Satelit China Akan Jatuh ke Bumi Akhir Pekan Ini
A
A
A
DARMSTADT - Stasiun luar angkasa China Tiangong-1 diperkirakan memasuki atmosfer bumi akhir pekan ini, tapi lokasi jatuhnya masih misteri. Peristiwa tersebut mengingatkan dunia antariksa mengenai jatuhnya stasiun luar angkasa Amerika Serikat (AS) Skylab pada 1979 yang hancur bagaikan debu di Australia.
Kantor Puing-puing Luar Angkasa Lembaga Luar Angkasa Eropa (European Space Agency/ESA) yang berkantor pusat di Darmstadt, Jerman, memperkirakan Tiangong-1 jatuh antara 30 Maret sampai 2 April. Berdasarkan kemiringan orbitalnya, Tiangong-1 akan berada di antara 43 derajat lintang utara dan 43 lintang selatan.
"Wilayah di atas atau di bawah lintang itu bisa dikecualikan dari lokasi jatuhnya Tiangong-1. Jika sudah dekat, ramalan waktu dan lokasi jatuhnya Tiangong-1 dapat dihitung lebih akurat," ungkap ESA dalam keterangan pers dikutip scientificamerican.com.
Ketidakberesan Tiangong-1 sudah diketahui sejak 2016 lewat satelit lain. Muncul kekhawatiran serpihan satelit Tiangong-1 bisa mengancam keselamatan manusia di bumi. Lab berbobot 8,5 ton yang diluncurkan pada 2011 itu sempat mengorbit di jalur orbit bumi rendah, yakni 362 km dari permukaan bumi. Satelit sepanjang 12 meter itu sempat akan diturunkan pada 2013, tetapi tidak jadi tanpa ada alasan jelas.
Sejauh ini belum ada penjelasan resmi dari Pemerintah China mengapa Tiangong-1 bisa jatuh. Dugaan sementara para ahli akibat kehabisan bahan bakar. Pada 2016 silam, Pemerintah China menyatakan Tiangong-1 tak terkendali dan akan menjatuhkannya pada akhir 2017. Faktanya, Tiangong-1 malah jatuh tak terkendali.
Ahli astropsikis dari Harvard-Smithsonian Center, Jonathan McDowell menilai, insiden ini mencoreng ambisi China mendominasi antariksa. "Mereka akan merasa malu. Bahaya nyata terhadap manusia kecil. Namun dalam praktik internasional, objek besar seharusnya tidak jatuh dari langit dengan kondisi seperti ini," ujar McDowell seperti dikutip CNN.
Sebagian stasiun ruang angkasa itu akan terbakar ketika memasuki atmosfer bumi. Joan Johnson-Freese, profesor Sekolah Perang Laut AS dan mantan Kepala Urusan Keamanan Nasional, memprediksi dalam skenario terburuk, serpihan itu kemungkinan menghantam area padat penduduk dan mengeluarkan zat beracun Hydrazine.
Zat Hydrazine jika terhirup dalam jangka pendek bisa menyebabkan batukbatuk, iritasi pada tenggorokan dan paru-paru, serta kejang-kejang. "China tentu berharap peristiwa ini tidak terjadi. Tapi peristiwa ini tidak akan mengancam rencana penerbangan ruang angkasa mereka," katanya.
Kantor Puing-puing Luar Angkasa Lembaga Luar Angkasa Eropa (European Space Agency/ESA) yang berkantor pusat di Darmstadt, Jerman, memperkirakan Tiangong-1 jatuh antara 30 Maret sampai 2 April. Berdasarkan kemiringan orbitalnya, Tiangong-1 akan berada di antara 43 derajat lintang utara dan 43 lintang selatan.
"Wilayah di atas atau di bawah lintang itu bisa dikecualikan dari lokasi jatuhnya Tiangong-1. Jika sudah dekat, ramalan waktu dan lokasi jatuhnya Tiangong-1 dapat dihitung lebih akurat," ungkap ESA dalam keterangan pers dikutip scientificamerican.com.
Ketidakberesan Tiangong-1 sudah diketahui sejak 2016 lewat satelit lain. Muncul kekhawatiran serpihan satelit Tiangong-1 bisa mengancam keselamatan manusia di bumi. Lab berbobot 8,5 ton yang diluncurkan pada 2011 itu sempat mengorbit di jalur orbit bumi rendah, yakni 362 km dari permukaan bumi. Satelit sepanjang 12 meter itu sempat akan diturunkan pada 2013, tetapi tidak jadi tanpa ada alasan jelas.
Sejauh ini belum ada penjelasan resmi dari Pemerintah China mengapa Tiangong-1 bisa jatuh. Dugaan sementara para ahli akibat kehabisan bahan bakar. Pada 2016 silam, Pemerintah China menyatakan Tiangong-1 tak terkendali dan akan menjatuhkannya pada akhir 2017. Faktanya, Tiangong-1 malah jatuh tak terkendali.
Ahli astropsikis dari Harvard-Smithsonian Center, Jonathan McDowell menilai, insiden ini mencoreng ambisi China mendominasi antariksa. "Mereka akan merasa malu. Bahaya nyata terhadap manusia kecil. Namun dalam praktik internasional, objek besar seharusnya tidak jatuh dari langit dengan kondisi seperti ini," ujar McDowell seperti dikutip CNN.
Sebagian stasiun ruang angkasa itu akan terbakar ketika memasuki atmosfer bumi. Joan Johnson-Freese, profesor Sekolah Perang Laut AS dan mantan Kepala Urusan Keamanan Nasional, memprediksi dalam skenario terburuk, serpihan itu kemungkinan menghantam area padat penduduk dan mengeluarkan zat beracun Hydrazine.
Zat Hydrazine jika terhirup dalam jangka pendek bisa menyebabkan batukbatuk, iritasi pada tenggorokan dan paru-paru, serta kejang-kejang. "China tentu berharap peristiwa ini tidak terjadi. Tapi peristiwa ini tidak akan mengancam rencana penerbangan ruang angkasa mereka," katanya.
(amm)