Dua Madrasah Tempat Salat Ditutup, Masyarakat Muslim Myanmar Protes

Jum'at, 02 Juni 2017 - 06:10 WIB
Dua Madrasah Tempat...
Dua Madrasah Tempat Salat Ditutup, Masyarakat Muslim Myanmar Protes
A A A
YANGON - Masyarakat Muslim di kota terbesar di Myanmar memprotes penutupan kedua sekolah agama atau madrasah oleh pemerintah. Dua sekolah itu selama ini dijadikan tempat salat berjamaah karena minimnya masjid.

Pemerintah setempat—setelah negosiasi dengan para pemimpin Muslim setempat—merantai dua madrasah di Kota Yangon pada tanggal 28 April 2017. Penutupan itu terjadi atas tekanan sekelompok orang yang dipimpin oleh biksu Buddha ultra-nasionalis yang menuntut penutupan sejumlah madrasah di Yangon.

Pada hari Rabu malam, sekitar 100 warga Muslim berkumpul di jalan di depan salah satu dari dua madrasah tersebut. Mereka salat di jalan dan memprotes penutupan madrasah, meskipun pihak berwenang menyatakan bahwa hal itu hanya sementara.

Tin Shwe, kepala salah satu madrasah, mengatakan kepada Anadolu, bahwa pihak berwenang juga melarang penduduk Muslim untuk beribadah di enam sekolah lain di Thakayta tanpa memberikan alasan yang tepat.

”Kami meminta mereka untuk mengizinkan kami beribadah di sekolah-sekolah ini selama bulan Ramadan. Tapi itu tidak dijawab,” katanya.

Menurutnya, umat Islam setempat terpaksa salat di tempat masing-masing, seperti di rumah dan toko sejak larangan tersebut muncul.

”Ini bukan cara kita yang harus melakukan salat, terutama di bulan Ramadan,” kata Tin Shwe. Menurutnya, masjid terdekat bisa ditempuh sekitar 45 menit dengan berjalan kaki.

Min Naung, 32, seorang warga Muslim asal Thakayta, yang ikut demo, mengatakan bahwa dia telah beribadah di madrasah sejak masih kecil.

”Ini adalah pertama kalinya kami tidak bisa berkumpul selama bulan Ramadan,” ujarnya setelah salat di jalan. ”Larangan itu membuat kami kaget,” imbuh dia.

Human Rights Watch yang berbasis di New York awal bulan ini mengatakan penutupan madrasah merupakan bentuk kegagalan pemerintah Myanmar untuk melindungi minoritas Muslim.

”Pemerintah harus segera membalikkan penutupan (madrasah) ini, mengakhiri pembatasan terhadap praktik agama minoritas, dan menuntut kelompok ultra-nasionalis yang melanggar hukum atas nama agama," kata Wakil Direktur Human Rights Watch, Phil Robertson, yang dikutip Jumat (2/6/2017).
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0969 seconds (0.1#10.140)