Bantu Rohingya, Kapal Penyelamat Mediterania Menuju Myanmar
A
A
A
VALETTA - Sebuah organisasi penyelamat migran internasional menyatakan memindahkan operasinya ke Asia untuk membantu orang-orang Rohingya. Organisasi ini mengatakan telah menyelamatkan lebih dari 40 ribu migran dari Laut Tengah.
Migran Offshore Aid Station (MOAS) memindahkan operasi penyelamatannya dari Malta ke perairan lepas Myanmar. Organisasi ini telah beroperasi di wilayah itu untuk menyelamatkan migran sejak tahun 2014.
Keputusan tersebut muncul saat jumlah etnis Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mencapai 87.000, menurut perkiraan PBB. Namun, hal itu juga dilakukan di tengah iklim yang tidak jelas di Libya.
Organisasi tersebut khawatir bahwa tekanan Eropa untuk menghentikan migran meninggalkan Libya karena mencoba untuk menstabilkan negara itu justru membahayakan nyawa orang-orang. Kondisi ini menjadi semakin tidak jelas jika mereka yang diselamatkan dapat ditinggalkan di tempat yang aman.
"Saat ini, ada banyak pertanyaan tanpa jawaban, dan terlalu banyak keraguan tentang orang-orang yang terjebak atau dipaksa kembali ke Libya," ujar Pendiri, MOAS Regina Catrambone.
"Cerita mengerikan tentang mereka yang bertahan hidup menggambarkan mimpi buruk penganiayaan, kekerasan, penyiksaan, penculikan dan pemerasan," katanya.
"MOAS tidak ingin menjadi bagian dari skenario di mana tidak ada yang memperhatikan orang-orang yang layak mendapat perlindungan, alih-alih hanya berfokus untuk mencegah mereka tiba di pantai Eropa tanpa pertimbangan nasib mereka saat terjebak di sisi lain lautan," cetusnya seperti dikutip dari BBC, Selasa (5/9/2017).
Namun Catrambone dan MOAS mengatakan bahwa mereka tidak ingin membiarkan apa yang telah mereka bangun selama tiga tahun menjadi sia-sia. Oleh karena itulah mereka memutuskan untuk memindahkan kendaraan andalan mereka, Phoenix, ribuan mil ke timur untuk misi berikutnya.
Kapal tersebut diperkirakan akan memakan waktu sekitar tiga minggu untuk sampai di Teluk Benggala.
"Kapal tersebut akan memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan yang sangat dibutuhkan kepada orang-orang Rohingya, dan akan bekerja untuk menyediakan platform untuk transparansi, advokasi dan akuntabilitas di wilayah ini," kata organisasi itu.
Rohingya adalah minoritas etnis tanpa kewarganegaraan yang menghadapi penganiayaan di Myanmar. Banyak dari mereka yang telah melarikan diri menggambarkan tentara dan massa Budha yang membakar desa mereka serta menyerang warga sipil di provinsi Rakhine.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggambarkan mereka sebagai orang yang paling teraniaya di bumi, dengan Paus Fransiskus menyerukan diakhirinya kekerasan pada tanggal 27 Agustus lalu.
Migran Offshore Aid Station (MOAS) memindahkan operasi penyelamatannya dari Malta ke perairan lepas Myanmar. Organisasi ini telah beroperasi di wilayah itu untuk menyelamatkan migran sejak tahun 2014.
Keputusan tersebut muncul saat jumlah etnis Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mencapai 87.000, menurut perkiraan PBB. Namun, hal itu juga dilakukan di tengah iklim yang tidak jelas di Libya.
Organisasi tersebut khawatir bahwa tekanan Eropa untuk menghentikan migran meninggalkan Libya karena mencoba untuk menstabilkan negara itu justru membahayakan nyawa orang-orang. Kondisi ini menjadi semakin tidak jelas jika mereka yang diselamatkan dapat ditinggalkan di tempat yang aman.
"Saat ini, ada banyak pertanyaan tanpa jawaban, dan terlalu banyak keraguan tentang orang-orang yang terjebak atau dipaksa kembali ke Libya," ujar Pendiri, MOAS Regina Catrambone.
"Cerita mengerikan tentang mereka yang bertahan hidup menggambarkan mimpi buruk penganiayaan, kekerasan, penyiksaan, penculikan dan pemerasan," katanya.
"MOAS tidak ingin menjadi bagian dari skenario di mana tidak ada yang memperhatikan orang-orang yang layak mendapat perlindungan, alih-alih hanya berfokus untuk mencegah mereka tiba di pantai Eropa tanpa pertimbangan nasib mereka saat terjebak di sisi lain lautan," cetusnya seperti dikutip dari BBC, Selasa (5/9/2017).
Namun Catrambone dan MOAS mengatakan bahwa mereka tidak ingin membiarkan apa yang telah mereka bangun selama tiga tahun menjadi sia-sia. Oleh karena itulah mereka memutuskan untuk memindahkan kendaraan andalan mereka, Phoenix, ribuan mil ke timur untuk misi berikutnya.
Kapal tersebut diperkirakan akan memakan waktu sekitar tiga minggu untuk sampai di Teluk Benggala.
"Kapal tersebut akan memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan yang sangat dibutuhkan kepada orang-orang Rohingya, dan akan bekerja untuk menyediakan platform untuk transparansi, advokasi dan akuntabilitas di wilayah ini," kata organisasi itu.
Rohingya adalah minoritas etnis tanpa kewarganegaraan yang menghadapi penganiayaan di Myanmar. Banyak dari mereka yang telah melarikan diri menggambarkan tentara dan massa Budha yang membakar desa mereka serta menyerang warga sipil di provinsi Rakhine.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggambarkan mereka sebagai orang yang paling teraniaya di bumi, dengan Paus Fransiskus menyerukan diakhirinya kekerasan pada tanggal 27 Agustus lalu.
(ian)