Gerilyawan Rohingya: 10 Muslim Rohingya yang Dibantai Warga Sipil
A
A
A
NAYPYIDAW - Gerilyawan Muslim Rohingya mengatakan bahwa 10 jenazah Rohingya yang ditemukan di sebuah kuburan massal adalah warga sipil yang tidak berdosa. Kelompok itu membantah jika para korban adalah anggota mereka.
Militer Myanmar mengatakan awal pekan ini bahwa tentaranya telah membunuh 10 "teroris" Muslim selama serangan gerilyawan pada awal September, setelah penduduk desa Buddha memaksa orang-orang yang ditangkap ke masuk dalam sebuah kuburan yang telah digali penduduk desa.
Ini adalah pengakuan yang langka atas kesalahan militer Myanmar selama operasinya di negara bagian Rakhine.
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengatakan bahwa pihaknya dengan sepenuh hati menyambut masuknya kejahatan perang "oleh" tentara teroris orang Myanmar.
"Kami dengan ini menyatakan bahwa sepuluh warga sipil Rohingya yang tidak berdosa yang ditemukan di kuburan massal di Tragedi Desa Inn Din bukanlah ARSA maupun berasosiasi dengan ARSA," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan di Twitter seperti dilansir dari Reuters, Minggu (14/1/2018).
Menanggapi pernyataan ARSA itu seorang juru bicara pemerintah Myanmar mengatakan bahwa terkadang teroris dan penduduk desa bersekutu dalam serangan terhadap pasukan keamanan.
"Kami telah mengatakan bahwa sangat sulit untuk memisahkan siapa teroris dan penduduk desa yang tidak bersalah. Akan ada proses investigasi yang sedang berlangsung apakah mereka anggota ARSA atau tidak," kata juru bicara pemerintah Zaw Htay.
Militer Myanmar sendiri tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Sementara itu pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, menanggapi "positif" bahwa militer negara tersebut bertanggung jawab atas tindakan pasukan tersebut.
"Ini adalah langkah baru untuk negara kita," katanya dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono di ibukota Myanmar, Naypyitaw.
"Saya melihatnya seperti itu karena sebuah negara perlu bertanggung jawab atas supremasi hukum di negara ini, dan ini adalah langkah pertama untuk mengambil tanggung jawab dan ini adalah hal yang positif," katanya, menurut sebuah transkrip konferensi pers yang dimuat di halaman Facebook-nya.
Baca Juga: Militer Myanmar Akui Bunuh 10 Muslim Rohingya, Ini Reaksi Suu Kyi
Pada 18 Desember, militer mengumumkan sebuah kuburan massal yang berisi 10 mayat ditemukan di desa pesisir Inn Din, sekitar 50 km utara ibukota negara bagian Sittwe. Tentara menunjuk seorang perwira senior untuk menyelidiki.
Sebuah pernyataan dari militer pada hari Rabu mengatakan penyelidikannya telah menemukan bahwa anggota pasukan keamanan telah mengambil bagian dalam pembunuhan tersebut dan tindakan akan diambil terhadap mereka.
"Beberapa warga sipil ingin membunuh 10 pria tersebut untuk membalas kematian seorang pria etnis Buddha Rakhine di desa Inn Dinn bernama Maung Ni dan akan menghadapi hukuman," kata militer.
Baca Juga: Anggap Teroris, Tentara Myanmar Akui Bantai 10 Muslim Rohingya
Krisis Rohingya meletus setelah serangan gerilyawan Rohingya terhadap pos keamanan pada 25 Agustus di Rakhine memicu sebuah respons militer yang sengit hingga PBB mencela tindakan tersebut sebagai pembersihan.
Myanmar menolak pembersihan etnis, dengan mengatakan bahwa pasukan keamanannya telah melakukan operasi pembebasan kontra-pemberontakan yang sah.
Militer Myanmar mengatakan awal pekan ini bahwa tentaranya telah membunuh 10 "teroris" Muslim selama serangan gerilyawan pada awal September, setelah penduduk desa Buddha memaksa orang-orang yang ditangkap ke masuk dalam sebuah kuburan yang telah digali penduduk desa.
Ini adalah pengakuan yang langka atas kesalahan militer Myanmar selama operasinya di negara bagian Rakhine.
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengatakan bahwa pihaknya dengan sepenuh hati menyambut masuknya kejahatan perang "oleh" tentara teroris orang Myanmar.
"Kami dengan ini menyatakan bahwa sepuluh warga sipil Rohingya yang tidak berdosa yang ditemukan di kuburan massal di Tragedi Desa Inn Din bukanlah ARSA maupun berasosiasi dengan ARSA," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan di Twitter seperti dilansir dari Reuters, Minggu (14/1/2018).
Menanggapi pernyataan ARSA itu seorang juru bicara pemerintah Myanmar mengatakan bahwa terkadang teroris dan penduduk desa bersekutu dalam serangan terhadap pasukan keamanan.
"Kami telah mengatakan bahwa sangat sulit untuk memisahkan siapa teroris dan penduduk desa yang tidak bersalah. Akan ada proses investigasi yang sedang berlangsung apakah mereka anggota ARSA atau tidak," kata juru bicara pemerintah Zaw Htay.
Militer Myanmar sendiri tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Sementara itu pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, menanggapi "positif" bahwa militer negara tersebut bertanggung jawab atas tindakan pasukan tersebut.
"Ini adalah langkah baru untuk negara kita," katanya dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono di ibukota Myanmar, Naypyitaw.
"Saya melihatnya seperti itu karena sebuah negara perlu bertanggung jawab atas supremasi hukum di negara ini, dan ini adalah langkah pertama untuk mengambil tanggung jawab dan ini adalah hal yang positif," katanya, menurut sebuah transkrip konferensi pers yang dimuat di halaman Facebook-nya.
Baca Juga: Militer Myanmar Akui Bunuh 10 Muslim Rohingya, Ini Reaksi Suu Kyi
Pada 18 Desember, militer mengumumkan sebuah kuburan massal yang berisi 10 mayat ditemukan di desa pesisir Inn Din, sekitar 50 km utara ibukota negara bagian Sittwe. Tentara menunjuk seorang perwira senior untuk menyelidiki.
Sebuah pernyataan dari militer pada hari Rabu mengatakan penyelidikannya telah menemukan bahwa anggota pasukan keamanan telah mengambil bagian dalam pembunuhan tersebut dan tindakan akan diambil terhadap mereka.
"Beberapa warga sipil ingin membunuh 10 pria tersebut untuk membalas kematian seorang pria etnis Buddha Rakhine di desa Inn Dinn bernama Maung Ni dan akan menghadapi hukuman," kata militer.
Baca Juga: Anggap Teroris, Tentara Myanmar Akui Bantai 10 Muslim Rohingya
Krisis Rohingya meletus setelah serangan gerilyawan Rohingya terhadap pos keamanan pada 25 Agustus di Rakhine memicu sebuah respons militer yang sengit hingga PBB mencela tindakan tersebut sebagai pembersihan.
Myanmar menolak pembersihan etnis, dengan mengatakan bahwa pasukan keamanannya telah melakukan operasi pembebasan kontra-pemberontakan yang sah.
(ian)