Ini Alasan Israel Takut pada Kelompok Baru Pejuang Palestina Sarang Singa

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 19:28 WIB
loading...
Ini Alasan Israel Takut pada Kelompok Baru Pejuang Palestina Sarang Singa
Kelompok bersenjata pemuda Palestina Sarang Singa berkumpul di kota tua Nablus, foto dipublikasikan pada 3 September 2022. Foto/Lions Den/Telegram
A A A
TEPI BARAT - Judul berita utama di surat kabar Israel, Jerusalem Post, hanya menceritakan sebagian dari kisah: "Sarang Singa, Kelompok Palestina Lainnya Bikin Sakit Kepala Tanpa Akhir untuk Israel dan Otoritas Palestina."

Memang benar bahwa baik pemerintah Israel dan Otoritas Palestina (PA) sama-sama khawatir tentang prospek pemberontakan bersenjata yang meluas di Tepi Barat.

Brigade baru The Lions' Den atau Sarang Singa yang berbasis di Nablus adalah pusat dari gerakan yang dipimpin para pemuda berusia 20-an tahun.



Namun, perlawanan bersenjata yang berkembang di Tepi Barat menyebabkan lebih dari sekadar “sakit kepala” bagi Israel dan Otoritas Palestina.

“Jika fenomena ini terus berkembang, hal itu dapat mengancam keberadaan PA, sementara menempatkan Israel di depan pilihan yang paling sulit sejak invasi kota-kota besar Tepi Barat Palestina pada 2002,” ungkap Dr Ramzy Baroud dalam analisa di Middle East Monitor.

Meskipun komandan militer Israel terus melemahkan kekuatan kelompok yang baru terbentuk itu, mereka tampaknya tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai akar, pengaruh, dan dampaknya di masa depan.



Dalam wawancara baru-baru ini dengan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengklaim Sarang Singa adalah "kelompok 30 anggota", yang pada akhirnya akan dicapai dan dihilangkan. "Kami akan meletakkan tangan kami pada teroris," ujar dia.

Sarang Singa, bagaimanapun, bukanlah kasus yang terisolasi, tetapi bagian dari fenomena yang lebih besar yang mencakup Brigade Nablus, Brigade Jenin dan kelompok lain, yang sebagian besar berlokasi di Tepi Barat bagian utara.

Kelompok tersebut, bersama dengan unit militer bersenjata Palestina lainnya, telah aktif dalam menanggapi pembunuhan warga Palestina, termasuk anak-anak, orang tua, dan pada 14 Oktober saat seorang dokter Palestina, Abdullah Abu Al-Teen, meninggal karena luka-lukanya di Jenin.

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 170 warga Palestina tewas di Tepi Barat dan Gaza, sejak awal tahun 2022.

Tanggapan pejuang Palestina itu termasuk pembunuhan dua tentara Israel, satu tentara di Shuafat pada 8 Oktober, dan satu tentara lainnya di dekat Nablus pada 11 Oktober.

Setelah serangan Shuafat, Israel sepenuhnya menyegel kamp pengungsi Shuafat sebagai bentuk hukuman kolektif, mirip dengan pengepungan baru-baru ini di Jenin dan kota-kota Palestina lainnya.

Media Ibrani Israel, harian Arab Palestina, Al Quds, melaporkan militer Israel akan memfokuskan operasinya dalam beberapa pekan mendatang untuk menargetkan Sarang Singa.

Ribuan tentara Israel kemungkinan akan dikerahkan di Tepi Barat untuk pertempuran yang akan datang.

“Sulit membayangkan bahwa Israel akan memobilisasi banyak tentaranya untuk melawan 30 pejuang Palestina di Nablus. Tapi bukan hanya Israel, PA juga sangat khawatir,” papar Dr Ramzy Baroud.

Dia menambahkan, “Otoritas Palestina telah mencoba tetapi gagal untuk menarik para pejuang dengan menawarkan mereka kesepakatan menyerah, di mana mereka menyerahkan senjata mereka dan bergabung dengan pasukan PA.”

Kesepakatan seperti itu ditawarkan di masa lalu kepada para pejuang yang tergabung dalam Brigade Martir Al Aqsa Fatah, dengan tingkat keberhasilan yang beragam.

“Kali ini, strateginya tidak berhasil. Kelompok tersebut menolak tawaran PA, memaksa gubernur Nablus yang berafiliasi dengan Fatah, Ibrahim Ramadan, untuk menyerang ibu para pejuang dengan menyebut mereka menyimpang karena mengirim putra mereka untuk bunuh diri,” papar Dr Ramzy Baroud.

