PBB Kirim Pengawas ke Aleppo
A
A
A
JENEWA - Pemerintah Suriah mengizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengirimkan 20 staf pengawas ke Aleppo timur. Mereka akan memonitor evakuasi ribuan warga yang tengah berjalan. Staf PBB itu akan memastikan tidak ada gangguan selama proses pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga Aleppo.
“Penambahan itu akan melipatgandakan jumlah staf internasional yang ditempatkan di Aleppo,” kata juru bicara PBB Jens Laerke, dilansir Reuters. “Tugas mereka untuk memonitor dan mengawasi evakuasi,” tuturnya.
Laerke mengungkapkan, staf PBB tidak memiliki akses independen untuk mengawasi bus. Tetapi, mereka juga mampu mengakses para pengungsi secara langsung. “Kita akan fokus pada perlindungan pengungsi,” katanya. Staf PBB yang berada di Damaskus langsung akan diberangkatkan ke Aleppo secepatnya.
Keputusan itu menyusul sikap Dewan Keamanan (DK) PBB yang menyepakati pengiriman staf PBB pada Senin (19/12) lalu. 15 anggota DK PBB menyepakati proposal yang diusulkan Prancis agar perlunya melakukan pengawasan evakuasi di Aleppo. Pelaksanaan pengawasan itu dianggap sebagai langkah awal untuk perundingan perdamaian Suriah yang akan digelar pada 8 Februari. Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan, 37.500 pengungsi sudah meninggalkan Aleppo.
Sedangkan, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengungkapkan, sekitar 25.000 warga telah diungsikan dari Aleppo sejak Kamis (15/12) lalu. “Tim ICRC dan Bulan Sabit Arab Suriah yang memimpin evakuasi. Mereka bekerja sepanjang malam,” kata juru bicara ICRC Krista Armstrong kepada Reuters .
ICRC menyatakan, sebanyak 15.000 warga dievakuasi pada Senin (19/12), dan 10.000 orang kemarin mengungsi dengan menggunakan bus. Sedangkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sekitar 43 orang sakit berhasil dievakuasi dari Aleppo timur pada Senin lalu, menambah total korban sakit mencapai 301 pasien. “sebanyak 93 dari 301 pasien dirujuk ke rumah sakit di Turki. Sebagian lainnya dirawat di Idlib,” tutur juru bicara WHO Tarik Jasarevic.
Dia menambahkan, mayoritas pasien mengalami luka trauma, termasuk 67 anak-anak Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) menyebutkan, tidak ada tanda-tanda aliran pengungsi dalam skala besar dari Aleppo menuju Turki. “Seluruh perbatasan Suriah dikawal ketat saat ini. Kita tahu, warga Aleppo akan diizinkan melintasi Turki.
Tapi, kita tidak melihat adanya pergerakan pengungsi Aleppo ke Turki,” ujar juru bicara UNHCR Adrian Edwards. Sementara, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Samantha Power mengatakan, pengiriman staf PBB akan mencegah kejahatan terhadap warga sipil yang meninggalkan Aleppo.
“Sebenarnya pemerintahan Suriah tidak menginginkan banyak pengawas,” katanya. Sedangkan, Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Ja’afari mengungkapkan, resolusi itu merupakan upaya Damaskus. “Beberapa gerilyawan masih bertahan di Aleppo. Tapi, Aleppo kini akan bersih dari gerilyawan,” ungkapnya.
Ribuan warga Suriah yang dievakuasi dari Aleppo itu merupakan hasil kesepakatan antara Turki dan Rusia pada pekan lalu. Dengan diperbolehkan gerilyawan meninggalkan Aleppo, maka kota terbesar kedua di Suriah itu akan dikuasai penuh rezim Assad. Aleppo merupakan kota industri dan komersial yang dilanda perang sejak 2012 antara gerilyawan yang menguasai wilayah timur dan pemerintah di area barat.
Pilihan Sulit
Militer Suriah kemarin meminta gerilyawan dan warga sipil yang masih bertahan di Aleppo agar meninggalkan kota tersebut. “Militer diperkirakan akan masuk ke Aleppo dan membersihkan wilayah tersebut setelah para gerilyawan meninggalkan kawasan tersebut,” demikian sumber militer kepada AFP .
Sumber tersebut juga mengungkapkan, pengumuman itu disampaikan melalui megafon kepada para gerilyawan yang ingin meninggalkan wilayah itu. Selain itu, pemerintah juga menyiarkan ancaman pengusiran kepada gerilyawan melalui media televisi dan radio. “Evakuasi gerilyawan harus dilakukan secepatnya di seluruh Aleppo,” demikian laporan media militer Hizbullah yang berpihak kepada Assad.
Tekanan militer Suriah yang kuat membuat gerilyawan anti- Assad memiliki pilihan sulit. Ketika harus melawan, mereka dipastikan akan kalah. Jika menyerah, mereka harus meninggalkan Aleppo. Sebelumnya mereka menyatakan tidak akan keluar dari kota tersebut. Tapi, mereka tidak akan mengorbankan keluarga dan warga sipil. Pilihan sulit untuk keluar Aleppo menjadi opsi terbaik.
“Kita bertanggung jawab terhadap perempuan, anakanak, dan manula. Kita menghadapi hari-hari yang sulit,” kata komandan kelompok Jabha Samiya di Aleppo timur. Kemudian, Yousef al Ragheb, gerilyawan dari kelompok Fastaqim, mengaku diperintah komandannya untuk membakar seluruh dokumen dan memindahkan peralatan tempur dari kantor pusat. Hal sama juga dilakukan Abdullah Istanbulli, gerilyawan. Dia membakar seluruh furnitur dan seluruh rumahnya agar tidak dijarah. “Kita membakar kenangan kita. Saya tidak ingin ada orang lain tinggal di rumah saya setelah saya pergi,” katanya.
