Kimberley Taylor, Wanita Pertama Inggris yang Perang Melawan ISIS
A
A
A
RAQQA - Kimberley Taylor, 27, nama wanita Inggris ini. Di usianya yang masih muda, dia jadi wanita pertama Inggris yang mengangkat senjata untuk perang melawan kelompok ISIS di Raqqa, Suriah.
Taylor yang berasal dari Blackburn telah bergabung dengan pasukan perempuan Kurdi YPJ yang didukung militer Amerika Serikat (AS). Taylor bertekad mempertaruhkan nyawanya untuk membantu membebaskan wilayah Raqqa dari pendudukan kelompok Islamic State atau ISIS.
Dia sudah cukup lama berada di daerah otonom Rojava di Suriah utara. Pada bulan Maret lalu, dia menulis sebuah artikel yang mengungkap keputusannya untuk mengangkat senjata melawan ISIS.
Taylor fasih berbahasa Kurdi setelah belajar bahasa serta politik regional. Dia juga belajar tentang persenjataan dan taktik pertempuran di akademi militer YPJ selama 11 bulan.
Dia sudah terlibat dalam upaya pembebasan Raqqa sejak November 2016. Perjuangan Taylor didukung operasi militer AS bertajuk “Euphrates Rage”.
”Sebenarnya sebagian besar waktu saya tidak melakukan rekaman video sama sekali, tapi berjuang dengan unit (YPJ) ketika kami diserang,” katanya kepada Guardian dalam sebuah wawancara telepon, yang dia lakukan dari sebuah markas yang berjarak 30km dari Raqqa, Suriah. ”Saya bersedia memberikan hidup saya untuk ini,” ujar Taylor, yang dikutip Jumat (10/2/2017).
Taylor, yang menyebut dirinya seorang ”revolusioner” di akun Twitter-nya, telah muncul dalam sebuah video yang diunggah halaman Facebook “Kurdish Female Fighters/YPJ” pada 8 Februari lalu. ”Revolusi ini telah memberi saya hidup,” katanya dalam video.
Dia tertarik bergabung dengan Kurdi dalam melawan ISIS, salah satunya karena ideologi marxis dan feminis yang dianut gerakan Kurdi. ”Mereka menyebutnya Konfederalisme Demokratik,” katanya dalam sebuah wawancara.
”Ini bukan hanya, ‘Oh, kami anti-kapitalis’, dan melakukan pawai serta protes setiap minggu. Mereka benar-benar menciptakan masyarakat untuk menempatkan perempuan di depan,” ujar Taylor memuji unit YPJ Kurdi.
Taylor yang berasal dari Blackburn telah bergabung dengan pasukan perempuan Kurdi YPJ yang didukung militer Amerika Serikat (AS). Taylor bertekad mempertaruhkan nyawanya untuk membantu membebaskan wilayah Raqqa dari pendudukan kelompok Islamic State atau ISIS.
Dia sudah cukup lama berada di daerah otonom Rojava di Suriah utara. Pada bulan Maret lalu, dia menulis sebuah artikel yang mengungkap keputusannya untuk mengangkat senjata melawan ISIS.
Taylor fasih berbahasa Kurdi setelah belajar bahasa serta politik regional. Dia juga belajar tentang persenjataan dan taktik pertempuran di akademi militer YPJ selama 11 bulan.
Dia sudah terlibat dalam upaya pembebasan Raqqa sejak November 2016. Perjuangan Taylor didukung operasi militer AS bertajuk “Euphrates Rage”.
”Sebenarnya sebagian besar waktu saya tidak melakukan rekaman video sama sekali, tapi berjuang dengan unit (YPJ) ketika kami diserang,” katanya kepada Guardian dalam sebuah wawancara telepon, yang dia lakukan dari sebuah markas yang berjarak 30km dari Raqqa, Suriah. ”Saya bersedia memberikan hidup saya untuk ini,” ujar Taylor, yang dikutip Jumat (10/2/2017).
Taylor, yang menyebut dirinya seorang ”revolusioner” di akun Twitter-nya, telah muncul dalam sebuah video yang diunggah halaman Facebook “Kurdish Female Fighters/YPJ” pada 8 Februari lalu. ”Revolusi ini telah memberi saya hidup,” katanya dalam video.
Dia tertarik bergabung dengan Kurdi dalam melawan ISIS, salah satunya karena ideologi marxis dan feminis yang dianut gerakan Kurdi. ”Mereka menyebutnya Konfederalisme Demokratik,” katanya dalam sebuah wawancara.
”Ini bukan hanya, ‘Oh, kami anti-kapitalis’, dan melakukan pawai serta protes setiap minggu. Mereka benar-benar menciptakan masyarakat untuk menempatkan perempuan di depan,” ujar Taylor memuji unit YPJ Kurdi.
(mas)