Cerita Wanita Muslim Rohingya soal Pemerkosaan Mengerikan
A
A
A
COXS BAZAR - Wanita Muslim Rohingya ini berusia 22 tahun. Dia buka suara tentang pemerkosaan mengerikan yang dilakukan para tentara Myanmar terhadapnya di negara bagian Rakhine saat kekerasan pecah di wilayah tersebut.
Dia bersedia diidentifikasi dengan inisial dari nama depannya, F. Dia kini tinggal di kamp pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, dengan kondisi perut membuncit alias hamil.
F mengalami pemerkosaan oleh para tentara Myanmar dua kali. Pertama pada bulan Juli dan terakhir pada September lalu ketika kekerasan pecah di Rakhine.
Di pengungsian, F mendengar bahwa militer Myanmar telah menyerang desa-desa warga Rohingya, yang oleh PBB disebut sebagai bagian dari pembersihan etnis. Dia juga mendengar kabar beberapa hari yang lalu bahwa tentara telah membunuh orang tuanya dan kakaknya hingga kini masih hilang.
F adalah satu dari 29 wanita Rohingya yang diiinvestigasi AP terkait kekerasan seksual yang mereka alami selama operasi militer Myanmar Agustus lalu. Operasi itu terjadi setelah kelompok militan Rohingya menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas.
F masih ingat ketika para tentara mengikat suaminya dengan tali, dan menyumpalkan kain ke mulutnya. Para tentara kemudian mempereteli perhiasan F dan merobek bajunya. Wanita itu lantas dijatuhkan ke lantai dan tentara pertama memperkosanya.
Wanita tersebut telah berjuang untuk melawan. Tapi, empat orang menahannya dan memukulinya dengan tongkat. Suaminya menggeliat dan dan menjerit.
F lantas melihat seorang tentara menembakkan peluru ke dada pria yang baru dia nikahi satu bulan sebelumnya. Seorang tentara lain menggorok tenggorokan suaminya.
Pikiran wanita Rohingya ini menjadi kabur. Ketika para tentara selesai beraksi, dia diseret keluar. Tak lama kemudian rumah bambunya dibakar.
Dua bulan berlalu, kesengsaraannya masih jauh dari selesai, karena dia kini hamil.
Sebanyak 29 wanita Rohingya di pengungsian diwawancarai secara terpisah dan ekstensif. Para wanita memberikan nama lengkapnya, namun media yang berbasis di Amerika Serikat itu setuju hanya menulisnya dengan inisial dari nama depan mereka dengan alasan mereka atau keluarga mereka takut akan jadi target militer Myanmar lagi.
Mereka yang diwawancarai adalah para perempuab berusia antara 13 sampai 35 tahun.
Kesaksian F dan para wanita Rohingya lainnya mendukung anggapan PBB bahwa angkatan bersenjata Myanmar secara sistematis menggunakan pemerkosaan sebagai ”alat teror” yang bertujuan untuk membasmi orang-orang Rohingya.
Angkatan bersenjata Myanmar tidak menanggapi banyak permintaan komentar yang diajukan dari AP, Senin (11/12/2017). Namun sebuah penyelidikan internal militer bulan lalu menyimpulkan bahwa tidak ada serangan yang pernah terjadi.
Ketika wartawan bertanya tentang tuduhan perkosaan dalam sebuah perjalanan yang diselenggarakan pemerintah Myanmar ke Rakhine pada bulan September, Menteri Rakhine untuk Urusan Perbatasan, Phone Tint, menjawab; ”Wanita-wanita ini mengklaim bahwa mereka diperkosa, tapi lihatlah penampilan mereka. Apakah menurut Anda itu menarik diperkosa?.”
Para dokter dan pekerja bantuan mengatakan bahwa mereka tertegun terhadap banyaknya kasus pemerkosaan. Dokter Medecins Sans Frontieres telah merawat 113 korban kekerasan seksual sejak Agustus, sepertiga di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Gadis termuda yang jadi korban berusia 9 tahun.
Dia bersedia diidentifikasi dengan inisial dari nama depannya, F. Dia kini tinggal di kamp pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, dengan kondisi perut membuncit alias hamil.
F mengalami pemerkosaan oleh para tentara Myanmar dua kali. Pertama pada bulan Juli dan terakhir pada September lalu ketika kekerasan pecah di Rakhine.
Di pengungsian, F mendengar bahwa militer Myanmar telah menyerang desa-desa warga Rohingya, yang oleh PBB disebut sebagai bagian dari pembersihan etnis. Dia juga mendengar kabar beberapa hari yang lalu bahwa tentara telah membunuh orang tuanya dan kakaknya hingga kini masih hilang.
F adalah satu dari 29 wanita Rohingya yang diiinvestigasi AP terkait kekerasan seksual yang mereka alami selama operasi militer Myanmar Agustus lalu. Operasi itu terjadi setelah kelompok militan Rohingya menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas.
F masih ingat ketika para tentara mengikat suaminya dengan tali, dan menyumpalkan kain ke mulutnya. Para tentara kemudian mempereteli perhiasan F dan merobek bajunya. Wanita itu lantas dijatuhkan ke lantai dan tentara pertama memperkosanya.
Wanita tersebut telah berjuang untuk melawan. Tapi, empat orang menahannya dan memukulinya dengan tongkat. Suaminya menggeliat dan dan menjerit.
F lantas melihat seorang tentara menembakkan peluru ke dada pria yang baru dia nikahi satu bulan sebelumnya. Seorang tentara lain menggorok tenggorokan suaminya.
Pikiran wanita Rohingya ini menjadi kabur. Ketika para tentara selesai beraksi, dia diseret keluar. Tak lama kemudian rumah bambunya dibakar.
Dua bulan berlalu, kesengsaraannya masih jauh dari selesai, karena dia kini hamil.
Sebanyak 29 wanita Rohingya di pengungsian diwawancarai secara terpisah dan ekstensif. Para wanita memberikan nama lengkapnya, namun media yang berbasis di Amerika Serikat itu setuju hanya menulisnya dengan inisial dari nama depan mereka dengan alasan mereka atau keluarga mereka takut akan jadi target militer Myanmar lagi.
Mereka yang diwawancarai adalah para perempuab berusia antara 13 sampai 35 tahun.
Kesaksian F dan para wanita Rohingya lainnya mendukung anggapan PBB bahwa angkatan bersenjata Myanmar secara sistematis menggunakan pemerkosaan sebagai ”alat teror” yang bertujuan untuk membasmi orang-orang Rohingya.
Angkatan bersenjata Myanmar tidak menanggapi banyak permintaan komentar yang diajukan dari AP, Senin (11/12/2017). Namun sebuah penyelidikan internal militer bulan lalu menyimpulkan bahwa tidak ada serangan yang pernah terjadi.
Ketika wartawan bertanya tentang tuduhan perkosaan dalam sebuah perjalanan yang diselenggarakan pemerintah Myanmar ke Rakhine pada bulan September, Menteri Rakhine untuk Urusan Perbatasan, Phone Tint, menjawab; ”Wanita-wanita ini mengklaim bahwa mereka diperkosa, tapi lihatlah penampilan mereka. Apakah menurut Anda itu menarik diperkosa?.”
Para dokter dan pekerja bantuan mengatakan bahwa mereka tertegun terhadap banyaknya kasus pemerkosaan. Dokter Medecins Sans Frontieres telah merawat 113 korban kekerasan seksual sejak Agustus, sepertiga di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Gadis termuda yang jadi korban berusia 9 tahun.
(mas)