Foto Wanita Seksi Jadi Bahan Pendidikan Seks Migran di Norwegia
A
A
A
OSLO - Para migran asal Timur Tengah di Norwegia diajari pendidikan seks dengan menampilkan foto wanita cantik berpakaian seksi. Para pengajar menjelaskan pada kaum migran bahwa dengan foto itu, si wanita bukan berarti ingin berhubungan badan.
Para migran diajarkan untuk memahami budaya wanita Barat, seperti gaya berpakaian wanita dalam foto itu. Materi pendidikan seks diberikan pada kaum migran menyusul serangan seks massal pada malam Tahun Baru 2016 di Cologne Jerman oleh kaum migran asal Arab dan Afrika Utara.
Berbicara kepada MailOnline, Linda Hagen, pemimpin pengajar pendidikan seks mengatakan bahwa ada tantangan mengubah pola pikir orang-orang migran yang telah melakukan penyerangan seksual. ”Saya sering menggunakan gambar untuk menjelaskan apa yang kami lakukan,” katanya. ”Semua orang telah mengalami (metode pengajaran ini) di sekolah,” lanjut Hagen, yang dilansir semalam.
Meski diberi penjelasan, bahwa foto wanita seksi itu bukan bermaksud tindakan provokasi untuk melakukan aksi asusila, para peserta didik kerap berkomentar sebaliknya. ”Dia menciumnya, itu undangan untuk berhubungan seks,” bunyi komentar salah seorang migran peserta dididik.”Jika dia menginginkan datang ke tempat saya, itu berarti dia menyetujui,” bunyi komentar migran lainnya.
Hagen pun menanggapi komentar itu. Dia menjelaskan bahwa standar Barat berbeda dengan di negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Hagen percaya bahwa kekerasan seksual massal terjadi karena ada hasutan yang diterima para migran.
”Kita tidak bisa mengubah orang-orang yang melakukan kekerasan, karena mereka sering memiliki masalah yang kompleks,” ujarnya. Menurutnya, orang yang melakukan kekerasan dapat dipisahkan dari massa dan serangan bisa dihentikan.
Menurut Hagen, para pencari suaka ikut tercemar reputasinya akibat kekerasan dan perkosaan di sejumlah wilayah di Eropa. ”Pencari suaka berdiri bersama kami dalam memerangi kekerasan dan perkosaan di masyarakat. Mereka prihatin tentang reputasi mereka sendiri dan ingin berkontribusi di negara baru mereka,” ujarnya.
Dalam materi pendidikan seks itu, para migran diajari untuk membedakan antara komunikasi, interpretasi kode sosial dan simbol-simbol. ”Ide di balik program ini adalah untuk berbicara tentang situasi risiko yang bisa timbul ketika datang ke pemerkosaan dan penyerangan seksual,” katanya.
Para migran juga disodori pertanyaan; ”Apa perbedaan antara cinta dan seks?. Apakah gambar-gambar wanita yang diproyeksikan pada layar membawa ke pikiran tentang bahu tanpa busana dan hal terselubung lainnya?Apakah penggunaan kekerasan sah? Dan bagaimana Anda tahu jika seorang wanita itu setuju untuk berhubungan seksual?”
Para kaum migran yang jadi peserta didik itu dibentuk kelompok diskusi untuk membahas perbedaan budaya Timur Tengah dan Barat, sehingga kesalahpahaman yang berujung pada serangan massal di Cologne tidak terulang.
Para migran diajarkan untuk memahami budaya wanita Barat, seperti gaya berpakaian wanita dalam foto itu. Materi pendidikan seks diberikan pada kaum migran menyusul serangan seks massal pada malam Tahun Baru 2016 di Cologne Jerman oleh kaum migran asal Arab dan Afrika Utara.
Berbicara kepada MailOnline, Linda Hagen, pemimpin pengajar pendidikan seks mengatakan bahwa ada tantangan mengubah pola pikir orang-orang migran yang telah melakukan penyerangan seksual. ”Saya sering menggunakan gambar untuk menjelaskan apa yang kami lakukan,” katanya. ”Semua orang telah mengalami (metode pengajaran ini) di sekolah,” lanjut Hagen, yang dilansir semalam.
Meski diberi penjelasan, bahwa foto wanita seksi itu bukan bermaksud tindakan provokasi untuk melakukan aksi asusila, para peserta didik kerap berkomentar sebaliknya. ”Dia menciumnya, itu undangan untuk berhubungan seks,” bunyi komentar salah seorang migran peserta dididik.”Jika dia menginginkan datang ke tempat saya, itu berarti dia menyetujui,” bunyi komentar migran lainnya.
Hagen pun menanggapi komentar itu. Dia menjelaskan bahwa standar Barat berbeda dengan di negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Hagen percaya bahwa kekerasan seksual massal terjadi karena ada hasutan yang diterima para migran.
”Kita tidak bisa mengubah orang-orang yang melakukan kekerasan, karena mereka sering memiliki masalah yang kompleks,” ujarnya. Menurutnya, orang yang melakukan kekerasan dapat dipisahkan dari massa dan serangan bisa dihentikan.
Menurut Hagen, para pencari suaka ikut tercemar reputasinya akibat kekerasan dan perkosaan di sejumlah wilayah di Eropa. ”Pencari suaka berdiri bersama kami dalam memerangi kekerasan dan perkosaan di masyarakat. Mereka prihatin tentang reputasi mereka sendiri dan ingin berkontribusi di negara baru mereka,” ujarnya.
Dalam materi pendidikan seks itu, para migran diajari untuk membedakan antara komunikasi, interpretasi kode sosial dan simbol-simbol. ”Ide di balik program ini adalah untuk berbicara tentang situasi risiko yang bisa timbul ketika datang ke pemerkosaan dan penyerangan seksual,” katanya.
Para migran juga disodori pertanyaan; ”Apa perbedaan antara cinta dan seks?. Apakah gambar-gambar wanita yang diproyeksikan pada layar membawa ke pikiran tentang bahu tanpa busana dan hal terselubung lainnya?Apakah penggunaan kekerasan sah? Dan bagaimana Anda tahu jika seorang wanita itu setuju untuk berhubungan seksual?”
Para kaum migran yang jadi peserta didik itu dibentuk kelompok diskusi untuk membahas perbedaan budaya Timur Tengah dan Barat, sehingga kesalahpahaman yang berujung pada serangan massal di Cologne tidak terulang.
(mas)