Gabung ISIS di Suriah, Tukang Masak asal Bogor Pengin Mudik
A
A
A
DAMASKUS - Di sebuah kantor unit kontra-terorisme di Suriah utara, ada anggota kelompok Islamic State atau ISIS asal Indonesia yang ditangkap Pasukan Demokratik Suriah(SDF), pemberontak Suriah yang didukung Barat. Dia adalah Aldiansyah Syamsudin, pria asal Bogor, yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang masak.
Di kantor itulah, Aldiansyah memberikan penjelasan rinci tentang jalannya menuju apa yang dia sebut sebagai jihad.
Aldiansyah yang memiliki nama samaran Abu Assam Al Indonisiy mengatakan bahwa dia adalah seorang juru masak sederhana di Bogor, sebelum pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Di sana, dia diajari cara menembakkan senapan mesin dan senapan AK-47. Dia dijanjikan kelompok ISIS akan mendapat empat istri, sebuah mobil dan sebuah rumah. Tapi, janji itu hanya bualan, karena dia tak dapat apa-apa.
Perjalanan Aldiansyah dimulai setelah dia lulus dari sebuah sekolah Islam mainstream di Jawa.
Dia mengalami radikalisasi di internet, bukan di masjid. Dia bergabung dengan sebuah grup bernama Gadi Gado di layanan pesan terenkripsi, Telegram. Dari grup itu, dia bertemu kontak dengan orang Indonesia yang menggunakan nama Abu Hofsah. Abu inilah sosok yang memberi “jalan” sehingga dia bisa menuju ke Suriah.
Dia mengklaim Hofsah mengiriminya uang senilai USD1.310 untuk membayar tiket pesawat. Dia terbang Turki pada bulan Maret tahun lalu dan tinggal di sebuah rumah aman di Kota Gaziantep sebelum melintasi perbatasan ke Suriah.
”Pada malam hari seorang Muharrib datang dan memberi tahu kami, 'saatnya pergi ke perbatasan'.Kami berjalan dengan mobil ke perbatasan dan sepuluh dari kami terus berjalan kaki. Kami menyeberangi sungai dan terus berjalan kaki. Kami menemukan sebuah barikade logam dan berlari cepat. Tentara Turki menembak kami tapi akhirnya kami tiba di Khilafah,” ujarnya mengacu pada sebutan wilayah ISIS.
Dia tiba di Suriah pada bulan April, lebih lambat dari pada kebanyakan petempur asing yang memasuki Suriah. Aldiansyah mengatakan bahwa dia dilatih oleh orang Indonesia yang menggunakan nama alias Abu Walid al Indonesiya dan orang Filipina yang menggunakan nama alias Abu Abdulrohman al Phillipini.
Pelatihan yang dia jalani termasuk cara menggunakan berbagai senjata ringan. ”Saya mengikuti pelatihan militer di Provinsi Hama (Suriah) selama sekitar 20 hari, saya belajar menggunakan empat senjata, termasuk Kalashnikov, RPG (granat roket) dan senapan mesin PKC,” katanya.
Meski pihak berwenang Indonesia meyakini ada ratusan orang Indonesia yang telah melakukan perjalanan untuk bergabung dengan ISIS, Aldiansyah mengaku hanya mengenal lima orang asal Indonesia di Suriah.
Dia mengklaim datang ke Raqqa tidak untuk berperang, meski selama beberapa tahun mendapat berita dan propaganda yang menggambarkan kebrutalan kelompok ISIS.
”Saya tertarik untuk bergabung dengan ISIS karena teman saya mengatakan bahwa hidupnya gratis dan nyaman, Anda bisa memiliki empat istri, ISIS akan memberi Anda uang, memberi Anda rumah dan mobil,” katanya.
Tapi bukannya tumpangan gratis, Aldiansyah mengaku justru bernasib sial. ”Setelah saya menyelesaikan latihan saya, kami bepergian dengan mobil saat kami diserang oleh pesawat tempur. Seluruh teman saya terbunuh, tapi saya selamat,” ujarnya.
”Saya terluka, sakit dan kelaparan. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saya tidak mengerti apa-apa, dan saya tidak mengerti bahasa Arab. Saya mendekati penduduk setempat, meminta bantuan mereka, tapi malah menghindar dari saya,” paparnya.
