Ukraina Coba Tekan Georgia untuk Keroyok Rusia
loading...
A
A
A
TBILISI - Georgia mengungkap bahwa Ukraina mencoba menekannya untuk membuka front kedua melawan Rusia . Dengan demikian, Kiev dan Tblisi bisa mengeroyok Moskow dari dua sisi.
Perdana Menteri Georgia Irakli Garibashvili mengatakan front kedua melawan Moskow mungkin dibuka jika negaranya dikuasai kubu oposisi.
Dalam pidatonya di parlemen pada hari Jumat, Garibashvili mengatakan bahwa upaya Ukraina untuk membuka front kedua melawan Rusia di Georgia adalah bukan interpretasi dan bukan legenda.
“Orang-orang ini [oposisi Georgia] adalah sekutu mereka [pejabat Ukraina]. Bayangkan jika orang-orang ini memimpin pemerintahan Georgia hari ini,” kata Garibashvili, seperti dikutip Russia Today, Sabtu (19/11/2022) .
"Apakah ada yang ragu bahwa 'front kedua' akan dibuka di Georgia, mengubah negara menjadi 'jarak tembak?'"
Tbilisi sejauh ini menahan diri dari mengambil bagian dalam sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia atas operasi militernya di Ukraina, dan Garibashvili menyatakan pada bulan April bahwa negaranya tidak akan bergabung dalam pertempuran, karena akan bertentangan dengan kepentingan nasional Georgia.
Tak lama setelah Rusia melancarkan operasi militernya pada akhir Februari, sejumlah pejabat di Kiev, termasuk sekretaris Dewan Keamanan Nasional Ukraina Aleksey Danilov meminta beberapa negara, termasuk Jepang, Polandia, Moldova, dan Georgia, untuk membuka serangkaian front kedua dengan menyerang Rusia dan merebut wilayah perbatasan seperti Kepulauan Kuril dan Kaliningrad.
Sejauh ini tidak ada negara yang menerima permintaan Kiev.
Rusia menginvasi Ukraina sejak 24 Februari setelah mengutip kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Protokol, yang ditengahi oleh Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014. Mantan Presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui bahwa tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun.
Kiev menegaskan serangan Rusia sama sekali tidak beralasan.
Pada awal Oktober, Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, serta Wilayah Zaporizhzhia dan Kherson, secara resmi menjadi bagian dari Rusia menyusul referendum yang membuat mayoritas penduduk setempat memilih untuk bergabung. Namun, Ukraina dan sekutu Barat-nya tidak mengakui referendum itu, dan mengganggapnya sebagai pencaplokan wilayah oleh Rusia.
Perdana Menteri Georgia Irakli Garibashvili mengatakan front kedua melawan Moskow mungkin dibuka jika negaranya dikuasai kubu oposisi.
Dalam pidatonya di parlemen pada hari Jumat, Garibashvili mengatakan bahwa upaya Ukraina untuk membuka front kedua melawan Rusia di Georgia adalah bukan interpretasi dan bukan legenda.
“Orang-orang ini [oposisi Georgia] adalah sekutu mereka [pejabat Ukraina]. Bayangkan jika orang-orang ini memimpin pemerintahan Georgia hari ini,” kata Garibashvili, seperti dikutip Russia Today, Sabtu (19/11/2022) .
"Apakah ada yang ragu bahwa 'front kedua' akan dibuka di Georgia, mengubah negara menjadi 'jarak tembak?'"
Tbilisi sejauh ini menahan diri dari mengambil bagian dalam sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia atas operasi militernya di Ukraina, dan Garibashvili menyatakan pada bulan April bahwa negaranya tidak akan bergabung dalam pertempuran, karena akan bertentangan dengan kepentingan nasional Georgia.
Tak lama setelah Rusia melancarkan operasi militernya pada akhir Februari, sejumlah pejabat di Kiev, termasuk sekretaris Dewan Keamanan Nasional Ukraina Aleksey Danilov meminta beberapa negara, termasuk Jepang, Polandia, Moldova, dan Georgia, untuk membuka serangkaian front kedua dengan menyerang Rusia dan merebut wilayah perbatasan seperti Kepulauan Kuril dan Kaliningrad.
Sejauh ini tidak ada negara yang menerima permintaan Kiev.
Rusia menginvasi Ukraina sejak 24 Februari setelah mengutip kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Protokol, yang ditengahi oleh Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014. Mantan Presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui bahwa tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun.
Kiev menegaskan serangan Rusia sama sekali tidak beralasan.
Pada awal Oktober, Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, serta Wilayah Zaporizhzhia dan Kherson, secara resmi menjadi bagian dari Rusia menyusul referendum yang membuat mayoritas penduduk setempat memilih untuk bergabung. Namun, Ukraina dan sekutu Barat-nya tidak mengakui referendum itu, dan mengganggapnya sebagai pencaplokan wilayah oleh Rusia.
(min)