Turki Balik Tuding Prancis Mainkan Permainan Berbahaya di Libya
loading...
A
A
A
ANKARA - Turki mengecam presiden Prancis Emmanuel Macron atas komentarnya terkait dukungan Ankara untuk pemerintah Libya yang diakui secara internasional.
"Emmanuel Macron menyebut dukungan Turki bagi pemerintah Libya yang diakui secara internasional sebagai 'permainan berbahaya' hanya bisa dijelaskan sebagai 'kemerosotan akal'," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy dalam sebuah pernyataan.
"Dengan mengabaikan hak-hak sah Turki di Mediterania Timur dan mendukung ambisi maksimalis, Prancis hanya meningkatkan ketegangan di kawasan itu alih-alih mempromosikan perdamaian dan stabilitas," tambahnya seperti dikutip dari Anadolu, Selasa (23/6/2020).
Menuduh Paris terlibat dalam kekacauan di Libya, Aksoy mengatakan bukan Turki, tetapi Prancis yang memainkan permainan berbahaya.
Dia mendesak Prancis dan Macron untuk berhenti mempertaruhkan keamanan dan masa depan Libya, Suriah serta Mediterania Timur dan sebaliknya menggunakan saluran dialog yang ada.
Setelah pertemuan dengan Presiden Tunisia Kais Saied di Paris, Macron mengkritik Ankara atas dukungannya bagi pemerintah Libya terhadap jenderal pemberontak Khalifa Haftar, yang didukung oleh Prancis, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Rusia. (Baca: Intevensi Libya, Macron Sebut Turki Mainkan 'Permainan Berbahaya' )
Libya telah dilanda perang saudara sejak penggulingan mendiang penguasa Muammar Gaddafi pada 2011. Pemerintah baru negara itu didirikan pada 2015 di bawah perjanjian yang dipimpin PBB, tetapi upaya penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh kekuatan Haftar.
PBB mengakui pemerintah Libya yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj sebagai otoritas yang sah negara itu ketika Tripoli memerangi milisi Haftar.
Pemerintah Libya meluncurkan Operasi Badai Perdamaian terhadap Haftar pada Maret lalu untuk melawan serangannya di ibu kota Tripoli, dan baru-baru ini membebaskan lokasi-lokasi strategis, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat.
Sejak tahun lalu, beberapa pertemuan tingkat tinggi, yang dikenal sebagai proses perdamaian Berlin, diadakan di Ibu Kota Jerman untuk mengakhiri konflik di Libya, dengan partisipasi kekuatan dunia dan aktor regional.
Uni Eropa menganggap proses negosiasi yang didukung PBB ini satu-satunya cara yang dapat diterima karena didasarkan pada pembicaraan damai dan multilateral.
"Emmanuel Macron menyebut dukungan Turki bagi pemerintah Libya yang diakui secara internasional sebagai 'permainan berbahaya' hanya bisa dijelaskan sebagai 'kemerosotan akal'," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy dalam sebuah pernyataan.
"Dengan mengabaikan hak-hak sah Turki di Mediterania Timur dan mendukung ambisi maksimalis, Prancis hanya meningkatkan ketegangan di kawasan itu alih-alih mempromosikan perdamaian dan stabilitas," tambahnya seperti dikutip dari Anadolu, Selasa (23/6/2020).
Menuduh Paris terlibat dalam kekacauan di Libya, Aksoy mengatakan bukan Turki, tetapi Prancis yang memainkan permainan berbahaya.
Dia mendesak Prancis dan Macron untuk berhenti mempertaruhkan keamanan dan masa depan Libya, Suriah serta Mediterania Timur dan sebaliknya menggunakan saluran dialog yang ada.
Setelah pertemuan dengan Presiden Tunisia Kais Saied di Paris, Macron mengkritik Ankara atas dukungannya bagi pemerintah Libya terhadap jenderal pemberontak Khalifa Haftar, yang didukung oleh Prancis, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Rusia. (Baca: Intevensi Libya, Macron Sebut Turki Mainkan 'Permainan Berbahaya' )
Libya telah dilanda perang saudara sejak penggulingan mendiang penguasa Muammar Gaddafi pada 2011. Pemerintah baru negara itu didirikan pada 2015 di bawah perjanjian yang dipimpin PBB, tetapi upaya penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh kekuatan Haftar.
PBB mengakui pemerintah Libya yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj sebagai otoritas yang sah negara itu ketika Tripoli memerangi milisi Haftar.
Pemerintah Libya meluncurkan Operasi Badai Perdamaian terhadap Haftar pada Maret lalu untuk melawan serangannya di ibu kota Tripoli, dan baru-baru ini membebaskan lokasi-lokasi strategis, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat.
Sejak tahun lalu, beberapa pertemuan tingkat tinggi, yang dikenal sebagai proses perdamaian Berlin, diadakan di Ibu Kota Jerman untuk mengakhiri konflik di Libya, dengan partisipasi kekuatan dunia dan aktor regional.
Uni Eropa menganggap proses negosiasi yang didukung PBB ini satu-satunya cara yang dapat diterima karena didasarkan pada pembicaraan damai dan multilateral.
(ber)