Lewat Surat, Arab Saudi Tolak dari Rencana Perdamaian AS
A
A
A
RIYADH - Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz mengirimkan surat ke Gedung Putih. Surat tersebut berisi penolakan Arab Saudi terhadap rencana perdamaian Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Arab Saudi telah memberi tahu pemerintahan Presiden AS Donald Trump bahwa negara itu tidak dapat mendukung rencana perdamaian antara Israel dan Palestina, yang dikenal di media sebagai 'Kesepakatan Abad Ini', jika tidak nyatakan bahwa Yerusalem Timur akan menjadi ibu kota negara Palestina,” tulis Haaretz seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (1/8/2018).
Dalam laporan tersebut, Haaretz mengutip dua diplomat yang berpartisipasi dalam rencana perdamaian.
"Raja Saudi Salman bin Abdulaziz menyatakan dukungannya untuk posisi Palestina dan meyakinkan para pemimpin Arab bahwa kerajaan itu masih berkomitmen untuk inisiatif perdamaian Arab 2002, yang menetapkan pembentukan Negara Palestina di perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata kedua diplomat tersebut.
Surat kabar itu menjelaskan bahwa raja Saudi menyatakan posisinya ini dalam serangkaian percakapan telepon yang baru-baru ini ia adakan dengan para pejabat senior AS, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan para pemimpin Arab lainnya.
"Raja Salman juga telah mengeluarkan perintah mendesak untuk mengalokasikan USD80 juta kepada Otoritas Palestina sebagai kompensasi kerugian yang disebabkan oleh pemotongan bantuan AS," menurut Haaretz.
Haaretz mengutip sumber diplomatik yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa: "perubahan posisi Saudi terhadap rencana perdamaian datang sebagai hasil pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengalihan kedutaan AS di sana."
Sumber itu menambahkan: "Saudi memberi tahu pemerintah AS: 'Kami tidak dapat menerapkan apa yang telah kami janjikan sebelum keputusan AS tentang Yerusalem.'”
Surat kabar itu juga menyatakan bahwa Mesir dan Yordania mendesak pemerintah AS untuk mengusulkan rencana perdamaian jika rencana itu adil bagi Palestina. Haaretz menambahkan bahwa Yordania memperingatkan pemerintahan Trump bahwa setiap rencana yang bias ke Israel akan menimbulkan masalah di Yordania, yang akan memaksa Oman untuk menolak proposal tersebut.
Kantor berita Reuters mengungkapkan posisi ini untuk pertama kalinya pada hari Minggu lalu, seperti yang dikutip seorang diplomat senior Arab di Riyadh yang mengatakan: "Amerika Serikat telah membuat kesalahan dengan percaya bahwa satu negara dapat menekan negara-negara lainnya untuk menyerah, tetapi ini bukan tentang tekanan. Tidak ada pemimpin Arab yang bisa meninggalkan Yerusalem atau orang-orang Palestina.”
"Arab Saudi telah memberi tahu pemerintahan Presiden AS Donald Trump bahwa negara itu tidak dapat mendukung rencana perdamaian antara Israel dan Palestina, yang dikenal di media sebagai 'Kesepakatan Abad Ini', jika tidak nyatakan bahwa Yerusalem Timur akan menjadi ibu kota negara Palestina,” tulis Haaretz seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (1/8/2018).
Dalam laporan tersebut, Haaretz mengutip dua diplomat yang berpartisipasi dalam rencana perdamaian.
"Raja Saudi Salman bin Abdulaziz menyatakan dukungannya untuk posisi Palestina dan meyakinkan para pemimpin Arab bahwa kerajaan itu masih berkomitmen untuk inisiatif perdamaian Arab 2002, yang menetapkan pembentukan Negara Palestina di perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata kedua diplomat tersebut.
Surat kabar itu menjelaskan bahwa raja Saudi menyatakan posisinya ini dalam serangkaian percakapan telepon yang baru-baru ini ia adakan dengan para pejabat senior AS, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan para pemimpin Arab lainnya.
"Raja Salman juga telah mengeluarkan perintah mendesak untuk mengalokasikan USD80 juta kepada Otoritas Palestina sebagai kompensasi kerugian yang disebabkan oleh pemotongan bantuan AS," menurut Haaretz.
Haaretz mengutip sumber diplomatik yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa: "perubahan posisi Saudi terhadap rencana perdamaian datang sebagai hasil pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengalihan kedutaan AS di sana."
Sumber itu menambahkan: "Saudi memberi tahu pemerintah AS: 'Kami tidak dapat menerapkan apa yang telah kami janjikan sebelum keputusan AS tentang Yerusalem.'”
Surat kabar itu juga menyatakan bahwa Mesir dan Yordania mendesak pemerintah AS untuk mengusulkan rencana perdamaian jika rencana itu adil bagi Palestina. Haaretz menambahkan bahwa Yordania memperingatkan pemerintahan Trump bahwa setiap rencana yang bias ke Israel akan menimbulkan masalah di Yordania, yang akan memaksa Oman untuk menolak proposal tersebut.
Kantor berita Reuters mengungkapkan posisi ini untuk pertama kalinya pada hari Minggu lalu, seperti yang dikutip seorang diplomat senior Arab di Riyadh yang mengatakan: "Amerika Serikat telah membuat kesalahan dengan percaya bahwa satu negara dapat menekan negara-negara lainnya untuk menyerah, tetapi ini bukan tentang tekanan. Tidak ada pemimpin Arab yang bisa meninggalkan Yerusalem atau orang-orang Palestina.”
(ian)