Repatriasi Rohingya Akan Selesai dalam Dua Tahun
A
A
A
DHAKA - Bangladesh akan menyelesaikan proses pemulangan ratusan ribu Muslim Rohingya ke Myanmar dalam waktu dua tahun. Para pengungsi itu meninggalkan Myanmar setelah operasi militer brutal. Bangladesh dan Myanmar telah membuat kesepakatan untuk pemulangan pengungsi ke negara asalnya.
Rencana repatriasi itu ditanggapi penuh kekhawatiran oleh sejumlah lembaga yang mempertanyakan keamanan, mata pencaharian, dan permukiman permanen para pengungsi. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Bangladesh menyatakan, upaya pemulangan akan mempertimbangkan keluarga sebagai satu unit.
Myanmar juga berjanji menyediakan penampungan sementara bagi mereka yang kembali, sebelum membangunkan kembali rumah untuk mereka. Bangladesh akan membangun lima kamp transit untuk mengirim Rohingya kedua pusat penerimaan di wilayah Myanmar.
“Myanmar menegaskan kembali komitmennya menghentikan aliran warga Myanmar ke Bangladesh,” papar pernyataan Kemlu Bangladesh, dikutip kantor berita Reuters.
“Bangladesh juga menyerukan untuk repatriasi anak yatim piatu dan anak yang lahir akibat kejadian yang tak beralasan atau merujuk pada kasus pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan,” ungkap pernyataan Kemlu Bangladesh.
Menurut berbagai wawancara di kamp pengungsi, banyak wanita Rohingya yang mengalami pemerkosaan oleh pasukan keamanan Myanmar. Meski demikian, militer Myanmar menyangkal tuduhan telah melakukan pemerkosaan massal tersebut.
Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, operasi militer Myanmar itu sebagai pembersihan etnik. Kekerasan di Myanmar mengakibatkan 650.000 etnik Rohingya mengungsi sejak Agustus lalu. Pertemuan di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, merupakan yang pertama kali digelar kelompok kerja gabungan untuk menyusun rincian kesepakatan repatriasi pada November.
Pemerintah Myanmar tidak segera mengeluarkan pernyataan setelah rapat diakhiri kemarin. Direktur Jenderal Departemen Pemulihan dan Pemukiman Kembali, Kementerian Kesejahteraan Sosial Myanmar Ko Ko Naing menjelaskan, Myanmar telah menandatangani kesepakatan dengan Bangladesh dan bertujuan memulai proses repatriasi pada 23 Januari.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay menyatakan, pengungsi dapat mengajukan kewarganegaraan setelah melalui proses verifikasi. Lembaga yang dibentuk Myanmar untuk mengawasi repatriasi menyatakan, dua kamp repatriasi dan penilaian sementara serta satu lokasi lain telah dibangun untuk para pengungsi Rohingya.
Sekretaris Tetap Kementerian Buruh, Imigrasi, dan Populasi Myanmar Myint Kyaing menjelaskan, pihaknya akan memproses sedikitnya 150 orang per hari melalui di tiap dua kamp itu pada 23 Januari.
Sejumlah pihak masih khawatir dengan repatriasi tersebut. “Dari mana asal pertimbangan untuk perlindungan Rohingya dari pasukan keamanan Myanmar yang dua bulan lalu memerkosa dan membunuh mereka? Bagaimana negosiasi itu mengabaikan perampasan hak orang yang ditahan di tahanan tanpa batas waktu yang disebut akomodasi sementara itu?” kata Phil Robertson, deputi Direktur Asia Human Rights Watch. (Syarifudin)
Rencana repatriasi itu ditanggapi penuh kekhawatiran oleh sejumlah lembaga yang mempertanyakan keamanan, mata pencaharian, dan permukiman permanen para pengungsi. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Bangladesh menyatakan, upaya pemulangan akan mempertimbangkan keluarga sebagai satu unit.
Myanmar juga berjanji menyediakan penampungan sementara bagi mereka yang kembali, sebelum membangunkan kembali rumah untuk mereka. Bangladesh akan membangun lima kamp transit untuk mengirim Rohingya kedua pusat penerimaan di wilayah Myanmar.
“Myanmar menegaskan kembali komitmennya menghentikan aliran warga Myanmar ke Bangladesh,” papar pernyataan Kemlu Bangladesh, dikutip kantor berita Reuters.
“Bangladesh juga menyerukan untuk repatriasi anak yatim piatu dan anak yang lahir akibat kejadian yang tak beralasan atau merujuk pada kasus pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan,” ungkap pernyataan Kemlu Bangladesh.
Menurut berbagai wawancara di kamp pengungsi, banyak wanita Rohingya yang mengalami pemerkosaan oleh pasukan keamanan Myanmar. Meski demikian, militer Myanmar menyangkal tuduhan telah melakukan pemerkosaan massal tersebut.
Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, operasi militer Myanmar itu sebagai pembersihan etnik. Kekerasan di Myanmar mengakibatkan 650.000 etnik Rohingya mengungsi sejak Agustus lalu. Pertemuan di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, merupakan yang pertama kali digelar kelompok kerja gabungan untuk menyusun rincian kesepakatan repatriasi pada November.
Pemerintah Myanmar tidak segera mengeluarkan pernyataan setelah rapat diakhiri kemarin. Direktur Jenderal Departemen Pemulihan dan Pemukiman Kembali, Kementerian Kesejahteraan Sosial Myanmar Ko Ko Naing menjelaskan, Myanmar telah menandatangani kesepakatan dengan Bangladesh dan bertujuan memulai proses repatriasi pada 23 Januari.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay menyatakan, pengungsi dapat mengajukan kewarganegaraan setelah melalui proses verifikasi. Lembaga yang dibentuk Myanmar untuk mengawasi repatriasi menyatakan, dua kamp repatriasi dan penilaian sementara serta satu lokasi lain telah dibangun untuk para pengungsi Rohingya.
Sekretaris Tetap Kementerian Buruh, Imigrasi, dan Populasi Myanmar Myint Kyaing menjelaskan, pihaknya akan memproses sedikitnya 150 orang per hari melalui di tiap dua kamp itu pada 23 Januari.
Sejumlah pihak masih khawatir dengan repatriasi tersebut. “Dari mana asal pertimbangan untuk perlindungan Rohingya dari pasukan keamanan Myanmar yang dua bulan lalu memerkosa dan membunuh mereka? Bagaimana negosiasi itu mengabaikan perampasan hak orang yang ditahan di tahanan tanpa batas waktu yang disebut akomodasi sementara itu?” kata Phil Robertson, deputi Direktur Asia Human Rights Watch. (Syarifudin)
(nfl)