PBB: Pengungsi Rohingya Capai 500 Ribu Orang
A
A
A
NEW YORK - Jumlah Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus untuk menghindari kekerasan di Myanmar telah mencapai 500 ribu orang. Demikian pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Kamis.
Deputi juru bicara PBB, Farhan Haq mengatakan dikombinasikan dengan pengungsi yang melarikan diri sebelumnya, jumlah total Rohingya di Bangladesh diyakini lebih dari 700.000 orang.
"Ini adalah gerakan pengungsi massal terbesar di kawasan ini dalam beberapa dasawarsa," kata Haq seperti dikutip dari New York Times, Jumat (29/9/2017).
Haq mengatakan bahwa badan bantuan bekerja sama dengan pemerintah untuk memperbaiki akses jalan ke kamp-kamp pengungsian. Mereka juga berusaha memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan dengan mendirikan "kantor satu atap" untuk kedatangan pasokan kemanusiaan dan memfasilitasi persetujuan untuk agen bantuan yang masuk.
Pada hari Kamis, Haq mengatakan, mitra kemanusiaan telah menerima USD36,4 juta - di bawah setengah dana yang diminta oleh PBB pada awal September lalu yaitu USD77 juta.
"Skala darurat telah melampaui proyeksi awal dan kebutuhan sedang direvisi," jelas Haq.
Pengumuman eksodus spiral tersebut terjadi tepat menjelang pertemuan terbuka pertama Dewan Keamanan (DK) PBB terkait Myanmar dalam delapan tahun.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang mengatakan bahwa pihak berwenang Myanmar terlibat dalam pembersihan etnis, diharapkan dapat memberikan pengarahan kepada DK PBB. Dalam sebuah surat langka kepada anggotanya, dia mendesak DK PBB untuk mengambil tindakan guna mengakhiri kekerasan terhadap Rohingya dan menangani krisis tersebut.
Para diplomat DK PBB mengatakan bahwa pertemuan terbuka merupakan langkah penting dan menunjukkan kekhawatiran di lembaga itu. Namun DK PBB tidak diharapkan mengeluarkan sebuah pernyataan atau mengadopsi sebuah resolusi.
Rohingya telah menghadapi diskriminasi selama puluhan tahun dan penganiayaan oleh mayoritas penduduk Budha di Myanmar, di mana kewarganegaraan mereka ditolak meskipun berabad-abad hidup di negara itu.
Krisis saat ini meletus pada 25 Agustus lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan Rohingya menyerang pos terdepan polisi di negara bagian Rakhine, menewaskan selusin petugas keamanan.
Hal itu mendorong militer Myanmar untuk meluncurkan "operasi pembersihan" terhadap pemberontak, memicu gelombang kekerasan yang mengakibatkan ratusan orang tewas, ribuan rumah dibakar dan eksodus massal ke Bangladesh.
Deputi juru bicara PBB, Farhan Haq mengatakan dikombinasikan dengan pengungsi yang melarikan diri sebelumnya, jumlah total Rohingya di Bangladesh diyakini lebih dari 700.000 orang.
"Ini adalah gerakan pengungsi massal terbesar di kawasan ini dalam beberapa dasawarsa," kata Haq seperti dikutip dari New York Times, Jumat (29/9/2017).
Haq mengatakan bahwa badan bantuan bekerja sama dengan pemerintah untuk memperbaiki akses jalan ke kamp-kamp pengungsian. Mereka juga berusaha memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan dengan mendirikan "kantor satu atap" untuk kedatangan pasokan kemanusiaan dan memfasilitasi persetujuan untuk agen bantuan yang masuk.
Pada hari Kamis, Haq mengatakan, mitra kemanusiaan telah menerima USD36,4 juta - di bawah setengah dana yang diminta oleh PBB pada awal September lalu yaitu USD77 juta.
"Skala darurat telah melampaui proyeksi awal dan kebutuhan sedang direvisi," jelas Haq.
Pengumuman eksodus spiral tersebut terjadi tepat menjelang pertemuan terbuka pertama Dewan Keamanan (DK) PBB terkait Myanmar dalam delapan tahun.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang mengatakan bahwa pihak berwenang Myanmar terlibat dalam pembersihan etnis, diharapkan dapat memberikan pengarahan kepada DK PBB. Dalam sebuah surat langka kepada anggotanya, dia mendesak DK PBB untuk mengambil tindakan guna mengakhiri kekerasan terhadap Rohingya dan menangani krisis tersebut.
Para diplomat DK PBB mengatakan bahwa pertemuan terbuka merupakan langkah penting dan menunjukkan kekhawatiran di lembaga itu. Namun DK PBB tidak diharapkan mengeluarkan sebuah pernyataan atau mengadopsi sebuah resolusi.
Rohingya telah menghadapi diskriminasi selama puluhan tahun dan penganiayaan oleh mayoritas penduduk Budha di Myanmar, di mana kewarganegaraan mereka ditolak meskipun berabad-abad hidup di negara itu.
Krisis saat ini meletus pada 25 Agustus lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan Rohingya menyerang pos terdepan polisi di negara bagian Rakhine, menewaskan selusin petugas keamanan.
Hal itu mendorong militer Myanmar untuk meluncurkan "operasi pembersihan" terhadap pemberontak, memicu gelombang kekerasan yang mengakibatkan ratusan orang tewas, ribuan rumah dibakar dan eksodus massal ke Bangladesh.
(ian)