Suu Kyi Kutuk dan Janji Adili Pelanggar HAM Rohingya
A
A
A
YANGON - Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutuk setiap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negara bagian Rakhine. Ia juga mengatakan akan menyeret setiap pelaku pelanggaran HAM tersebut ke pengadilan.
Hal itu dikatakan Suu Kyi dalam pidato kenegaraannya yang pertama sejak pecahnya aksi kekerasan di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Serangan gerilyawan Muslim Rohingya pada 25 Agustus memicu sebuah respons militer yang telah memaksa lebih dari 410 ribu orang Rohingya eksodus ke negara tetangga Bangladesh.
PBB telah mencap operasi militer itu sebagai pembersihan etnis negara bagian barat. Suu Kyi tidak menanggapi tuduhan tersebut namun mengatakan bahwa pemerintahannya telah berkomitmen terhadap supremasi hukum.
"Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang melanggar hukum. Kami berkomitmen untuk pemulihan perdamaian dan stabilitas dan supremasi hukum di seluruh negara bagian," kata Suu Kyi dalam pidatonya seperti dikutip dari Reuters, Selasa (19/9/2017).
"Tindakan akan diambil terhadap semua orang terlepas dari agama, ras dan posisi politik mereka, yang menentang hukum negara dan melanggar hak asasi manusia," imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengaku ikut merasakan penderitaan setiap orang yang terjebak dalam konflik di Rakhine.
"Kami turut merasakan penderitaan semua orang yang terjebak dalam konflik dari perasaan yang terdalam," ujarnya.
Aung San Suu Kyi menghadapi sejumlah kecaman atas sikap bungkamnya terhadap pelanggaran HAM yang dihadapi oleh Rohingya. Selama ini, ia kerap menuai pujian dari Barat atas perannya sebagai oposisi demokratis Myanmar di negara negara mayoritas Budha selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan militer dan tahanan rumah.
Hal ini pulalah yang mengantarkan Suu Kyi meraih Nobel Perdamaian pada tahun 1991 lalu.
Hal itu dikatakan Suu Kyi dalam pidato kenegaraannya yang pertama sejak pecahnya aksi kekerasan di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Serangan gerilyawan Muslim Rohingya pada 25 Agustus memicu sebuah respons militer yang telah memaksa lebih dari 410 ribu orang Rohingya eksodus ke negara tetangga Bangladesh.
PBB telah mencap operasi militer itu sebagai pembersihan etnis negara bagian barat. Suu Kyi tidak menanggapi tuduhan tersebut namun mengatakan bahwa pemerintahannya telah berkomitmen terhadap supremasi hukum.
"Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang melanggar hukum. Kami berkomitmen untuk pemulihan perdamaian dan stabilitas dan supremasi hukum di seluruh negara bagian," kata Suu Kyi dalam pidatonya seperti dikutip dari Reuters, Selasa (19/9/2017).
"Tindakan akan diambil terhadap semua orang terlepas dari agama, ras dan posisi politik mereka, yang menentang hukum negara dan melanggar hak asasi manusia," imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Suu Kyi juga mengaku ikut merasakan penderitaan setiap orang yang terjebak dalam konflik di Rakhine.
"Kami turut merasakan penderitaan semua orang yang terjebak dalam konflik dari perasaan yang terdalam," ujarnya.
Aung San Suu Kyi menghadapi sejumlah kecaman atas sikap bungkamnya terhadap pelanggaran HAM yang dihadapi oleh Rohingya. Selama ini, ia kerap menuai pujian dari Barat atas perannya sebagai oposisi demokratis Myanmar di negara negara mayoritas Budha selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan militer dan tahanan rumah.
Hal ini pulalah yang mengantarkan Suu Kyi meraih Nobel Perdamaian pada tahun 1991 lalu.
(ian)