Myanmar Lakukan Kekerasan Terhadap Anak-anak Rohingya
A
A
A
YANGON - Myanmar telah melanggar kewajibannya terhadap konvensi hak-hak anak PBB dalam aksi kekerasan terhadap Rohingya yang menyebabkan eksodos ratusan ribu orang dari komunitas minoritas tersebut.
Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya eksodus ke Bangladesh sejak dimulainya penindasan oleh militer Myanmar pada Agustus lalu. Dari jumlah itu, sekitar setengahnya adalah anak-anak.
Para ahli hukum yang ditugaskan oleh Save the Children Norway menganalisis penelitian badan-badan PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional yang menuduh bahwa pembunuhan massal, pembakaran, dan penyiksaan dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap Rohingya.
“Penelitian ini menemukan bahwa tanggapan oleh Pemerintah Myanmar terhadap serangan-serangan pada bulan Agustus 2017 di pos polisi, bersama dengan diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap Rohingya, merupakan pelanggaran terhadap setidaknya tujuh artikel kunci (Konvensi PBB tentang hak-hak anak),” bunyi laporan mereka seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (21/7/2018).
Analisis menemukan bahwa pemerintah dan pasukan keamanan bersalah.
"Pemerintah Myanmar mengambil langkah positif untuk membantu operasi militer dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka melakukan apa pun untuk membatasi atau mengutuk tindakan pasukan keamanan," bunyi laporan itu.
Pelanggaran yang disorot dalam laporan termasuk kegagalan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, pelecehan, penelantaran, eksploitasi seksual dan lainnya, perlakuan tidak manusiawi dan penahanan.
Laporan ini mengacu pada pembunuhan tanpa pandang bulu dan di luar hukum terhadap anak-anak Rohingya, dan penyiksaan, perlakuan buruk dan kekerasan berbasis gender yang dilakukan terhadap mereka.
Laporan itu mengatakan kegagalan pemerintah Myanmar untuk melakukan penyelidikan independen terhadap peristiwa setelah serangan bulan Agustus 2017, dan diskriminasi berkelanjutan terhadap anak-anak Rohingya dengan menolak kewarganegaraan mereka juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban Myanmar terhadap konvensi hak-hak anak.
"Daftar pelanggaran yang kami temukan tidak lengkap," kata Guy Goodwin-Gill, profesor emeritus hukum pengungsi internasional di Universitas Oxford, yang turut menulis laporan tersebut.
"Itu hanya merupakan pelanggaran yang paling serius dan kemungkinan besar ada beberapa yang lain," imbuhnya.
Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya eksodus ke Bangladesh sejak dimulainya penindasan oleh militer Myanmar pada Agustus lalu. Dari jumlah itu, sekitar setengahnya adalah anak-anak.
Para ahli hukum yang ditugaskan oleh Save the Children Norway menganalisis penelitian badan-badan PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional yang menuduh bahwa pembunuhan massal, pembakaran, dan penyiksaan dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap Rohingya.
“Penelitian ini menemukan bahwa tanggapan oleh Pemerintah Myanmar terhadap serangan-serangan pada bulan Agustus 2017 di pos polisi, bersama dengan diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap Rohingya, merupakan pelanggaran terhadap setidaknya tujuh artikel kunci (Konvensi PBB tentang hak-hak anak),” bunyi laporan mereka seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (21/7/2018).
Analisis menemukan bahwa pemerintah dan pasukan keamanan bersalah.
"Pemerintah Myanmar mengambil langkah positif untuk membantu operasi militer dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka melakukan apa pun untuk membatasi atau mengutuk tindakan pasukan keamanan," bunyi laporan itu.
Pelanggaran yang disorot dalam laporan termasuk kegagalan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, pelecehan, penelantaran, eksploitasi seksual dan lainnya, perlakuan tidak manusiawi dan penahanan.
Laporan ini mengacu pada pembunuhan tanpa pandang bulu dan di luar hukum terhadap anak-anak Rohingya, dan penyiksaan, perlakuan buruk dan kekerasan berbasis gender yang dilakukan terhadap mereka.
Laporan itu mengatakan kegagalan pemerintah Myanmar untuk melakukan penyelidikan independen terhadap peristiwa setelah serangan bulan Agustus 2017, dan diskriminasi berkelanjutan terhadap anak-anak Rohingya dengan menolak kewarganegaraan mereka juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban Myanmar terhadap konvensi hak-hak anak.
"Daftar pelanggaran yang kami temukan tidak lengkap," kata Guy Goodwin-Gill, profesor emeritus hukum pengungsi internasional di Universitas Oxford, yang turut menulis laporan tersebut.
"Itu hanya merupakan pelanggaran yang paling serius dan kemungkinan besar ada beberapa yang lain," imbuhnya.
(ian)