Dengan kondisi terluka, dia dengan cepat ditangkap oleh pasukan SDF. Sekarang, dia ingin pulang ke rumah dan berjanji tidak menimbulkan ancaman. ”Saya tidak akan menciptakan masalah bagi (orang Barat). Saya telah diajarkan di masa lalu untuk selalu menyerang mereka, untuk membuat masalah bagi mereka. Tapi, sekarang ISIS tidak peduli dengan saya, mengapa saya harus mengikuti ajaran mereka? Itulah kebenaran sesungguhnya tentang ISIS,” katanya.
”Mereka selalu mengklaim bahwa 'kaum Muslim mencintai mereka' tapi setelah saya datang ke sini, saya menemukan bahwa banyak penduduk lokal tidak mencintai mereka.”
Seorang wanita asal Maroko yang gabung dengan ISIS, Khadija el Hamri, mengaku bahwa anak-anak petempur ISIS dirawat para dokter asal Australia. Salah satu dokter tersebut bernama Tareq Kamleh, yang terkenal karena membuat video propaganda tentang kualitas perawatan di wilayah ISIS.
”Saya biasa pergi dengan suami saya saat anak-anak saya sakit di rumah sakit. Ada seorang dokter bernama Abu Mohammed al Australia, dia mengkhususkan diri dalam merawat anak-anak dan dia baik pada anak-anak,” kata Khadija el Hamri.
Dia dan beberapa pengantin ISIS lainnya merinci detail sosok Kamleh dan bersikeras bahwa mereka berurusan dengan orang Australia yang berbeda. Menurutnya, Kamleh tidak hanya menjalankan tugas medis.
”Suami saya mengatakan kepada saya bahwa dokter Australia tersebut akan bertugas menjaga jenazah dan rompi militernya, menjaga diri dari rezim Suriah dan saat dia kembali, dia datang ke rumah sakit untuk merawat anak-anak,” katanya.
Pejabat Kurdi mengatakan semua anggota ISIS—entah mereka mengklaim sebagai petempur atau tidak—sebaiknya dianggap berbahaya.
”Mereka melakukan perjalanan ribuan kilometer dan mengambil tempat mereka dalam kekhalifahan yang menyerang kota-kota kita dan membunuh anak-anak kita. Tidak tepat mengatakan teror hanya berasal dari pistol. Senapan itu adalah hasil dari ideologi,” kata Mustafa Bali, pejabat Kurdi yang menjadi juru bicara untuk SDF, seperti dikutip dari ABC, Rabu (20/12/2017).
Di kantor itulah, Aldiansyah memberikan penjelasan rinci tentang jalannya menuju apa yang dia sebut sebagai jihad.
Aldiansyah yang memiliki nama samaran Abu Assam Al Indonisiy mengatakan bahwa dia adalah seorang juru masak sederhana di Bogor, sebelum pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Di sana, dia diajari cara menembakkan senapan mesin dan senapan AK-47. Dia dijanjikan kelompok ISIS akan mendapat empat istri, sebuah mobil dan sebuah rumah. Tapi, janji itu hanya bualan, karena dia tak dapat apa-apa.
Perjalanan Aldiansyah dimulai setelah dia lulus dari sebuah sekolah Islam mainstream di Jawa.
Dia mengalami radikalisasi di internet, bukan di masjid. Dia bergabung dengan sebuah grup bernama Gadi Gado di layanan pesan terenkripsi, Telegram. Dari grup itu, dia bertemu kontak dengan orang Indonesia yang menggunakan nama Abu Hofsah. Abu inilah sosok yang memberi “jalan” sehingga dia bisa menuju ke Suriah.
Dia mengklaim Hofsah mengiriminya uang senilai USD1.310 untuk membayar tiket pesawat. Dia terbang Turki pada bulan Maret tahun lalu dan tinggal di sebuah rumah aman di Kota Gaziantep sebelum melintasi perbatasan ke Suriah.
”Pada malam hari seorang Muharrib datang dan memberi tahu kami, 'saatnya pergi ke perbatasan'.Kami berjalan dengan mobil ke perbatasan dan sepuluh dari kami terus berjalan kaki. Kami menyeberangi sungai dan terus berjalan kaki. Kami menemukan sebuah barikade logam dan berlari cepat. Tentara Turki menembak kami tapi akhirnya kami tiba di Khilafah,” ujarnya mengacu pada sebutan wilayah ISIS.
