PBB: Serangan Terhadap Rohingya Terkoordinasi dan Sistematis
A
A
A
JENEWA - Serangan terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar menunjukkan sebuah strategi untuk menanamkan ketakutan dan trauma yang meluas. Serangan tersebut juga bertujuan untuk mencegah mereka untuk kembali ke rumah mereka.
Demikian laporan yang dirilis oleh kantor HAM PBB. Laporan tersebut berdasarkan 65 wawancara yang dilakukan pada pertengahan September dengan etnis Rohingya, secara individu dan kelompok. Lebih dari setengah juta orang dari kelompok etnis tersebut melarikan diri ke Bangladesh selama aksi kekerasan di Myanmar.
"Serangan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar utara oleh pasukan keamanan dan massa Budha terkoordinasi dan sistematis dengan tujuan untuk tidak hanya mengusir penduduk tapi mencegah mereka untuk kembali," bunyi laporan tersebut seperti dikutip dari CBS, Kamis (12/10/2017).
Beberapa dari mereka yang diwawancarai mengatakan bahwa sebelum dan selama serangan, tentara Myanmar menggunakan megafon untuk mengumumkan: "Anda tidak termasuk warga di sini, pergi ke Bangladesh. Jika Anda tidak pergi, kami akan membakar rumah Anda dan membunuh Anda."
Menurut penyidik PBB, langkah-langkah melawan kelompok minoritas dimulai hampir sebulan sebelum serangan 25 Agustus terhadap pos polisi oleh militan Muslim. Serangan ini hanya dalih untuk militer Myanmar melakukan apa yang disebut sebagai operasi pembersihan di Rakhine.
"Informasi yang kami terima menunjukkan bahwa hari dan sampai satu bulan sebelum tanggal 25 Agustus, bahwa pasukan keamanan Myanmar memberlakukan pembatasan lebih lanjut mengenai akses ke pasar, klinik medis, sekolah dan tempat ibadah," kata Karin Friedrich, yang merupakan bagian dari misi PBB ke Bangladesh, pada sebuah konferensi pers.
"Orang-orang Rohingya yang berusia 15 sampai 40 tahun dilaporkan ditangkap oleh polisi Myanmar dan ditahan tanpa tuduhan apapun," ungkapnya.
Kepala HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein mengatakan, pengabaian hak-hak Myanmar, termasuk kewarganegaraan, kepada Rohingya tampaknya merupakan bagian dari taktik sinis untuk memindahkan secara paksa sejumlah besar orang tanpa kemungkinan untuk kembali. Dia juga menggambarkan serangan sistematis dan pemboman desa secara luas sebagai "teks book dari pembersihan etnis."
Laporan tersebut mengatakan bahwa upaya dilakukan untuk menghapus secara efektif tanda-tanda tengara yang mudah diingat di daerah Rohingya untuk membuat lanskap tidak dapat dikenali.
Mayoritas Budha Myanmar menganggap Muslim Rohingya adalah kelompok etnis yang terpisah dan menganggap mereka sebagai imigran ilegal.
Demikian laporan yang dirilis oleh kantor HAM PBB. Laporan tersebut berdasarkan 65 wawancara yang dilakukan pada pertengahan September dengan etnis Rohingya, secara individu dan kelompok. Lebih dari setengah juta orang dari kelompok etnis tersebut melarikan diri ke Bangladesh selama aksi kekerasan di Myanmar.
"Serangan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar utara oleh pasukan keamanan dan massa Budha terkoordinasi dan sistematis dengan tujuan untuk tidak hanya mengusir penduduk tapi mencegah mereka untuk kembali," bunyi laporan tersebut seperti dikutip dari CBS, Kamis (12/10/2017).
Beberapa dari mereka yang diwawancarai mengatakan bahwa sebelum dan selama serangan, tentara Myanmar menggunakan megafon untuk mengumumkan: "Anda tidak termasuk warga di sini, pergi ke Bangladesh. Jika Anda tidak pergi, kami akan membakar rumah Anda dan membunuh Anda."
Menurut penyidik PBB, langkah-langkah melawan kelompok minoritas dimulai hampir sebulan sebelum serangan 25 Agustus terhadap pos polisi oleh militan Muslim. Serangan ini hanya dalih untuk militer Myanmar melakukan apa yang disebut sebagai operasi pembersihan di Rakhine.
"Informasi yang kami terima menunjukkan bahwa hari dan sampai satu bulan sebelum tanggal 25 Agustus, bahwa pasukan keamanan Myanmar memberlakukan pembatasan lebih lanjut mengenai akses ke pasar, klinik medis, sekolah dan tempat ibadah," kata Karin Friedrich, yang merupakan bagian dari misi PBB ke Bangladesh, pada sebuah konferensi pers.
"Orang-orang Rohingya yang berusia 15 sampai 40 tahun dilaporkan ditangkap oleh polisi Myanmar dan ditahan tanpa tuduhan apapun," ungkapnya.
Kepala HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein mengatakan, pengabaian hak-hak Myanmar, termasuk kewarganegaraan, kepada Rohingya tampaknya merupakan bagian dari taktik sinis untuk memindahkan secara paksa sejumlah besar orang tanpa kemungkinan untuk kembali. Dia juga menggambarkan serangan sistematis dan pemboman desa secara luas sebagai "teks book dari pembersihan etnis."
Laporan tersebut mengatakan bahwa upaya dilakukan untuk menghapus secara efektif tanda-tanda tengara yang mudah diingat di daerah Rohingya untuk membuat lanskap tidak dapat dikenali.
Mayoritas Budha Myanmar menganggap Muslim Rohingya adalah kelompok etnis yang terpisah dan menganggap mereka sebagai imigran ilegal.
(ian)