Anggota Parlemen Rusia Ungkap Cara Operasi ke Ukraina Berakhir
loading...
A
A
A
MOSKOW - Serangan militer Moskow di Ukraina bisa berakhir jika Kiev setuju untuk bernegosiasi. Pernyataan itu diungkapkan Kepala Komite Pertahanan Duma Negara Rusia Andrey Kartapolov pada Rabu (1/6/2022).
“Operasi akan berkembang sesuai dengan rencana, dan, saya pikir, akan berakhir ketika kepemimpinan Ukraina saat ini 'matang' untuk negosiasi," ujar Kartapolov dalam wawancara dengan kantor berita RIA Novosti.
Dia mengatakan situasi di lapangan telah berubah dan pasukanUkraina mulai retak.
Putaran terakhir pembicaraan tatap muka antara kedua negara diadakan pada 29 Maret di Istanbul, di mana Kiev mengusulkan menandatangani perjanjian internasional tentang jaminan keamanan untuk Ukraina sebagai imbalan menyetujui status netral yang telah dituntut Rusia sejak sebelum konflik dimulai.
Namun, pembicaraan itu akhirnya gagal dan kedua belah pihak terus saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan dalam negosiasi.
Pada Senin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengundang Moskow dan Kiev untuk mengadakan putaran baru pembicaraan di Istanbul.
Erdogan mencatat proses perdamaian tampaknya membuat setidaknya beberapa kemajuan sebelum gagal.
“Presiden Erdogan menyatakan kesiapan Turki, jika pada prinsipnya disepakati kedua belah pihak, untuk bertemu dengan Rusia, Ukraina dan PBB di Istanbul, dan mengambil peran dalam mekanisme pengamatan yang memungkinkan,” papar direktorat komunikasi kepresidenan Turki.
Rusia menyerang negara tetangga itu menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
“Operasi akan berkembang sesuai dengan rencana, dan, saya pikir, akan berakhir ketika kepemimpinan Ukraina saat ini 'matang' untuk negosiasi," ujar Kartapolov dalam wawancara dengan kantor berita RIA Novosti.
Dia mengatakan situasi di lapangan telah berubah dan pasukanUkraina mulai retak.
Putaran terakhir pembicaraan tatap muka antara kedua negara diadakan pada 29 Maret di Istanbul, di mana Kiev mengusulkan menandatangani perjanjian internasional tentang jaminan keamanan untuk Ukraina sebagai imbalan menyetujui status netral yang telah dituntut Rusia sejak sebelum konflik dimulai.
Namun, pembicaraan itu akhirnya gagal dan kedua belah pihak terus saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan dalam negosiasi.
Pada Senin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengundang Moskow dan Kiev untuk mengadakan putaran baru pembicaraan di Istanbul.
Erdogan mencatat proses perdamaian tampaknya membuat setidaknya beberapa kemajuan sebelum gagal.
“Presiden Erdogan menyatakan kesiapan Turki, jika pada prinsipnya disepakati kedua belah pihak, untuk bertemu dengan Rusia, Ukraina dan PBB di Istanbul, dan mengambil peran dalam mekanisme pengamatan yang memungkinkan,” papar direktorat komunikasi kepresidenan Turki.
Rusia menyerang negara tetangga itu menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
(sya)