Dia tiba di Suriah pada bulan April, lebih lambat dari pada kebanyakan petempur asing yang memasuki Suriah. Aldiansyah mengatakan bahwa dia dilatih oleh orang Indonesia yang menggunakan nama alias Abu Walid al Indonesiya dan orang Filipina yang menggunakan nama alias Abu Abdulrohman al Phillipini.
Pelatihan yang dia jalani termasuk cara menggunakan berbagai senjata ringan. ”Saya mengikuti pelatihan militer di Provinsi Hama (Suriah) selama sekitar 20 hari, saya belajar menggunakan empat senjata, termasuk Kalashnikov, RPG (granat roket) dan senapan mesin PKC,” katanya.
Meski pihak berwenang Indonesia meyakini ada ratusan orang Indonesia yang telah melakukan perjalanan untuk bergabung dengan ISIS, Aldiansyah mengaku hanya mengenal lima orang asal Indonesia di Suriah.
Dia mengklaim datang ke Raqqa tidak untuk berperang, meski selama beberapa tahun mendapat berita dan propaganda yang menggambarkan kebrutalan kelompok ISIS.
”Saya tertarik untuk bergabung dengan ISIS karena teman saya mengatakan bahwa hidupnya gratis dan nyaman, Anda bisa memiliki empat istri, ISIS akan memberi Anda uang, memberi Anda rumah dan mobil,” katanya.
Tapi bukannya tumpangan gratis, Aldiansyah mengaku justru bernasib sial. ”Setelah saya menyelesaikan latihan saya, kami bepergian dengan mobil saat kami diserang oleh pesawat tempur. Seluruh teman saya terbunuh, tapi saya selamat,” ujarnya.
”Saya terluka, sakit dan kelaparan. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saya tidak mengerti apa-apa, dan saya tidak mengerti bahasa Arab. Saya mendekati penduduk setempat, meminta bantuan mereka, tapi malah menghindar dari saya,” paparnya.
Dengan kondisi terluka, dia dengan cepat ditangkap oleh pasukan SDF. Sekarang, dia ingin pulang ke rumah dan berjanji tidak menimbulkan ancaman. ”Saya tidak akan menciptakan masalah bagi (orang Barat). Saya telah diajarkan di masa lalu untuk selalu menyerang mereka, untuk membuat masalah bagi mereka. Tapi, sekarang ISIS tidak peduli dengan saya, mengapa saya harus mengikuti ajaran mereka? Itulah kebenaran sesungguhnya tentang ISIS,” katanya.
”Mereka selalu mengklaim bahwa 'kaum Muslim mencintai mereka' tapi setelah saya datang ke sini, saya menemukan bahwa banyak penduduk lokal tidak mencintai mereka.”
Seorang wanita asal Maroko yang gabung dengan ISIS, Khadija el Hamri, mengaku bahwa anak-anak petempur ISIS dirawat para dokter asal Australia. Salah satu dokter tersebut bernama Tareq Kamleh, yang terkenal karena membuat video propaganda tentang kualitas perawatan di wilayah ISIS.
”Saya biasa pergi dengan suami saya saat anak-anak saya sakit di rumah sakit. Ada seorang dokter bernama Abu Mohammed al Australia, dia mengkhususkan diri dalam merawat anak-anak dan dia baik pada anak-anak,” kata Khadija el Hamri.
Dia dan beberapa pengantin ISIS lainnya merinci detail sosok Kamleh dan bersikeras bahwa mereka berurusan dengan orang Australia yang berbeda. Menurutnya, Kamleh tidak hanya menjalankan tugas medis.
”Suami saya mengatakan kepada saya bahwa dokter Australia tersebut akan bertugas menjaga jenazah dan rompi militernya, menjaga diri dari rezim Suriah dan saat dia kembali, dia datang ke rumah sakit untuk merawat anak-anak,” katanya.
Pejabat Kurdi mengatakan semua anggota ISIS—entah mereka mengklaim sebagai petempur atau tidak—sebaiknya dianggap berbahaya.
”Mereka melakukan perjalanan ribuan kilometer dan mengambil tempat mereka dalam kekhalifahan yang menyerang kota-kota kita dan membunuh anak-anak kita. Tidak tepat mengatakan teror hanya berasal dari pistol. Senapan itu adalah hasil dari ideologi,” kata Mustafa Bali, pejabat Kurdi yang menjadi juru bicara untuk SDF, seperti dikutip dari ABC, Rabu (20/12/2017).
(mas)