Tunisia Cabut Larangan Wanita Muslim Nikahi Pria Non-Muslim
A
A
A
TUNIS - Pemerintah Tunisia menghapus larangan wanita Muslim menikahi pria non-Muslim yang telah berlaku sejak tahun 1973. Presiden Beji Caid Essebsi mengucapkan selamat bagi perempuan yang mendapatkan kebebesannya.
”Selamat kepada para wanita Tunisia atas enshrinement hak kebebasan untuk memilih pasangan,” kata juru bicara kepresidenan, Saida Garrach, yang menuliskannya di Facebook, seperti dilansir dari Al Jazeera, Jumat (15/9/2017).
Pengumuman tersebut diumumkan satu bulan setelah Presiden Essebsi meminta pemerintah untuk mencabut larangan tersebut sejak tahun 1973. Alasannya, praktik seperti itu melanggar konstitusi Tunisia yang diadopsi pada tahun 2014 setelah revolusi Arab Spring.
Presiden Essebsi telah membentuk sebuah komisi—yang dipimpin oleh seorang pengacara wanita dan aktivis hak asasi manusia—yang bertujuan menyusun peraturan yang telah direvisi.
Sebelum aturan itu dicabut, setiap pria non-Muslim yang ingin menikahi seorang wanita Muslim Tunisia harus menjadi mualaf dan menyerahkan sertifikat mualafnya sebagai bukti.
Kelompok HAM di negara Afrika Utara tersebut telah berkampanye untuk penghapusan larangan tersebut. Menurut para aktivis HAM, larangan seperti itu telah merusak hak asasi manusia untuk memilih pasangannya.
Tunisia telah dipandang berada di depan dari sebagian besar negara Arab yang menghargai hak-hak perempuan, meski masih ada diskriminasi, terutama dalam hal warisan.
Pencabutan larangan itu bukan tanpa gejolak. Para imam dan teolog terkemuka di negara tersebut mengecam sejak pancabutan aturan itu diusulkan Presiden Essebsi. Menurut mereka, pencabutan larangan tersebut merupakan pelanggaran mencolok terhadap norma-norma Islam.
”Selamat kepada para wanita Tunisia atas enshrinement hak kebebasan untuk memilih pasangan,” kata juru bicara kepresidenan, Saida Garrach, yang menuliskannya di Facebook, seperti dilansir dari Al Jazeera, Jumat (15/9/2017).
Pengumuman tersebut diumumkan satu bulan setelah Presiden Essebsi meminta pemerintah untuk mencabut larangan tersebut sejak tahun 1973. Alasannya, praktik seperti itu melanggar konstitusi Tunisia yang diadopsi pada tahun 2014 setelah revolusi Arab Spring.
Presiden Essebsi telah membentuk sebuah komisi—yang dipimpin oleh seorang pengacara wanita dan aktivis hak asasi manusia—yang bertujuan menyusun peraturan yang telah direvisi.
Sebelum aturan itu dicabut, setiap pria non-Muslim yang ingin menikahi seorang wanita Muslim Tunisia harus menjadi mualaf dan menyerahkan sertifikat mualafnya sebagai bukti.
Kelompok HAM di negara Afrika Utara tersebut telah berkampanye untuk penghapusan larangan tersebut. Menurut para aktivis HAM, larangan seperti itu telah merusak hak asasi manusia untuk memilih pasangannya.
Tunisia telah dipandang berada di depan dari sebagian besar negara Arab yang menghargai hak-hak perempuan, meski masih ada diskriminasi, terutama dalam hal warisan.
Pencabutan larangan itu bukan tanpa gejolak. Para imam dan teolog terkemuka di negara tersebut mengecam sejak pancabutan aturan itu diusulkan Presiden Essebsi. Menurut mereka, pencabutan larangan tersebut merupakan pelanggaran mencolok terhadap norma-norma Islam.
(mas)