Bahasa Ramadan yang mirip dengan bahasa yang digunakan oleh orang Israel dan pro-Israel dalam penggambaran mereka tentang masyarakat Palestina, menyoroti perpecahan besar antara wacana politik PA dan orang-orang Palestina biasa.

“PA tidak hanya kehilangan pemahaman narasinya, tetapi juga kehilangan sisa kendali apa pun yang tersisa di Tepi Barat, terutama di Nablus dan Jenin,” ujar Dr Ramzy Baroud.

Seorang pejabat senior Palestina mengatakan kepada Media Line bahwa, "Jalanan Palestina tidak mempercayai kami lagi, karena mereka melihat kami sebagai perpanjangan dari Israel.”

Benar apa yang dikatakan pejabat itu, tetapi kurangnya kepercayaan ini telah terjadi selama bertahun-tahun.

“Persatuan Intifada” pada Mei 2021, bagaimanapun, menjadi titik balik utama dalam hubungan antara PA dan warga biasa Palestina.

Munculnya Sarang Singa dan kelompok bersenjata Palestina lainnya hanyalah beberapa manifestasi dari perubahan dramatis yang sedang berlangsung di Tepi Barat.

Memang, Tepi Barat sedang berubah. Satu generasi baru yang memiliki sedikit atau tidak memiliki ingatan tentang Intifada Kedua (2000-2005), tidak mengalami invasi Israel saat itu tetapi tumbuh di bawah pendudukan dan apartheid Israel, perlawanan di Jenin, Nablus dan Hebron.

Dilihat dari wacana politik, nyanyian, dan simbol mereka, generasi muda ini sudah muak dengan perpecahan Palestina yang melumpuhkan dan seringkali dangkal di antara faksi, ideologi, dan wilayah.

Faktanya, brigade yang baru dibentuk, termasuk Sarang Singa, diyakini sebagai kelompok multi-faksi yang membawa, untuk pertama kalinya, pejuang dari Hamas, Fatah, dan lainnya ke dalam satu platform.

Ini menjelaskan antusiasme rakyat dan kurangnya kecurigaan di antara orang-orang Palestina biasa terhadap para pejuang baru.

Misalnya, Saed Al-Kuni, seorang pejuang Palestina yang baru-baru ini dibunuh oleh tentara Israel dalam penyergapan di luar kota di pinggiran Nablus, adalah anggota Sarang Singa.

Beberapa orang mengklaim Al-Kuni adalah anggota terkemuka Brigade Fatah, dan yang lain mengatakan dia adalah seorang pejuang Hamas yang terkenal.

Kurangnya kepastian mengenai identitas politik para pejuang yang terbunuh ini cukup unik bagi masyarakat Palestina, setidaknya sejak berdirinya PA pada 1994.

Diharapkan, Israel akan melakukan apa yang selalu dilakukannya: mengumpulkan lebih banyak pasukan pendudukan, menyerang, membunuh, menghancurkan protes dan mengepung kota-kota pemberontak dan kamp-kamp pengungsi.

“Apa yang gagal mereka pahami, setidaknya untuk saat ini, adalah pemberontakan yang berkembang di Tepi Barat tidak dihasilkan oleh beberapa pejuang di Nablus dan beberapa lagi di Jenin, tetapi merupakan hasil dari sentimen yang benar-benar popular,” ungkap Dr Ramzy Baroud.

Dalam wawancara dengan Yedioth Ahronoth, diterjemahkan Al-Quds, seorang komandan Israel menggambarkan apa yang dia saksikan di Jenin selama serangan.

"Ketika kami masuk (Jenin), pejuang bersenjata dan pelempar batu menunggu kami di setiap sudut. Semua orang ambil bagian. Anda melihat seorang lelaki tua ... dan Anda bertanya-tanya, apakah dia akan melempar batu? Dan dia melakukannya. Suatu kali, saya melihat seseorang yang tidak punya apa-apa untuk dilemparkan (pada kami). Dia bergegas ke mobilnya, mengambil kardus susu dan melemparkannya ke kami," ujar komandan pasukan Israel itu.

Orang-orang Palestina hanya muak dengan pendudukan Israel dan dengan kepemimpinan mereka yang dianggap berkolaborasi.

“Mereka siap untuk mempertaruhkan semuanya; sebenarnya di Jenin dan Nablus sudah ada. Minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang sangat penting untuk masa depan Tepi Barat dan, pada kenyataannya, untuk semua orang Palestina,” pungkas Dr Ramzy Baroud.

(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1535 seconds (0.1#10.140)