Kisruh Al-Aqsa, Ekstremis Yahudi Merasa Bebas karena Dibiarkan Israel
A
A
A
YERUSALEM - Sejumlah pihak, termasuk anggota parlemen Israel menilai kelompok ekstremis Yahudi leluasa berulah di kompleks Masjid Al-Aqsa yang memicu bentrok dengan jamaah Muslim. Anggota parlemen Israel, Ahmed Tibi, menyatakan kelompok ekstremis Yahudi merasa bebas karena dibiarkan Pemerintah Israel.
Penilaian itu, tidak hanya dalam kasus kekerasan di situs Al-Aqsa, tapi beberapa kasus kekerasan seperti seruan pembakaran gereja oleh pemimpin kelompok ekstremis Yahudi, Ben Zion Gopstein, yang tidak dihukum oleh Pemerintah Israel.
“Itu sebabnya para teroris tak ragu untuk bertindak atau berbicara soal kekerasan dan berperilaku dengan cara kekerasan. Mereka merasa bebas karena tidak ada yang menangkap mereka di masa lalu,” kata Tibi kepada Russia Today, Rabu (30/9/2015).
Profesor teologi Menachem Friedman, menyatakan, ulah ekstremis secara tidak langsung berimbas pada komunitas agama Yahudi yang anti-kekerasan. ”Ketika Anda berbicara tentang ekstremisme Yahudi, Anda tidak berbicara tentang kelompok terisolasi dari kelompok lain di dalam masyarakat Yahudi yang tidak melakukan kekerasan, yang berada di ‘tepi’, beberapa orang ini adalah bagian dari lingkaran yang sah, seperti tokoh masyarakat agama,” katanya.
Sikap berbeda dilakukan Pemerintah Israel kepada warga Palestina yang dianggap terlibat kekerasan di situs Al-Aqsa. “Ada lebih dari 350 warga Palestina yang ditahan oleh penahanan administratif. Hanya tiga pemukim Israel yang ditahan pada bulan lalu. Warga Palestina dibawa ke pengadilan militer di Tepi Barat, pemukim Yahudi tidak,” imbuh Tibi.
Israel sendiri secara resmi sudah mengadopsi UU yang berisi hukuman keras pada orang-orang pelempar batu ke arah pasukan Israel.
Ketegangan di situs Al-Aqsa menyusul aturan kontroversial terkait hak askses ke kompleks masjid suci itu. Aturan itu menetapkan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang dari agama lain bisa masuk ke situs Al-Aqsa pada pukul 07.30-11.30 waktu setempat, tetapi tidak memungkinkan mereka untuk berdoa di dalam masjid.
Namun, warga Palestina mengatakan bahwa orang-orang Yahudi sayap kanan memasuki masjid mulai berdoa. Hal itu dianggap melanggar perjanjian yang sudah berjalan selama 50 tahun. Pelanggaran itulah yang memicu ketegangan di situs Al-Aqsa.
Sikap pembiaran Israel pada kelompok ekstremis Yahudi terlihat jelas pada kasus penyerangan rumah kelurga Palestina di Tepi Barat awal Agustus lalu, di mana bayi 18 bulan bernama Ali Dawabsheh meninggal setelah terbakar hidup-hidup. Orangtuanya meninggal beberapa hari kemudian karena luka-lukanya yang parah.
Sebulan kemudian, pihak berwenang Israel mengaku tahu siapa dalang di balik tragedi itu. Tapi mereka menolak mengungkapnya.
”Kita tahu siapa yang bertanggung jawab, tapi kami tidak mengungkapkan hal itu agar tidak mengekspose kerja badan intelijen. Kami mengalami kesulitan dalam mengumpulkan bukti yang akan diajukan di pengadilan,” kata Menteri Pertahanan Israel, Moshe Ya'alon, kala itu.
Penilaian itu, tidak hanya dalam kasus kekerasan di situs Al-Aqsa, tapi beberapa kasus kekerasan seperti seruan pembakaran gereja oleh pemimpin kelompok ekstremis Yahudi, Ben Zion Gopstein, yang tidak dihukum oleh Pemerintah Israel.
“Itu sebabnya para teroris tak ragu untuk bertindak atau berbicara soal kekerasan dan berperilaku dengan cara kekerasan. Mereka merasa bebas karena tidak ada yang menangkap mereka di masa lalu,” kata Tibi kepada Russia Today, Rabu (30/9/2015).
Profesor teologi Menachem Friedman, menyatakan, ulah ekstremis secara tidak langsung berimbas pada komunitas agama Yahudi yang anti-kekerasan. ”Ketika Anda berbicara tentang ekstremisme Yahudi, Anda tidak berbicara tentang kelompok terisolasi dari kelompok lain di dalam masyarakat Yahudi yang tidak melakukan kekerasan, yang berada di ‘tepi’, beberapa orang ini adalah bagian dari lingkaran yang sah, seperti tokoh masyarakat agama,” katanya.
Sikap berbeda dilakukan Pemerintah Israel kepada warga Palestina yang dianggap terlibat kekerasan di situs Al-Aqsa. “Ada lebih dari 350 warga Palestina yang ditahan oleh penahanan administratif. Hanya tiga pemukim Israel yang ditahan pada bulan lalu. Warga Palestina dibawa ke pengadilan militer di Tepi Barat, pemukim Yahudi tidak,” imbuh Tibi.
Israel sendiri secara resmi sudah mengadopsi UU yang berisi hukuman keras pada orang-orang pelempar batu ke arah pasukan Israel.
Ketegangan di situs Al-Aqsa menyusul aturan kontroversial terkait hak askses ke kompleks masjid suci itu. Aturan itu menetapkan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang dari agama lain bisa masuk ke situs Al-Aqsa pada pukul 07.30-11.30 waktu setempat, tetapi tidak memungkinkan mereka untuk berdoa di dalam masjid.
Namun, warga Palestina mengatakan bahwa orang-orang Yahudi sayap kanan memasuki masjid mulai berdoa. Hal itu dianggap melanggar perjanjian yang sudah berjalan selama 50 tahun. Pelanggaran itulah yang memicu ketegangan di situs Al-Aqsa.
Sikap pembiaran Israel pada kelompok ekstremis Yahudi terlihat jelas pada kasus penyerangan rumah kelurga Palestina di Tepi Barat awal Agustus lalu, di mana bayi 18 bulan bernama Ali Dawabsheh meninggal setelah terbakar hidup-hidup. Orangtuanya meninggal beberapa hari kemudian karena luka-lukanya yang parah.
Sebulan kemudian, pihak berwenang Israel mengaku tahu siapa dalang di balik tragedi itu. Tapi mereka menolak mengungkapnya.
”Kita tahu siapa yang bertanggung jawab, tapi kami tidak mengungkapkan hal itu agar tidak mengekspose kerja badan intelijen. Kami mengalami kesulitan dalam mengumpulkan bukti yang akan diajukan di pengadilan,” kata Menteri Pertahanan Israel, Moshe Ya'alon, kala itu.
(mas)