Iran Ancam Hengkang dari Kesepakatan Nuklir
A
A
A
LONDON - Teheran mengancam akan hengkang dari kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam kekuatan dunia. Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Aragachi memperingatkan dunia akan menghadapi “krisis nuklir Iran lainnya” jika kesepakatan tahun 2015 runtuh.
Ancaman itu dilontarkan dalam sebuah pidato di Chatham House London pada hari Kamis.
Menurut Aragachi, “atmosfer ketidakpastian” di bawah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah membuat lebih sulit bagi Iran untuk tetap menjalankan kesepakatan yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tersebut.
”Jika kita kehilangan JCPOA, kita akan menghadapi krisis nuklir lagi, yang akan sangat sulit dipecahkan saat ini,” katanya.
“Ini adalah pilihan antara keamanan dan ketidakamanan di tingkat dunia,” katanya lagi, seperti dikutip Al Jazeera, Jumat (23/2/2018).
Araghchi, yang bertindak sebagai juru runding nuklir utama Iran, juga mengisyaratkan bahwa Iran dapat menarik diri dari kesepakatan tersebut jika negaranya gagal untuk memetik manfaat yang diharapkan dari JCPOA.
”Bagi Iran, kami seharusnya mendapat keuntungan dari pencabutan sanksi,” katanya merujuk pada hasil kesepakatan nuklir Iran. ”Jika perusahaan dan bank-bank (internasional) tidak bekerjasama dengan Iran, kami tidak bisa tetap berada dalam kesepakatan yang tidak menguntungkan kami.”
Faktanya, masih ada beberapa bank internasional yang menolak bekerjasama dengan Iran karena takut terkena sanksi dari AS.
Di bawah kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani di Wina antara Iran dan enam kekuatan dunia—Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris dan China—Teheran bersedia mengekang program pengayaan uranium dengan imbalan pencabutan sanksi atau embargo.
Menurut inspektur PBB, Iran terus mematuhi kesepakatan tersebut. Sebagai gantinya, Iran diizinkan untuk melanjutkan perdagangan minyak dan gas di pasar internasional.
Aset Iran di luar negeri senilai USD 100 miliar yang sebelumnya dibekukan juga sudah dibebaskan dari sanksi.
Ancaman itu dilontarkan dalam sebuah pidato di Chatham House London pada hari Kamis.
Menurut Aragachi, “atmosfer ketidakpastian” di bawah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah membuat lebih sulit bagi Iran untuk tetap menjalankan kesepakatan yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tersebut.
”Jika kita kehilangan JCPOA, kita akan menghadapi krisis nuklir lagi, yang akan sangat sulit dipecahkan saat ini,” katanya.
“Ini adalah pilihan antara keamanan dan ketidakamanan di tingkat dunia,” katanya lagi, seperti dikutip Al Jazeera, Jumat (23/2/2018).
Araghchi, yang bertindak sebagai juru runding nuklir utama Iran, juga mengisyaratkan bahwa Iran dapat menarik diri dari kesepakatan tersebut jika negaranya gagal untuk memetik manfaat yang diharapkan dari JCPOA.
”Bagi Iran, kami seharusnya mendapat keuntungan dari pencabutan sanksi,” katanya merujuk pada hasil kesepakatan nuklir Iran. ”Jika perusahaan dan bank-bank (internasional) tidak bekerjasama dengan Iran, kami tidak bisa tetap berada dalam kesepakatan yang tidak menguntungkan kami.”
Faktanya, masih ada beberapa bank internasional yang menolak bekerjasama dengan Iran karena takut terkena sanksi dari AS.
Di bawah kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani di Wina antara Iran dan enam kekuatan dunia—Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris dan China—Teheran bersedia mengekang program pengayaan uranium dengan imbalan pencabutan sanksi atau embargo.
Menurut inspektur PBB, Iran terus mematuhi kesepakatan tersebut. Sebagai gantinya, Iran diizinkan untuk melanjutkan perdagangan minyak dan gas di pasar internasional.
Aset Iran di luar negeri senilai USD 100 miliar yang sebelumnya dibekukan juga sudah dibebaskan dari sanksi.
(mas)