Terancam Senjata Barat, Rusia Samakan Perang Ukraina dengan Krisis Rudal Kuba
loading...
A
A
A
MOSKOW - Rusia menyamakan perangnya di Ukraina saat ini dengan Krisis Rudal Kuba 1962 karena alasan yang sama, yakni Moskow terancam oleh senjata Barat.
Persamaan situasi itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
Lavrov berharap Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memiliki kebijaksanaan untuk menghadapi konfrontasi global yang serupa dengan Krisis Rudal Kuba 1962, merujuk pada perang di Ukraina.
Invasi Rusia ke Ukraina telah memicu permusuhan terbesar antara Moskow dan Barat sejak krisis Kuba—ketika Uni Soviet dan Amerika Serikat di ambang perang nuklir.
Pada saat itu, Presiden AS John F Kennedy menemukan bahwa pemimpin Soviet Nikita Khrushchev telah mengerahkan rudal nuklir di Kuba setelah invasi Teluk Babi yang gagal—upaya kudeta yang didukung AS oleh orang-orang buangan Kuba untuk menggulingkan kepemimpinan komunis.
Pada Oktober 1962, seorang kapten kapal selam Soviet ingin meluncurkan senjata nuklir setelah Angkatan Laut AS menjatuhkan muatan kedalaman di sekitar kapal selam.
Kemudian pada hari itu, Kennedy diam-diam setuju untuk menghapus semua rudal AS dari Turki dengan imbalan Khrushchev menghapus hal serupa dari Kuba.
Krisis Rudal Kuba telah diredakan, meskipun menjadi simbol bahaya persaingan negara adidaya dalam Perang Dingin.
Dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter televisi pemerintah Rusia tentang krisis rudal, Lavrov mengatakan ada kesamaan dengan Krisis Rudal Kuba 1962 dengan perang di Ukraina, terutama karena Rusia sekarang terancam oleh senjata Barat.
“Saya berharap dalam situasi hari ini, Presiden Joe Biden akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk memahami siapa yang memberi perintah dan bagaimana caranya,” kata Lavrov, seperti dikutip Reuters, Senin (31/10/2022).
“Situasi ini sangat mengganggu. Perbedaannya adalah bahwa pada tahun 1962 silam, Khrushchev dan Kennedy menemukan kekuatan untuk menunjukkan tanggung jawab dan kebijaksanaan, dan sekarang kita tidak melihat kesiapan seperti itu di pihak Washington dan satelitnya," paparnya.
Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menolak mengomentari pernyataan Lavrov tetapi menunjuk ke komentar masa lalu tentang menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dengan Moskow.
Lavrov mengatakan kepemimpinan Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin, masih siap untuk diskusi tentang Ukraina.
“Kesiapan Rusia, termasuk presidennya, untuk bernegosiasi [tentang Ukraina], tetap tidak berubah,” katanya.
“Kami akan selalu siap untuk mendengarkan proposal apa yang dimiliki mitra Barat kami untuk mengurangi ketegangan.”
Putin mengutip penolakan Barat terhadap kekhawatiran Rusia tentang keamanan Eropa pasca-Soviet, dan khususnya ekspansi aliansi militer NATO ke arah timur, sebagai salah satu penyebab utama konflik.
AS dan sekutu Eropa-nya mengatakan kekhawatiran Rusia berlebihan dan tidak dapat membenarkan invasi terhadap Ukraina yang perbatasannya diakui Moskow setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Persamaan situasi itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
Lavrov berharap Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memiliki kebijaksanaan untuk menghadapi konfrontasi global yang serupa dengan Krisis Rudal Kuba 1962, merujuk pada perang di Ukraina.
Invasi Rusia ke Ukraina telah memicu permusuhan terbesar antara Moskow dan Barat sejak krisis Kuba—ketika Uni Soviet dan Amerika Serikat di ambang perang nuklir.
Pada saat itu, Presiden AS John F Kennedy menemukan bahwa pemimpin Soviet Nikita Khrushchev telah mengerahkan rudal nuklir di Kuba setelah invasi Teluk Babi yang gagal—upaya kudeta yang didukung AS oleh orang-orang buangan Kuba untuk menggulingkan kepemimpinan komunis.
Pada Oktober 1962, seorang kapten kapal selam Soviet ingin meluncurkan senjata nuklir setelah Angkatan Laut AS menjatuhkan muatan kedalaman di sekitar kapal selam.
Kemudian pada hari itu, Kennedy diam-diam setuju untuk menghapus semua rudal AS dari Turki dengan imbalan Khrushchev menghapus hal serupa dari Kuba.
Krisis Rudal Kuba telah diredakan, meskipun menjadi simbol bahaya persaingan negara adidaya dalam Perang Dingin.
Dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter televisi pemerintah Rusia tentang krisis rudal, Lavrov mengatakan ada kesamaan dengan Krisis Rudal Kuba 1962 dengan perang di Ukraina, terutama karena Rusia sekarang terancam oleh senjata Barat.
“Saya berharap dalam situasi hari ini, Presiden Joe Biden akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk memahami siapa yang memberi perintah dan bagaimana caranya,” kata Lavrov, seperti dikutip Reuters, Senin (31/10/2022).
“Situasi ini sangat mengganggu. Perbedaannya adalah bahwa pada tahun 1962 silam, Khrushchev dan Kennedy menemukan kekuatan untuk menunjukkan tanggung jawab dan kebijaksanaan, dan sekarang kita tidak melihat kesiapan seperti itu di pihak Washington dan satelitnya," paparnya.
Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menolak mengomentari pernyataan Lavrov tetapi menunjuk ke komentar masa lalu tentang menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dengan Moskow.
Lavrov mengatakan kepemimpinan Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin, masih siap untuk diskusi tentang Ukraina.
“Kesiapan Rusia, termasuk presidennya, untuk bernegosiasi [tentang Ukraina], tetap tidak berubah,” katanya.
“Kami akan selalu siap untuk mendengarkan proposal apa yang dimiliki mitra Barat kami untuk mengurangi ketegangan.”
Putin mengutip penolakan Barat terhadap kekhawatiran Rusia tentang keamanan Eropa pasca-Soviet, dan khususnya ekspansi aliansi militer NATO ke arah timur, sebagai salah satu penyebab utama konflik.
AS dan sekutu Eropa-nya mengatakan kekhawatiran Rusia berlebihan dan tidak dapat membenarkan invasi terhadap Ukraina yang perbatasannya diakui Moskow setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
(min)