Ditodong Senapan, Perempuan Rohingya Digilir Para Tentara Myanmar
A
A
A
NEW YORK - Kelompok HAM, Human Rights Watch (HRW) pada hari ini (6/2/2017) merilis laporan kekejaman tentara militer Myanmar terhadap para perempuan dan gadis Rohingya di Rakhine. Menurut laporan HRW, para perempuan dan gadis Rohingya menjadi korban pemerkosaan sistematis oleh militer Myanmar.
Laporan HRW salah satunya memuat pengakuan seorang perempuan Rohingnya yang diperkosa para tentara Myanmar dengan todongan senapan di kepalanya. Perempuan itu diperkosa para tentara Myanmar secara bergiliran setelah suaminya dibunuh di depan matanya.
Perempuan Rohingya berusia 40-an tahun itu diidentifikasi dengan nama pendek “Noor”. Menurutnya, saat operasi militer di desanya di negara bagian Rakhine beberapa bulan lalu, sekitar 20 tentara Myanmar menyerbu rumahnya. Dia dan suaminya ditangkap.
”Mereka membawa saya di halaman rumah. Dua orang menempatkan senapan ke kepala saya, merobek pakaian saya, dan memperkosa saya,” katanya.
“Mereka membantai (suami saya) di depan saya dengan parang. Kemudian tiga orang memperkosa saya. Setelah berselang beberapa waktu, saya mengalami pendarahan parah. Saya mengalai sakit parah di perut bagian bawah dan nyeri di seluruh tubuh,” ujar Noor yang kini berada di pengungsian di Bangladesh.
Perempuan Rohingya lainnya, yang diidentifikasi dengan nama pendek “Ayesha” berusia 20-an tahun juga mengaku menjadi korban pemerkosaan para tentara Myanmar. Menurutnya, para tentara mendatangi rumah-rumah di desanya.
”Mereka mengumpulkan semua perempuan dan mulai memukuli kami dengan tongkat bambu dan menendang kami dengan sepatu mereka. Setelah mengalahkan kami, militer mengambil (saya dan) 15 wanita seusia saya dan kami dipisahkan. Para (tentara) memperkosa saya satu per satu, merobek pakaian saya,” kata Ayesha.
Masih menurut laporan HRW, kekerasan seksual terjadi sedikitnya di sembilan desa di Distrik Maungdaw, negara bagian Rakhine, antara 9 Oktober hingga pertengahan Desember 2016. Para korban tak hanya diserang secara fisik, tapi juga mengalami penghinaan karena etnis atau agamanya.
”Serangan-serangan mengerikan terhadap perempuan dan anak perempuan Rohingya oleh pasukan keamanan ini menambah bab baru sejarah brutal yang panjang dan memuakkan dari militer Burma (Myanmar),” kata peneliti senior HRW, Priyanka Motaparthy.
“Militer dan komandan polisi harus bertanggung jawab atas kejahatan ini jika mereka tidak melakukan segala daya mereka untuk menghentikan atau menghukum mereka yang terlibat,” lanjut dia.
Pemerintah Myanmar belum berkomentar atas laporan terbaru dari HRW. Myanmar sebelumnya berjanji akan menyelidiki laporan serupa yang dirilis kantor HAM PBB.
Laporan HRW salah satunya memuat pengakuan seorang perempuan Rohingnya yang diperkosa para tentara Myanmar dengan todongan senapan di kepalanya. Perempuan itu diperkosa para tentara Myanmar secara bergiliran setelah suaminya dibunuh di depan matanya.
Perempuan Rohingya berusia 40-an tahun itu diidentifikasi dengan nama pendek “Noor”. Menurutnya, saat operasi militer di desanya di negara bagian Rakhine beberapa bulan lalu, sekitar 20 tentara Myanmar menyerbu rumahnya. Dia dan suaminya ditangkap.
”Mereka membawa saya di halaman rumah. Dua orang menempatkan senapan ke kepala saya, merobek pakaian saya, dan memperkosa saya,” katanya.
“Mereka membantai (suami saya) di depan saya dengan parang. Kemudian tiga orang memperkosa saya. Setelah berselang beberapa waktu, saya mengalami pendarahan parah. Saya mengalai sakit parah di perut bagian bawah dan nyeri di seluruh tubuh,” ujar Noor yang kini berada di pengungsian di Bangladesh.
Perempuan Rohingya lainnya, yang diidentifikasi dengan nama pendek “Ayesha” berusia 20-an tahun juga mengaku menjadi korban pemerkosaan para tentara Myanmar. Menurutnya, para tentara mendatangi rumah-rumah di desanya.
”Mereka mengumpulkan semua perempuan dan mulai memukuli kami dengan tongkat bambu dan menendang kami dengan sepatu mereka. Setelah mengalahkan kami, militer mengambil (saya dan) 15 wanita seusia saya dan kami dipisahkan. Para (tentara) memperkosa saya satu per satu, merobek pakaian saya,” kata Ayesha.
Masih menurut laporan HRW, kekerasan seksual terjadi sedikitnya di sembilan desa di Distrik Maungdaw, negara bagian Rakhine, antara 9 Oktober hingga pertengahan Desember 2016. Para korban tak hanya diserang secara fisik, tapi juga mengalami penghinaan karena etnis atau agamanya.
”Serangan-serangan mengerikan terhadap perempuan dan anak perempuan Rohingya oleh pasukan keamanan ini menambah bab baru sejarah brutal yang panjang dan memuakkan dari militer Burma (Myanmar),” kata peneliti senior HRW, Priyanka Motaparthy.
“Militer dan komandan polisi harus bertanggung jawab atas kejahatan ini jika mereka tidak melakukan segala daya mereka untuk menghentikan atau menghukum mereka yang terlibat,” lanjut dia.
Pemerintah Myanmar belum berkomentar atas laporan terbaru dari HRW. Myanmar sebelumnya berjanji akan menyelidiki laporan serupa yang dirilis kantor HAM PBB.
(mas)