Penjelajah Waktu dari Tahun 2030 Ungkap Nasib Korut dan Jong-un
A
A
A
WASHINGTON - Seorang pria yang mengaku sebagai penjelajah waktu mengungkapkan masa depan Korea Utara (Korut) dan diktator mudanya, Kim Jong-un. Pria bernama Noah itu mengaku berasal dari tahun 2030.
Baca Juga: Mengaku Penjelajah Waktu, Pria Ini Bercerita tentang Masa Depan
Menurut Noah, pada tahun 2030 negara nakal itu sudah tinggal kenangan atau sudah tidak ada dan dalam rentang waktu 12 tahun Korea kembali bersatu.
"Korea Utara kalah beberapa saat setelah perang dan kemudian menjadi Korea. Pada dasarnya orang masih menyebutnya Korea Utara dan Korea Selatan, seperti orang Amerika Serikat mengatakan utara dan selatan," tuturnya.
“Ada banyak pemberontak di Korea Utara karena mereka tidak menginginkan masyarakat kapitalis. Tetapi akhirnya perlahan-lahan pemberontkan itu berhenti dan pada dasarnya itu hanya sebuah negara kapitalis dan semua orang senang," sambungnya.
"Ada pemimpin baru, Kim Jong-un melakukan tawar menawar, saya tidak akan mengatakan bagaimana tapi seperti itu," tukas Noah seperti dikutip dari Daily Express, Kamis (22/3/2018).
Noah menjelaskan bahwa selama periode 2030 beberapa negara terlibat dalam konflik yang pada akhirnya mengarah pada akhir negara provokatif Kim Jong-un itu.
Penjelajah waktu itu juga menjelaskan bahwa ia terperangkap dalam pertempuran dan disiksa oleh Korut yang berada di ambang kehancuran selama dua hari.
"Korea Utara pada dasarnya menjadi ancaman besar bagi kami. Saya punya cerita tentang saya di Korea Utara pada 2030 - saya belajar di sana bersama sekelompok orang lain, pada dasarnya kami hanya mencatat," katanya.
“Tapi masalahnya ada dua pihak yang bertarung, pada dasarnya sekelompok negara, saya hanya akan mengatakan tiga dari mereka karena saya tidak ingin menimbulkan paradoks," imbuhnya.
“Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, pada dasarnya mereka bertempur dan saya berada di tengah-tengah bagian yang dilanda perang. Ada tembakan konstan, terus-menerus para pemberontak berlari saling membunuh, jadi sangat sulit bagi saya untuk tidak masuk ke tengah-tengah itu," tuturnya.
“Saya mencoba membuat catatan, dan pada dasarnya saat pertarungan terjadi Korea Utara mendapat sedikit kemenangan dan mereka mendapatkan tanah tempat saya tinggal, jadi menangkap saya beberapa jam setelah itu terjadi dan saya dikirim ke kamp," ungkapnya.
“Alasan mengapa saya tidak berbicara tentang kisah ini untuk waktu yang lama adalah bahwa saya hanya ada di sana selama dua hari sampai seseorang merebut kembali tanah dan kami dapat dibebaskan," ujarnya.
"Kami pada dasarnya disiksa, tidak menyakitkan tetapi kami seperti sakit sedikit dan kami bisa keluar," tukasnya.
Baca Juga: Mengaku Penjelajah Waktu, Pria Ini Bercerita tentang Masa Depan
Menurut Noah, pada tahun 2030 negara nakal itu sudah tinggal kenangan atau sudah tidak ada dan dalam rentang waktu 12 tahun Korea kembali bersatu.
"Korea Utara kalah beberapa saat setelah perang dan kemudian menjadi Korea. Pada dasarnya orang masih menyebutnya Korea Utara dan Korea Selatan, seperti orang Amerika Serikat mengatakan utara dan selatan," tuturnya.
“Ada banyak pemberontak di Korea Utara karena mereka tidak menginginkan masyarakat kapitalis. Tetapi akhirnya perlahan-lahan pemberontkan itu berhenti dan pada dasarnya itu hanya sebuah negara kapitalis dan semua orang senang," sambungnya.
"Ada pemimpin baru, Kim Jong-un melakukan tawar menawar, saya tidak akan mengatakan bagaimana tapi seperti itu," tukas Noah seperti dikutip dari Daily Express, Kamis (22/3/2018).
Noah menjelaskan bahwa selama periode 2030 beberapa negara terlibat dalam konflik yang pada akhirnya mengarah pada akhir negara provokatif Kim Jong-un itu.
Penjelajah waktu itu juga menjelaskan bahwa ia terperangkap dalam pertempuran dan disiksa oleh Korut yang berada di ambang kehancuran selama dua hari.
"Korea Utara pada dasarnya menjadi ancaman besar bagi kami. Saya punya cerita tentang saya di Korea Utara pada 2030 - saya belajar di sana bersama sekelompok orang lain, pada dasarnya kami hanya mencatat," katanya.
“Tapi masalahnya ada dua pihak yang bertarung, pada dasarnya sekelompok negara, saya hanya akan mengatakan tiga dari mereka karena saya tidak ingin menimbulkan paradoks," imbuhnya.
“Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, pada dasarnya mereka bertempur dan saya berada di tengah-tengah bagian yang dilanda perang. Ada tembakan konstan, terus-menerus para pemberontak berlari saling membunuh, jadi sangat sulit bagi saya untuk tidak masuk ke tengah-tengah itu," tuturnya.
“Saya mencoba membuat catatan, dan pada dasarnya saat pertarungan terjadi Korea Utara mendapat sedikit kemenangan dan mereka mendapatkan tanah tempat saya tinggal, jadi menangkap saya beberapa jam setelah itu terjadi dan saya dikirim ke kamp," ungkapnya.
“Alasan mengapa saya tidak berbicara tentang kisah ini untuk waktu yang lama adalah bahwa saya hanya ada di sana selama dua hari sampai seseorang merebut kembali tanah dan kami dapat dibebaskan," ujarnya.
"Kami pada dasarnya disiksa, tidak menyakitkan tetapi kami seperti sakit sedikit dan kami bisa keluar," tukasnya.
(ian)