Georgia Tolak Kembalikan Senjata yang Dipasok Ukraina saat Perang Lawan Rusia
loading...
A
A
A
TBILISI - Georgia , salah satu negara pecahan Uni Soviet, menolak untuk menyerahkan kembali persenjataan yang dipasok Ukraina di tengah perang dengan Rusia .
Kiev memasok senjata ke Tbilisi saat Georgia perang dengan Rusia tahun 2008. Sekarang Ukraina bermaksud meminta kembali senjata itu untuk melawan invasi Moskow.
Kuasa Usaha Ukraina untuk Georgia, Andrey Kasyanov, mengangkat masalah ini dalam sebuah artikel yang ditulis untuk surat kabar Yevropeyskaya Pravda, yang diterbitkan pada hari Senin (9/1/2023).
“Pihak Ukraina konsisten dalam permintaannya kepada semua mitra internasionalnya, termasuk Georgia, untuk penyediaan senjata, peralatan militer, dan amunisi,” tulis Kasyanov.
“Yaitu, Kiev telah meminta untuk menyerahkan kembali sistem Buk [anti-pesawat], yang dipindahkan oleh Ukraina ke Georgia selama perang 2008," lanjut Kasyanov.
Menurut Kasyanov, selain sistem Buk, Ukraina juga meminta Georgia untuk menyediakan peluncur anti-tank Javelin buatan Amerika Serikat (AS).
"Transfer potensial tidak hanya disetujui oleh AS, tetapi Tbilisi juga telah menerima tawaran dari Washington untuk mengganti stok Javelin dengan sistem yang lebih baru," klaim diplomat Ukraina tersebut.
“Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah Georgia dengan tegas menolak untuk memberikan bantuan militer, Ukraina menentang penggunaan masalah ini dalam perselisihan politik internal dan menolak setiap tuduhan upaya untuk menarik Georgia ke dalam perang dengan Rusia,” imbuh Kasyanov, menolak seruan berulang kali dari pejabat tinggi Ukraina agar Tbilisi untuk membuka "front kedua" melawan Moskow.
Salah satu seruan tersebut dilakukan di awal konflik Rusia-Ukraina oleh Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, Alexey Danilov.
Dia menuduh Georgia "berperilaku tidak tepat" dan mengatakan potensi konflik baru atas Ossetia Selatan dan Abkhazia—yang memisahkan diri dari Tbilisi pada 1990-an dan diakui sebagai negara merdeka oleh Rusia setelah perang 2008—pasti akan membantu Kiev.
Georgia telah mengambil sikap netral dalam permusuhan antara Rusia dan Ukraina, menahan diri untuk tidak bergabung dengan sanksi Barat serta menolak seruan Kiev untuk membuka front baru melawan Moskow di Kaukasus Selatan.
Perdana Menteri Georgia Irakly Garibashvili, serta pejabat tinggi lainnya, mengatakan langkah seperti itu hanya akan merugikan negara dan bertentangan dengan kepentingan nasional Georgia.
Kiev memasok senjata ke Tbilisi saat Georgia perang dengan Rusia tahun 2008. Sekarang Ukraina bermaksud meminta kembali senjata itu untuk melawan invasi Moskow.
Kuasa Usaha Ukraina untuk Georgia, Andrey Kasyanov, mengangkat masalah ini dalam sebuah artikel yang ditulis untuk surat kabar Yevropeyskaya Pravda, yang diterbitkan pada hari Senin (9/1/2023).
“Pihak Ukraina konsisten dalam permintaannya kepada semua mitra internasionalnya, termasuk Georgia, untuk penyediaan senjata, peralatan militer, dan amunisi,” tulis Kasyanov.
“Yaitu, Kiev telah meminta untuk menyerahkan kembali sistem Buk [anti-pesawat], yang dipindahkan oleh Ukraina ke Georgia selama perang 2008," lanjut Kasyanov.
Menurut Kasyanov, selain sistem Buk, Ukraina juga meminta Georgia untuk menyediakan peluncur anti-tank Javelin buatan Amerika Serikat (AS).
"Transfer potensial tidak hanya disetujui oleh AS, tetapi Tbilisi juga telah menerima tawaran dari Washington untuk mengganti stok Javelin dengan sistem yang lebih baru," klaim diplomat Ukraina tersebut.
“Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah Georgia dengan tegas menolak untuk memberikan bantuan militer, Ukraina menentang penggunaan masalah ini dalam perselisihan politik internal dan menolak setiap tuduhan upaya untuk menarik Georgia ke dalam perang dengan Rusia,” imbuh Kasyanov, menolak seruan berulang kali dari pejabat tinggi Ukraina agar Tbilisi untuk membuka "front kedua" melawan Moskow.
Salah satu seruan tersebut dilakukan di awal konflik Rusia-Ukraina oleh Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, Alexey Danilov.
Dia menuduh Georgia "berperilaku tidak tepat" dan mengatakan potensi konflik baru atas Ossetia Selatan dan Abkhazia—yang memisahkan diri dari Tbilisi pada 1990-an dan diakui sebagai negara merdeka oleh Rusia setelah perang 2008—pasti akan membantu Kiev.
Georgia telah mengambil sikap netral dalam permusuhan antara Rusia dan Ukraina, menahan diri untuk tidak bergabung dengan sanksi Barat serta menolak seruan Kiev untuk membuka front baru melawan Moskow di Kaukasus Selatan.
Perdana Menteri Georgia Irakly Garibashvili, serta pejabat tinggi lainnya, mengatakan langkah seperti itu hanya akan merugikan negara dan bertentangan dengan kepentingan nasional Georgia.
(min)