AS Tuding Suriah Bangun Krematorium di Penjara
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) memiliki bukti bahwa Presiden Suriah Bashar al-Assad telah membangun sebuah krematorium di sebuah penjara militer besar di luar ibukota Damaskus. Demikian pernyataan seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS.
Stuart Jones, asisten menteri luar negeri untuk Urusan Timur Dekat, mengatakan bahwa pejabat AS yakin bahwa krematorium tersebut dapat digunakan untuk membuang mayat di sebuah penjara. Mereka yakin pemerintah Assad memberi izin untuk menggantung ratusan narapidana selama enam tahun perang sipil di Suriah.
"Sumber yang kredibel percaya bahwa banyak mayat telah dibuang ke kuburan massal," kata Jones kepada wartawan. Selama briefing tersebut, dia menunjukkan gambar dari udara apa yang ia katakan sebagai sebuah krematorium seperti dikutip dari Reuters, Selasa (16/5/2017).
"Kami sekarang percaya bahwa rezim Suriah telah membangun sebuah krematorium di kompleks penjara Sednaya yang dapat membuang sisa-sisa tahanan dengan sedikit bukti," katanya.
Amnesty International melaporkan pada bulan Februari bahwa rata-rata 20 sampai 50 orang digantung setiap minggu di penjara militer Sednaya di utara Damaskus. "Antara 5.000 dan 13.000 orang dieksekusi di Sednaya dalam empat tahun sejak sebuah pemberontakan populer turun ke dalam perang," katanya.
Jones juga mengaku pesimis dengan kesepakatan yang ditengahi Rusia untuk membangun zona aman di Suriah. Kesepakatan itu dicapai dengan dukungan dari Iran dan Turki saat perundingan gencatan senjata di ibukota Kazakhstan Astana awal bulan ini. Jones menghadiri pembicaraan tersebut.
"Mengingat kegagalan perjanjian gencatan senjata di masa lalu, kami memiliki alasan untuk bersikap skeptis," kata Jones.
Jones mengatakan bahwa pemerintahan Assad telah melakukan serangan udara, serangan kimia, pembunuhan di luar proses hukum, kelaparan, dan tindakan lain untuk menargetkan warga sipil dan lawan-lawannya. Dia mengkritik Rusia dan Iran karena mempertahankan dukungan mereka terhadap Assad terlepas dari taktik tersebut.
"Kekejaman ini telah dilakukan dengan dukungan tanpa syarat dari Rusia dan Iran. Rezim (Assad) harus menghentikan semua serangan terhadap pasukan sipil dan oposisi. Dan Rusia harus memikul tanggung jawab untuk memastikan kepatuhan rezim," tutur Jones.
Ia tidak mengatakan tindakan apa yang mungkin diambil AS jika Rusia tidak mengubah pendiriannya.
Ketegangan antara AS dan Rusia meningkat setelah Presiden Donald Trump memerintahkan serangan rudal jelajah pada bulan April lalu terhadap sebuah pangkalan udara Suriah. Menurut AS pangkalan itu telah digunakan untuk melancarkan serangan gas beracun kepada warga sipil.
Jones mengatakan bahwa dia belum memberikan bukti tersebut kepada pejabat Rusia. Dia mengatakan bahwa dia berharap Rusia akan membantu menekan pemerintah Assad.
Stuart Jones, asisten menteri luar negeri untuk Urusan Timur Dekat, mengatakan bahwa pejabat AS yakin bahwa krematorium tersebut dapat digunakan untuk membuang mayat di sebuah penjara. Mereka yakin pemerintah Assad memberi izin untuk menggantung ratusan narapidana selama enam tahun perang sipil di Suriah.
"Sumber yang kredibel percaya bahwa banyak mayat telah dibuang ke kuburan massal," kata Jones kepada wartawan. Selama briefing tersebut, dia menunjukkan gambar dari udara apa yang ia katakan sebagai sebuah krematorium seperti dikutip dari Reuters, Selasa (16/5/2017).
"Kami sekarang percaya bahwa rezim Suriah telah membangun sebuah krematorium di kompleks penjara Sednaya yang dapat membuang sisa-sisa tahanan dengan sedikit bukti," katanya.
Amnesty International melaporkan pada bulan Februari bahwa rata-rata 20 sampai 50 orang digantung setiap minggu di penjara militer Sednaya di utara Damaskus. "Antara 5.000 dan 13.000 orang dieksekusi di Sednaya dalam empat tahun sejak sebuah pemberontakan populer turun ke dalam perang," katanya.
Jones juga mengaku pesimis dengan kesepakatan yang ditengahi Rusia untuk membangun zona aman di Suriah. Kesepakatan itu dicapai dengan dukungan dari Iran dan Turki saat perundingan gencatan senjata di ibukota Kazakhstan Astana awal bulan ini. Jones menghadiri pembicaraan tersebut.
"Mengingat kegagalan perjanjian gencatan senjata di masa lalu, kami memiliki alasan untuk bersikap skeptis," kata Jones.
Jones mengatakan bahwa pemerintahan Assad telah melakukan serangan udara, serangan kimia, pembunuhan di luar proses hukum, kelaparan, dan tindakan lain untuk menargetkan warga sipil dan lawan-lawannya. Dia mengkritik Rusia dan Iran karena mempertahankan dukungan mereka terhadap Assad terlepas dari taktik tersebut.
"Kekejaman ini telah dilakukan dengan dukungan tanpa syarat dari Rusia dan Iran. Rezim (Assad) harus menghentikan semua serangan terhadap pasukan sipil dan oposisi. Dan Rusia harus memikul tanggung jawab untuk memastikan kepatuhan rezim," tutur Jones.
Ia tidak mengatakan tindakan apa yang mungkin diambil AS jika Rusia tidak mengubah pendiriannya.
Ketegangan antara AS dan Rusia meningkat setelah Presiden Donald Trump memerintahkan serangan rudal jelajah pada bulan April lalu terhadap sebuah pangkalan udara Suriah. Menurut AS pangkalan itu telah digunakan untuk melancarkan serangan gas beracun kepada warga sipil.
Jones mengatakan bahwa dia belum memberikan bukti tersebut kepada pejabat Rusia. Dia mengatakan bahwa dia berharap Rusia akan membantu menekan pemerintah Assad.
(ian)