Tolak Lepas Jilbab, Pekerja di Jerman asal Palestina Dipecat
A
A
A
LUCKENWALDE - Seorang pengungsi perempuan asal Palestina dipecat dari tempat kerjanya di Jerman setelah menolak untuk melepas jilbabnya. Dia dipecat pada hari pertama kerja di kantor balai kota di Jerman.
Pengungsi perempuan berusia 48 tahun itu semestinya kerja magang selama enam minggu. Perempuan yang menolak diidentifikasi itu mengatakan bahwa busana Muslim-nya dianggap telah “melukai netralitas” di tempat kerjanya.
Wali Kota Luckenwalde, Elisabeth Herzog-von der Heide, menjelaskan kepada The Daily Mail, soal “netralitas” dari simbol-simbol agama di tempat kerja.
”Jilbab Islam merupakan sarana ekspresi keyakinan agama, di mana di tempat kami semestinya netral. Kami juga tidak mengizinkan salib di dinding di sini,” ujarnya, yang dikutip Jumat (26/8/2016).
Perempuan Palestina itu menolak melepas jilbab dengan alasan tidak nyaman tampil tanpa penutup kepala di hadapan lelaki.
Herzog-von der Heide mengatakan kepada perempuan magang tersebut, bahwa pihaknya tidak akan mampu memberikan sebuah lingkungan kerja yang cocok sehingga dia dipecat. Menurutnya, perempuan Palestina itu semestinya mengklarifikasi kebijakan dari balai kota.
Keputusan wali kota itu disambut partai sayap kanan Jerman, AFD.
“Jika (symbol Kristen) tidak diizinkan di tempat kerja di balai kota, maka harus ada ada perlakuan khusus bagi umat Islam,” kata anggota parlemen dari partai AFD, Thomas Jung. ”Wali kota, karena kebijakan itu, layak dihormati,” ujarnya.
Meski demikian, seorang anggota parlemen lokal, Sven Petke, mengkritik larangan itu. Menurutnya, tidak ada dasar hukum bagi wanita dilarang mengenakan busana keagamaan. Mahkamah Agung Jerman, kata dia, juga tidak mengeluarkan larangan.
Pengungsi perempuan berusia 48 tahun itu semestinya kerja magang selama enam minggu. Perempuan yang menolak diidentifikasi itu mengatakan bahwa busana Muslim-nya dianggap telah “melukai netralitas” di tempat kerjanya.
Wali Kota Luckenwalde, Elisabeth Herzog-von der Heide, menjelaskan kepada The Daily Mail, soal “netralitas” dari simbol-simbol agama di tempat kerja.
”Jilbab Islam merupakan sarana ekspresi keyakinan agama, di mana di tempat kami semestinya netral. Kami juga tidak mengizinkan salib di dinding di sini,” ujarnya, yang dikutip Jumat (26/8/2016).
Perempuan Palestina itu menolak melepas jilbab dengan alasan tidak nyaman tampil tanpa penutup kepala di hadapan lelaki.
Herzog-von der Heide mengatakan kepada perempuan magang tersebut, bahwa pihaknya tidak akan mampu memberikan sebuah lingkungan kerja yang cocok sehingga dia dipecat. Menurutnya, perempuan Palestina itu semestinya mengklarifikasi kebijakan dari balai kota.
Keputusan wali kota itu disambut partai sayap kanan Jerman, AFD.
“Jika (symbol Kristen) tidak diizinkan di tempat kerja di balai kota, maka harus ada ada perlakuan khusus bagi umat Islam,” kata anggota parlemen dari partai AFD, Thomas Jung. ”Wali kota, karena kebijakan itu, layak dihormati,” ujarnya.
Meski demikian, seorang anggota parlemen lokal, Sven Petke, mengkritik larangan itu. Menurutnya, tidak ada dasar hukum bagi wanita dilarang mengenakan busana keagamaan. Mahkamah Agung Jerman, kata dia, juga tidak mengeluarkan larangan.
(mas)