Repatriasi Rohingya Telah Disepakati
A
A
A
YANGON - Bangladesh dan Myanmar menandatangani memorandum of understanding (MoU) untuk memulangkan kembali ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Para pengungsi itu melarikan diri dari kekejaman militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Bangladesh menyatakan, para pengungsi dapat mulai kembali ke Myanmar dalam dua bulan.
Kedua pihak menyatakan sedang membuat rincian isi kesepakatan yang ditandatangani di ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Berbagai badan bantuan khawatir dengan pemulangan paksa Rohingya meski keamanan mereka tak dapat dijamin. Rohingya merupakan minoritas tanpa kewarganegaraan yang sejak lama mengalami kekerasan di Myanmar atau Burma.
“Kami siap membawa mereka kembali sesegera mungkin setelah Bangladesh mengirim dokumen itu kembali pada kami,” kata Myint Kyaing, sekretaris tetap Kementerian Buruh, Imigrasi, dan Populasi Myanmar, dikutip kantor berita Reuters.
Dokumen itu adalah formulir pendaftaran yang harus dilengkapi dengan informasi rinci pribadi Rohingya sebelum repatriasi dilakukan.
“Pengaturan itu menyatakan pemulangan dapat dilakukan dalam dua bulan,” ungkap pernyataan pemerintah Bangladesh kemarin.
Pejabat Bangladesh Mahmood Ali menjelaskan, kesepakatan ini baru langkah pertama. Kondisi pemulangan itu belum jelas. Selain itu, banyak Rohingya yang khawatir dan takut jika dikirim kembali ke Myanmar. Kedua negara mengalami tekanan dalam isu Rohingya, dengan alasan yang berbeda.
Bangladesh ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Rohingya tidak akan menjadi penduduk tetap. Apalagi, Bangladesh telah menampung sekitar 400.000 Rohingya, sebelum gelombang baru pengungsi menambah 600.000 Rohingya sehingga total ada satu juga pengungsi di negara itu.
Adapun Myanmar berupaya merespons tekanan internasional untuk menyelesaikan krisis tersebut. Pekan lalu militer Myanmar masih menyangkal berbagai tuduhan dalam krisis Rohingya itu. Militer menyangkal melakukan pembunuhan warga Rohingya, membakar desa mereka, memerkosa wanita dan gadis, serta mencuri barang milik pengungsi.
Bukti berlawanan muncul di Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyebut kekejaman militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. Paus Fransiskus dijadwalkan tiba di Myanmar pada 26 November.
Dia akan bertemu panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Paus kemudian akan ke Dhaka, Bangladesh, tempat dia bertemu para pengungsi Rohingya. Amerika Serikat (AS) telah menyebut aksi militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. AS mengikuti langkah para pejabat PBB yang mengecam militer Myanmar dalam isu Rohingya.
Adapun Duta Besar Rusia untuk Myanmar Nikolay Listopadov mengkritik langkah AS yang menyebut aksi militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. “Saya tidak berpikir itu akan membantu menyelesaikan masalah. Sebaliknya, itu dapat memanaskan situasi, menyiram lebih banyak bahan bakar,” ucapnya. (Syarifudin)
Para pengungsi itu melarikan diri dari kekejaman militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Bangladesh menyatakan, para pengungsi dapat mulai kembali ke Myanmar dalam dua bulan.
Kedua pihak menyatakan sedang membuat rincian isi kesepakatan yang ditandatangani di ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Berbagai badan bantuan khawatir dengan pemulangan paksa Rohingya meski keamanan mereka tak dapat dijamin. Rohingya merupakan minoritas tanpa kewarganegaraan yang sejak lama mengalami kekerasan di Myanmar atau Burma.
“Kami siap membawa mereka kembali sesegera mungkin setelah Bangladesh mengirim dokumen itu kembali pada kami,” kata Myint Kyaing, sekretaris tetap Kementerian Buruh, Imigrasi, dan Populasi Myanmar, dikutip kantor berita Reuters.
Dokumen itu adalah formulir pendaftaran yang harus dilengkapi dengan informasi rinci pribadi Rohingya sebelum repatriasi dilakukan.
“Pengaturan itu menyatakan pemulangan dapat dilakukan dalam dua bulan,” ungkap pernyataan pemerintah Bangladesh kemarin.
Pejabat Bangladesh Mahmood Ali menjelaskan, kesepakatan ini baru langkah pertama. Kondisi pemulangan itu belum jelas. Selain itu, banyak Rohingya yang khawatir dan takut jika dikirim kembali ke Myanmar. Kedua negara mengalami tekanan dalam isu Rohingya, dengan alasan yang berbeda.
Bangladesh ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Rohingya tidak akan menjadi penduduk tetap. Apalagi, Bangladesh telah menampung sekitar 400.000 Rohingya, sebelum gelombang baru pengungsi menambah 600.000 Rohingya sehingga total ada satu juga pengungsi di negara itu.
Adapun Myanmar berupaya merespons tekanan internasional untuk menyelesaikan krisis tersebut. Pekan lalu militer Myanmar masih menyangkal berbagai tuduhan dalam krisis Rohingya itu. Militer menyangkal melakukan pembunuhan warga Rohingya, membakar desa mereka, memerkosa wanita dan gadis, serta mencuri barang milik pengungsi.
Bukti berlawanan muncul di Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyebut kekejaman militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. Paus Fransiskus dijadwalkan tiba di Myanmar pada 26 November.
Dia akan bertemu panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Paus kemudian akan ke Dhaka, Bangladesh, tempat dia bertemu para pengungsi Rohingya. Amerika Serikat (AS) telah menyebut aksi militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. AS mengikuti langkah para pejabat PBB yang mengecam militer Myanmar dalam isu Rohingya.
Adapun Duta Besar Rusia untuk Myanmar Nikolay Listopadov mengkritik langkah AS yang menyebut aksi militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. “Saya tidak berpikir itu akan membantu menyelesaikan masalah. Sebaliknya, itu dapat memanaskan situasi, menyiram lebih banyak bahan bakar,” ucapnya. (Syarifudin)
(nfl)