Kesepakatan Repatriasi Pengungsi Rohingya, UNHCR Pesimis
A
A
A
JENEWA - Kepala badan pengungsi PBB, UNCHR, mengungkapkan rasa pesimisnya terhadap kesepakatan pemulangan kembali atau repratriasi pengungsi Rohingya. Sebelumnya, Bangladesh dan Myanmar telah mencapai kesepakatan untuk memulangkan kembali pengungsi Rohingya pada bulan Februari lalu.
Kepala UNHCR, Filippo Grandi mengatakan, Rohingya harus diizinkan kembali ke rumah mereka di Myanmar. Namun hal itu hanya bisa dilakukan secara sukarela dan mendapatkan jaminan terhadap hak-haknya.
"Kemungkinan berkembang terhadap solusi, solusi awal, tapi ini bukan alasan bagi saya sebagai Komisaris Tinggi untuk Pengungsi untuk menyerah pada masalah ini," katanya dalam sebuah konferensi pers.
"Kami sangat sadar akan fakta bahwa situasi ini mungkin memakan waktu lama, dan karena itu kami perlu merencanakan hal ini," sambungnya seperti disitat dari Reuters, Jumat (16/3/2018).
Ketika ditanya setidaknya berapa lama etnis Rohingya tinggal di kamp mereka di Bangladesh, Grandi berkata, "Saya berharap saya tahu."
Tahun lalu ia mengunjungi bagian lain dari Myanmar dimana orang-orang terlantar terjebak di kamp selama enam atau tujuh tahun. Ia mengatakan bahwa Rohingya tidak dapat mengalami nasib yang sama dalam skala yang jauh lebih besar.
Myint Thu, sekretaris tetap di Kementerian Luar Negeri Myanmar, mengatakan pada hari Rabu bahwa 374 pengungsi dapat dipulangkan.
Ia juga mengatakan bahwa Myanmar sekarang menganggap tepat untuk mengundang UNHCR dan Program Pembangunan PBB ke dalam proses pemulangan.
Baca Juga: Repatriasi, Myanmar Verifikasi 300 Lebih Pengungsi Rohingya
Grandi mengatakan bahwa dia masih belum memiliki kesepakatan untuk keterlibatan UNHCR, yang menurutnya penting dan sangat diperlukan.
"Diskusi dengan Myanmar cukup mendasar, tidak terlalu sering, tidak terlalu maju, tapi terus berlanjut. Ini adalah cara berjalan dalam situasi ini. Ini sangat sulit," kata Grandi.
Pemerintah Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara, dan Grandi mengatakan bahwa hak mereka perlu ditegakkan, termasuk kewarganegaraan, mobilitas dan akses terhadap layanan dasar.
"Tapi pertama-tama kekerasan harus dihentikan. Meskipun eksodus ke Bangladesh telah menurun secara besar-besaran sejak akhir tahun lalu, namun jumlah tersebut terus berlanjut dalam jumlah yang lebih kecil, ini mengindikasikan bahwa situasi tersebut masih belum stabil," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa pemerintah lain hanya boleh berinvestasi dalam proyek pembangunan di Rakhine jika mereka memastikannya mendukung kehadiran Rohingya dan tidak mengabadikan situasinya.
Kepala UNHCR, Filippo Grandi mengatakan, Rohingya harus diizinkan kembali ke rumah mereka di Myanmar. Namun hal itu hanya bisa dilakukan secara sukarela dan mendapatkan jaminan terhadap hak-haknya.
"Kemungkinan berkembang terhadap solusi, solusi awal, tapi ini bukan alasan bagi saya sebagai Komisaris Tinggi untuk Pengungsi untuk menyerah pada masalah ini," katanya dalam sebuah konferensi pers.
"Kami sangat sadar akan fakta bahwa situasi ini mungkin memakan waktu lama, dan karena itu kami perlu merencanakan hal ini," sambungnya seperti disitat dari Reuters, Jumat (16/3/2018).
Ketika ditanya setidaknya berapa lama etnis Rohingya tinggal di kamp mereka di Bangladesh, Grandi berkata, "Saya berharap saya tahu."
Tahun lalu ia mengunjungi bagian lain dari Myanmar dimana orang-orang terlantar terjebak di kamp selama enam atau tujuh tahun. Ia mengatakan bahwa Rohingya tidak dapat mengalami nasib yang sama dalam skala yang jauh lebih besar.
Myint Thu, sekretaris tetap di Kementerian Luar Negeri Myanmar, mengatakan pada hari Rabu bahwa 374 pengungsi dapat dipulangkan.
Ia juga mengatakan bahwa Myanmar sekarang menganggap tepat untuk mengundang UNHCR dan Program Pembangunan PBB ke dalam proses pemulangan.
Baca Juga: Repatriasi, Myanmar Verifikasi 300 Lebih Pengungsi Rohingya
Grandi mengatakan bahwa dia masih belum memiliki kesepakatan untuk keterlibatan UNHCR, yang menurutnya penting dan sangat diperlukan.
"Diskusi dengan Myanmar cukup mendasar, tidak terlalu sering, tidak terlalu maju, tapi terus berlanjut. Ini adalah cara berjalan dalam situasi ini. Ini sangat sulit," kata Grandi.
Pemerintah Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara, dan Grandi mengatakan bahwa hak mereka perlu ditegakkan, termasuk kewarganegaraan, mobilitas dan akses terhadap layanan dasar.
"Tapi pertama-tama kekerasan harus dihentikan. Meskipun eksodus ke Bangladesh telah menurun secara besar-besaran sejak akhir tahun lalu, namun jumlah tersebut terus berlanjut dalam jumlah yang lebih kecil, ini mengindikasikan bahwa situasi tersebut masih belum stabil," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa pemerintah lain hanya boleh berinvestasi dalam proyek pembangunan di Rakhine jika mereka memastikannya mendukung kehadiran Rohingya dan tidak mengabadikan situasinya.
(ian)