rencana UNHCR mengumpulkan data biometrik dan salinan dokumen karena mereka khawatir UNHCR dan otoritas Bangladesh akan memberikan data itu pada Myanmar. Para pengungsi khawatir data itu dapat digunakan Myanmar untuk merugikan Rohingya.
Otoritas Bangladesh belum memberi komentar tentang tuntutan terbaru Rohingya tersebut.
Perwakilan UNHCR Firas Al-Khateeb menyatakan data itu dikumpulkan untuk proses verifikasi yang dapat membantu pengungsi Rohingya mendapat perlindungan lebih baik dan menjamin akses mereka pada berbagai layanan di Bangladesh.
“Ini tidak terkait repatriasi,” ujar Firas yang menambahkan data itu disimpan oleh Bangladesh dan UNHCR.
Para pengungsi menolak kembali ke Myanmar sesuai rencana repatriasi hingga mereka mendapat jaminan keadilan, kewarganegaraan dan kemampuan kembali ke desa asal dan tanah milik mereka. (Syarifudin)
Mereka juga meminta para pejabat Bangladesh dan badan bantuan berhenti membagikan informasi keluarga mereka pada Myanmar. Sejumlah pasar tutup di beberapa kamp pengungsi di Bangladesh bagian tenggara karena unjuk rasa itu.
Warga Rohingya yang bekerja untuk berbagai kelompok non-pemerintah dan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) juga mogok kerja sebagai bagian dari aksi unjuk rasa tersebut.
“Istilah ‘Rohingya’ sangat penting karena kami telah mengalami persekusi karena identitas kami,” papar para pengungsi Rohingya yang berunjuk rasa, dilansir kantor berita Reuters.
Para demonstran menyatakan, karena istilah Rohingya dilarang di Myanmar maka sebutan itu tidak boleh dilarang di Bangladesh. Lebih dari 700.000 Muslim Rohingya mengungsi saat operasi militer Myanmar digelar di Rakhine tahun lalu.
Rohingya menyebut diri mereka sebagai warga asli Rakhine di Myanmar barat, tapi otoritas Myanmar dan mayoritas warga Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Sebagian besar Rohingya tak mendapatkan kewarganegaraan dari pemerintah Myanmar. Undang-undang Myanmar 1982 membatasi kewarganegaraan untuk Rohingya dan kelompok minoritas lain yang tidak dianggap sebagai anggota ras nasional Myanmar. Pemerintah Myanmar juga menolak menggunakan kata ‘Rohingya’ dan lebih memilih menyebut mereka sebagai ‘Bengali’.
Bangladesh mendesak para pengungsi menerima kartu cerdas yang membantu identifikasi dan pembagian bantuan. Kartu cerdas itu mengidentifikasi setiap orang sebagai warga Myanmar yang mengungsi secara paksa dan bukan sebagai Rohingya.
Para demonstran juga mengungkapkan kekhawatiran tentang rencana UNHCR mengumpulkan data biometrik dan salinan dokumen karena mereka khawatir UNHCR dan otoritas Bangladesh akan memberikan data itu pada Myanmar. Para pengungsi khawatir data itu dapat digunakan Myanmar untuk merugikan Rohingya.
Otoritas Bangladesh belum memberi komentar tentang tuntutan terbaru Rohingya tersebut.
Perwakilan UNHCR Firas Al-Khateeb menyatakan data itu dikumpulkan untuk proses verifikasi yang dapat membantu pengungsi Rohingya mendapat perlindungan lebih baik dan menjamin akses mereka pada berbagai layanan di Bangladesh.
“Ini tidak terkait repatriasi,” ujar Firas yang menambahkan data itu disimpan oleh Bangladesh dan UNHCR.
Para pengungsi menolak kembali ke Myanmar sesuai rencana repatriasi hingga mereka mendapat jaminan keadilan, kewarganegaraan dan kemampuan kembali ke desa asal dan tanah milik mereka. (Syarifudin)
(nfl)