Oposisi Suriah Belum Pasti Hadiri Pembicaraan Damai di Jenewa
A
A
A
ASTANA - Rusia, Turki, dan Iran telah berjanji untuk memperkuat gencatan senjata rapuh di Suriah dalam sebuah komunike bersama pasca pertemuan di Astana. Ketiganya juga sepakat kelompok yang mewakili oposisi dalam pertemuan ini akan ikut dalam pembicaraan damai PBB di Jenewa bulan depan.
Menanggapi hal itu seorang penasihat hukum Tentara Pembebasan Suriah, Osama Abu Zaid mengatakan partisipasi oposisi dalam pembicaraan di Jenewa tergantung pada apakah tuntutan mereka disetujui atau tidak. Tuntutan tersebut telah mereka presentasikan kepada Rusia.
"Kami menyajikan skema mekanisme untuk dan melaksanakan gencatan senjata," kata Abu Zaid seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (25/1/2017).
"Rusia telah berjanji untuk meninjau tuntutan kami dalam seminggu dan mengatakan mereka akan membuat keputusan dengan Turki selama pertemuan mereka di Astana selama tujuh hari," tuturnya.
Sebelumnya, pertemuan di Astan menghasilkan komunike bersama. Selain dua hal diatas, komunike itu juga menetapkan pemerintah Suriah dan oposisi sepakat untuk memerangi ISIS dan Front al-Nusra dan memisahkan mereka dari kelompok bersenjata. Namun, pejabat oposisi mengklaim mereka tidak membahas kelompok itu harus dikeluarkan dari gencatan senjata.
Komunike tetap menggunakan nama Front al-Nusra untuk kelompok yang sekarang dikenal sebagai Jabhat Fateh al-Sham. Kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda ini mengubah namannya pada tahun lalu setelah diduga melanggar kesepakatan. Meski terjadi pembelotan besar-besaran dalam beberapa pekan terakhir, Jabhat Fateh al-Sham adalah salah satu kelompok terkuat dan kerap berperang bersama kelompok oposisi.
"Ini adalah pernyataan bersama oleh tiga negara. Kami bukan pihak dalam perjanjian ini. Ini adalah perjanjian antara Rusia, Iran dan Turki. Mereka dapat menandatangani perjanjian yang mereka inginkan. Tapi dari pihak kami, kami mengatakan kami memiliki banyak tuntutan," kata Abu Zeid.
Perwakilan pemberontak juga mengatakan keberhasilan perundingan akan tergantung pada penghapusan semua milisi asing yang didukung Iran dari Suriah. Mereka juga menyatakan keberhasilan perundingan tergantung kemampuan Moskow dan Ankara untuk memastikan bahwa Iran mematuhi perjanjian.
Menanggapi hal itu seorang penasihat hukum Tentara Pembebasan Suriah, Osama Abu Zaid mengatakan partisipasi oposisi dalam pembicaraan di Jenewa tergantung pada apakah tuntutan mereka disetujui atau tidak. Tuntutan tersebut telah mereka presentasikan kepada Rusia.
"Kami menyajikan skema mekanisme untuk dan melaksanakan gencatan senjata," kata Abu Zaid seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (25/1/2017).
"Rusia telah berjanji untuk meninjau tuntutan kami dalam seminggu dan mengatakan mereka akan membuat keputusan dengan Turki selama pertemuan mereka di Astana selama tujuh hari," tuturnya.
Sebelumnya, pertemuan di Astan menghasilkan komunike bersama. Selain dua hal diatas, komunike itu juga menetapkan pemerintah Suriah dan oposisi sepakat untuk memerangi ISIS dan Front al-Nusra dan memisahkan mereka dari kelompok bersenjata. Namun, pejabat oposisi mengklaim mereka tidak membahas kelompok itu harus dikeluarkan dari gencatan senjata.
Komunike tetap menggunakan nama Front al-Nusra untuk kelompok yang sekarang dikenal sebagai Jabhat Fateh al-Sham. Kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda ini mengubah namannya pada tahun lalu setelah diduga melanggar kesepakatan. Meski terjadi pembelotan besar-besaran dalam beberapa pekan terakhir, Jabhat Fateh al-Sham adalah salah satu kelompok terkuat dan kerap berperang bersama kelompok oposisi.
"Ini adalah pernyataan bersama oleh tiga negara. Kami bukan pihak dalam perjanjian ini. Ini adalah perjanjian antara Rusia, Iran dan Turki. Mereka dapat menandatangani perjanjian yang mereka inginkan. Tapi dari pihak kami, kami mengatakan kami memiliki banyak tuntutan," kata Abu Zeid.
Perwakilan pemberontak juga mengatakan keberhasilan perundingan akan tergantung pada penghapusan semua milisi asing yang didukung Iran dari Suriah. Mereka juga menyatakan keberhasilan perundingan tergantung kemampuan Moskow dan Ankara untuk memastikan bahwa Iran mematuhi perjanjian.
(ian)