“Penambahan itu akan melipatgandakan jumlah staf internasional yang ditempatkan di Aleppo,” kata juru bicara PBB Jens Laerke, dilansir Reuters. “Tugas mereka untuk memonitor dan mengawasi evakuasi,” tuturnya.
Laerke mengungkapkan, staf PBB tidak memiliki akses independen untuk mengawasi bus. Tetapi, mereka juga mampu mengakses para pengungsi secara langsung. “Kita akan fokus pada perlindungan pengungsi,” katanya. Staf PBB yang berada di Damaskus langsung akan diberangkatkan ke Aleppo secepatnya.
Keputusan itu menyusul sikap Dewan Keamanan (DK) PBB yang menyepakati pengiriman staf PBB pada Senin (19/12) lalu. 15 anggota DK PBB menyepakati proposal yang diusulkan Prancis agar perlunya melakukan pengawasan evakuasi di Aleppo. Pelaksanaan pengawasan itu dianggap sebagai langkah awal untuk perundingan perdamaian Suriah yang akan digelar pada 8 Februari. Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan, 37.500 pengungsi sudah meninggalkan Aleppo.
Sedangkan, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengungkapkan, sekitar 25.000 warga telah diungsikan dari Aleppo sejak Kamis (15/12) lalu. “Tim ICRC dan Bulan Sabit Arab Suriah yang memimpin evakuasi. Mereka bekerja sepanjang malam,” kata juru bicara ICRC Krista Armstrong kepada Reuters .
ICRC menyatakan, sebanyak 15.000 warga dievakuasi pada Senin (19/12), dan 10.000 orang kemarin mengungsi dengan menggunakan bus. Sedangkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sekitar 43 orang sakit berhasil dievakuasi dari Aleppo timur pada Senin lalu, menambah total korban sakit mencapai 301 pasien. “sebanyak 93 dari 301 pasien dirujuk ke rumah sakit di Turki. Sebagian lainnya dirawat di Idlib,” tutur juru bicara WHO Tarik Jasarevic.
Dia menambahkan, mayoritas pasien mengalami luka trauma, termasuk 67 anak-anak Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) menyebutkan, tidak ada tanda-tanda aliran pengungsi dalam skala besar dari Aleppo menuju Turki. “Seluruh perbatasan Suriah dikawal ketat saat ini. Kita tahu, warga Aleppo akan diizinkan melintasi Turki.
Tapi, kita tidak melihat adanya pergerakan pengungsi Aleppo ke Turki,” ujar juru bicara UNHCR Adrian Edwards. Sementara, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Samantha Power mengatakan, pengiriman staf PBB akan mencegah kejahatan terhadap warga sipil yang meninggalkan Aleppo.
“Sebenarnya pemerintahan Suriah tidak menginginkan banyak pengawas,” katanya. Sedangkan, Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Ja’afari mengungkapkan, resolusi itu merupakan upaya Damaskus. “Beberapa gerilyawan masih bertahan di Aleppo. Tapi, Aleppo kini akan bersih dari gerilyawan,” ungkapnya.
Ribuan warga Suriah yang dievakuasi dari Aleppo itu merupakan hasil kesepakatan antara Turki dan Rusia pada pekan lalu. Dengan diperbolehkan gerilyawan meninggalkan Aleppo, maka kota terbesar kedua di Suriah itu akan dikuasai penuh rezim Assad. Aleppo merupakan kota industri dan komersial yang dilanda perang sejak 2012 antara gerilyawan yang menguasai wilayah timur dan pemerintah di area barat.
Pilihan Sulit
Militer Suriah kemarin meminta gerilyawan dan warga sipil yang masih bertahan di Aleppo agar meninggalkan kota tersebut. “Militer diperkirakan akan masuk ke Aleppo dan membersihkan wilayah tersebut setelah para gerilyawan meninggalkan kawasan tersebut,” demikian sumber militer kepada AFP .
Sumber tersebut juga mengungkapkan, pengumuman itu disampaikan melalui megafon kepada para gerilyawan yang ingin meninggalkan wilayah itu. Selain itu, pemerintah juga menyiarkan ancaman pengusiran kepada gerilyawan melalui media televisi dan radio. “Evakuasi gerilyawan harus dilakukan secepatnya di seluruh Aleppo,” demikian laporan media militer Hizbullah yang berpihak kepada Assad.
Tekanan militer Suriah yang kuat membuat gerilyawan anti- Assad memiliki pilihan sulit. Ketika harus melawan, mereka dipastikan akan kalah. Jika menyerah, mereka harus meninggalkan Aleppo. Sebelumnya mereka menyatakan tidak akan keluar dari kota tersebut. Tapi, mereka tidak akan mengorbankan keluarga dan warga sipil. Pilihan sulit untuk keluar Aleppo menjadi opsi terbaik.
“Kita bertanggung jawab terhadap perempuan, anakanak, dan manula. Kita menghadapi hari-hari yang sulit,” kata komandan kelompok Jabha Samiya di Aleppo timur. Kemudian, Yousef al Ragheb, gerilyawan dari kelompok Fastaqim, mengaku diperintah komandannya untuk membakar seluruh dokumen dan memindahkan peralatan tempur dari kantor pusat. Hal sama juga dilakukan Abdullah Istanbulli, gerilyawan. Dia membakar seluruh furnitur dan seluruh rumahnya agar tidak dijarah. “Kita membakar kenangan kita. Saya tidak ingin ada orang lain tinggal di rumah saya setelah saya pergi,” katanya.
(esn)