Tentara Myanmar Dituduh Bakar Desa-desa Muslim Rohingya
A
A
A
YANGON - Para aktivis HAM menuduh tentara Myanmar membakar desa-desa warga Muslim Rohinya di negara bagian Rakhine. Selain itu, tentara juga dituding menembaki para warga sipil etnis minoritas tersebut.
Laporan aksi kekerasan tentara Myanmar—juga dikenal sebagai Burma—diterima Laura Haigh, peneliti Amnesty International untuk Burma. Menurutnya, laporan pembakaran desa-desa itu sangat menganggu.
Aksi militer itu terjadi setelah kelompok militan di Rakhine menyerang pos-pos polisi pekan lalu.
”Sementara otoritas Myanmar memiliki kewajiban untuk menyelidiki serangan kriminal terhadap pasukan keamanan, mereka harus menahan diri dari kekerasan, dan memastikan bahwa mereka melakukan segala upaya untuk membedakan antara tersangka militan dan orang biasa,” kata Haigh.
”Ini tidak dapat menyebabkan terulangnya pembalasan militer pada tahun lalu yang menimpa serangan serupa, di mana pasukan keamanan menyiksa, membunuh dan memperkosa orang-orang Rohingya dan membakar habis seluruh desa,” lanjut Haigh, seperti dilansir dari The Independent, Kamis (31/8/2017).
Kekerasan terbaru di Rakhine telah mendorong ribuan warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.
Pemerintah Myanmar menyalahkan gerilyawan Rohingya atas kekerasan tersebut. Konflik terbaru di Rakhine telah menewaskan lebih dari 90 orang termasuk belasan pasukan keamanan Myanmar.
Kementerian Informasi Myanmar menyangkal tentara sebagai pelaku pembakaran desa-desa warga Muslim Rohingya.
”Teroris ekstrimis meledakkan bom improvisasi, membakar desa-desa dan menyerang pos-pos polisi di Area-2 Maungdaw kemarin dari pagi sampai sore,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Sedangkan Arakan Times, sebuah situs berita online yang melayani komunitas Rohingya, mengatakan bahwa tentara Myanmar dan polisi penjaga perbatasan membakar 1.000 rumah dalam tindakan yang dimulai pada hari Sabtu dan berlanjut pada hari Senin.
Klaim kedua belah pihak sulit untuk diverifikasi, karena pemerintah Myanmar menolak wartawan mengakses wilayah Rakhine.
Human Rights Watch yang berbasis di New York mengatakan bahwa foto satelit menunjukkan pembakaran meluas terjadi di 10 wilayah di utara Rakhine.
Kelompok pemberontak Rohingya, Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, mengaku bertanggung jawab atas serangan pada Kamis malam terhadap lebih dari 25 lokasi termasuk pos-pos polisi perbatasan. ARSA mengklaim serangan itu sebagai pembelaan terhadap warga Rohingya.
Laporan aksi kekerasan tentara Myanmar—juga dikenal sebagai Burma—diterima Laura Haigh, peneliti Amnesty International untuk Burma. Menurutnya, laporan pembakaran desa-desa itu sangat menganggu.
Aksi militer itu terjadi setelah kelompok militan di Rakhine menyerang pos-pos polisi pekan lalu.
”Sementara otoritas Myanmar memiliki kewajiban untuk menyelidiki serangan kriminal terhadap pasukan keamanan, mereka harus menahan diri dari kekerasan, dan memastikan bahwa mereka melakukan segala upaya untuk membedakan antara tersangka militan dan orang biasa,” kata Haigh.
”Ini tidak dapat menyebabkan terulangnya pembalasan militer pada tahun lalu yang menimpa serangan serupa, di mana pasukan keamanan menyiksa, membunuh dan memperkosa orang-orang Rohingya dan membakar habis seluruh desa,” lanjut Haigh, seperti dilansir dari The Independent, Kamis (31/8/2017).
Kekerasan terbaru di Rakhine telah mendorong ribuan warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.
Pemerintah Myanmar menyalahkan gerilyawan Rohingya atas kekerasan tersebut. Konflik terbaru di Rakhine telah menewaskan lebih dari 90 orang termasuk belasan pasukan keamanan Myanmar.
Kementerian Informasi Myanmar menyangkal tentara sebagai pelaku pembakaran desa-desa warga Muslim Rohingya.
”Teroris ekstrimis meledakkan bom improvisasi, membakar desa-desa dan menyerang pos-pos polisi di Area-2 Maungdaw kemarin dari pagi sampai sore,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Sedangkan Arakan Times, sebuah situs berita online yang melayani komunitas Rohingya, mengatakan bahwa tentara Myanmar dan polisi penjaga perbatasan membakar 1.000 rumah dalam tindakan yang dimulai pada hari Sabtu dan berlanjut pada hari Senin.
Klaim kedua belah pihak sulit untuk diverifikasi, karena pemerintah Myanmar menolak wartawan mengakses wilayah Rakhine.
Human Rights Watch yang berbasis di New York mengatakan bahwa foto satelit menunjukkan pembakaran meluas terjadi di 10 wilayah di utara Rakhine.
Kelompok pemberontak Rohingya, Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, mengaku bertanggung jawab atas serangan pada Kamis malam terhadap lebih dari 25 lokasi termasuk pos-pos polisi perbatasan. ARSA mengklaim serangan itu sebagai pembelaan terhadap warga Rohingya.
(mas)