Mengapa Palestina Bersedia Menerima Pengungsi Yahudi yang Diusir Adolf Hitler? Ini Jawabannya
loading...
A
A
A
TEPI BARAT - Holocaust merupakan peristiwa besar sekaligus kejam yang terjadi di tahun 1933 sampai 1945. Peristiwa ini didalangi rezim Nazi Jerman Adolf Hitler.
Melansir laman History, Hitler melihat orang Yahudi merupakan ras lebih rendah dan menjadi ancaman untuk kemurnian ras Jerman.
Maka dari itu, selama bertahun-tahun orang Yahudi mendapat penyiksaan dan dibantai dalam peristiwa Holocaust.
Di tahun 1930-an, setidaknya ada lebih 60 ribu orang Yahudi yang bermigrasi ke Palestina. Sejumlah orang Yahudi pergi ke Palestina secara diam-diam atau dikenal dengan aliyah.
Sebab, jika ketahuan, mereka akan dilenyapkan. Merujuk pada perjanjian Haavara atau perjanjian transfer, orang-orang Yahudi bisa melarikan diri dari penganiayaan Hitler dan rezimnya.
Orang-orang Yahudi juga bisa menyelamatkan sebagian harta bendanya dengan cara melepaskannya sebelum hijrah.
Nantinya, harta itu bisa dialihkan ke Palestina dan diperoleh kembali sebagai barang ekspor Jerman.
Sementara itu, orang Yahudi yang pindah ke Palestina menemui beberapa kendala, salah satunya adalah UU (undang-undang) Jerman yang melarang ekspor mata uang asing.
Zionis menyusun skema pelarian sekitar 18 ribu orang Yahudi asal Eropa Tengah dan Eropa Timur ke Palestina, sepanjang tahun 1937 hingga 1944.
Deklarasi Balfour bisa dijadikan acuan mengapa Palestina menerima pengungsi Yahudi di tanahnya. Deklarasi ini dikeluarkan pemerintah Inggris, tepatnya oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour pada 1917.
Isinya, pemerintah Inggris secara resmi menyatakan dukungannya terkait gagasan menciptakan wilayah Yahudi di Palestina.
“Pemerintahan Yang Mulia mendukung pembentukan di Palestina sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini,” kata Balfour dalam suratnya yang dikirimkan kepada Walter Rothschild, yang merupakan anak pimpinan komunitas Yahudi di Inggris.
Sejak itulah, gelombang imigran Yahudi terus berdatangan hingga mereka membentuk negara Israel di tanah Palestina.
Melansir laman History, Hitler melihat orang Yahudi merupakan ras lebih rendah dan menjadi ancaman untuk kemurnian ras Jerman.
Maka dari itu, selama bertahun-tahun orang Yahudi mendapat penyiksaan dan dibantai dalam peristiwa Holocaust.
Di tahun 1930-an, setidaknya ada lebih 60 ribu orang Yahudi yang bermigrasi ke Palestina. Sejumlah orang Yahudi pergi ke Palestina secara diam-diam atau dikenal dengan aliyah.
Sebab, jika ketahuan, mereka akan dilenyapkan. Merujuk pada perjanjian Haavara atau perjanjian transfer, orang-orang Yahudi bisa melarikan diri dari penganiayaan Hitler dan rezimnya.
Orang-orang Yahudi juga bisa menyelamatkan sebagian harta bendanya dengan cara melepaskannya sebelum hijrah.
Nantinya, harta itu bisa dialihkan ke Palestina dan diperoleh kembali sebagai barang ekspor Jerman.
Sementara itu, orang Yahudi yang pindah ke Palestina menemui beberapa kendala, salah satunya adalah UU (undang-undang) Jerman yang melarang ekspor mata uang asing.
Zionis menyusun skema pelarian sekitar 18 ribu orang Yahudi asal Eropa Tengah dan Eropa Timur ke Palestina, sepanjang tahun 1937 hingga 1944.
Deklarasi Balfour bisa dijadikan acuan mengapa Palestina menerima pengungsi Yahudi di tanahnya. Deklarasi ini dikeluarkan pemerintah Inggris, tepatnya oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour pada 1917.
Isinya, pemerintah Inggris secara resmi menyatakan dukungannya terkait gagasan menciptakan wilayah Yahudi di Palestina.
“Pemerintahan Yang Mulia mendukung pembentukan di Palestina sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini,” kata Balfour dalam suratnya yang dikirimkan kepada Walter Rothschild, yang merupakan anak pimpinan komunitas Yahudi di Inggris.
Sejak itulah, gelombang imigran Yahudi terus berdatangan hingga mereka membentuk negara Israel di tanah Palestina.
(sya)