Warga Pria Boleh Tinggalkan Ukraina Asal Bayar Rp73 Juta
loading...
A
A
A
KIEV - Warga Ukraina yang memenuhi syarat untuk dinas militer harus diizinkan meninggalkan negara itu dengan melanggar larangan perjalanan aktif, jika mereka dapat membayar beberapa ribu dolar.
Saran itu diungkapkan penasihat Kementerian Dalam Negeri Ukraina Viktor Andrusiv pada Senin (30/5/2022).
Sebagian besar pria Ukraina berusia antara 18 dan 60 tahun tidak dapat bepergian secara legal ke luar tanah air mereka karena darurat militer.
Viktor Andrusiv mengatakan Ukraina perlu memobilisasi "beberapa ratus ribu tentara" untuk melawan Rusia.
“Namun, larangan total saat ini untuk meninggalkan negara itu bagi mereka yang dimobilisasi adalah kebijakan yang buruk,” ujar dia.
“Saya menyarankan untuk memperkenalkan pembayaran asuransi, misalnya USD3.000 hingga USD5.000 (Rp73 juta). Dan jalan bebas hambatan bagi yang membayar,” tulisnya di media sosial.
Meskipun dia menggunakan istilah yang berbeda, mekanisme yang dijelaskan Andrusiv tampaknya mirip dengan jaminan, dengan asumsi uang itu akan dibayarkan kembali kepada mereka yang kembali ke Ukraina.
“Larangan perjalanan mengganggu rencana banyak orang Ukraina, terkadang dengan biaya yang besar bagi mereka dan negara mereka,” papar dia menjelaskan beberapa contoh.
Andrusiv menjelaskan tujuan dari proposalnya adalah untuk meningkatkan arus masuk mata uang asing ke Ukraina.
“Selama bertahun-tahun, uang yang dikirim oleh pekerja tamu kami telah menyelamatkan ekonomi kami, dan pada saat ini sangat penting,” tutur dia.
Ukraina telah melarang semua pria berbadan sehat berusia antara 18 dan 60 tahun untuk meninggalkan negara itu.
Ada pengecualian untuk beberapa orang, seperti pengemudi truk dan pekerja kereta api yang terlibat dalam pengiriman bantuan kemanusiaan dan senjata ke Ukraina, yang secara legal dapat meninggalkan negara itu hingga 30 hari.
Menteri Pertahanan (Menhan) Ukraina Aleksey Reznikov mengatakan bulan ini bahwa militer ingin merekrut sebanyak satu juta orang untuk tentara.
Namun keengganan publik tampaknya menjadi perhatian serius bagi para pemimpin negara.
Rancangan undang-undang yang diajukan ke parlemen Ukraina pada Maret memberikan hukuman penjara hingga 10 tahun karena melintasi perbatasan secara ilegal, dan hukuman yang lebih berat lagi bagi penjaga perbatasan yang memfasilitasi penyeberangan tersebut.
Usulan amandemen kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak menargetkan pengelak wajib militer secara khusus, tetapi hanya akan berhasil dalam darurat militer.
Rusia menyerang negara tetangganya pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Saran itu diungkapkan penasihat Kementerian Dalam Negeri Ukraina Viktor Andrusiv pada Senin (30/5/2022).
Sebagian besar pria Ukraina berusia antara 18 dan 60 tahun tidak dapat bepergian secara legal ke luar tanah air mereka karena darurat militer.
Viktor Andrusiv mengatakan Ukraina perlu memobilisasi "beberapa ratus ribu tentara" untuk melawan Rusia.
“Namun, larangan total saat ini untuk meninggalkan negara itu bagi mereka yang dimobilisasi adalah kebijakan yang buruk,” ujar dia.
“Saya menyarankan untuk memperkenalkan pembayaran asuransi, misalnya USD3.000 hingga USD5.000 (Rp73 juta). Dan jalan bebas hambatan bagi yang membayar,” tulisnya di media sosial.
Meskipun dia menggunakan istilah yang berbeda, mekanisme yang dijelaskan Andrusiv tampaknya mirip dengan jaminan, dengan asumsi uang itu akan dibayarkan kembali kepada mereka yang kembali ke Ukraina.
“Larangan perjalanan mengganggu rencana banyak orang Ukraina, terkadang dengan biaya yang besar bagi mereka dan negara mereka,” papar dia menjelaskan beberapa contoh.
Andrusiv menjelaskan tujuan dari proposalnya adalah untuk meningkatkan arus masuk mata uang asing ke Ukraina.
“Selama bertahun-tahun, uang yang dikirim oleh pekerja tamu kami telah menyelamatkan ekonomi kami, dan pada saat ini sangat penting,” tutur dia.
Ukraina telah melarang semua pria berbadan sehat berusia antara 18 dan 60 tahun untuk meninggalkan negara itu.
Ada pengecualian untuk beberapa orang, seperti pengemudi truk dan pekerja kereta api yang terlibat dalam pengiriman bantuan kemanusiaan dan senjata ke Ukraina, yang secara legal dapat meninggalkan negara itu hingga 30 hari.
Menteri Pertahanan (Menhan) Ukraina Aleksey Reznikov mengatakan bulan ini bahwa militer ingin merekrut sebanyak satu juta orang untuk tentara.
Namun keengganan publik tampaknya menjadi perhatian serius bagi para pemimpin negara.
Rancangan undang-undang yang diajukan ke parlemen Ukraina pada Maret memberikan hukuman penjara hingga 10 tahun karena melintasi perbatasan secara ilegal, dan hukuman yang lebih berat lagi bagi penjaga perbatasan yang memfasilitasi penyeberangan tersebut.
Usulan amandemen kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak menargetkan pengelak wajib militer secara khusus, tetapi hanya akan berhasil dalam darurat militer.
Rusia menyerang negara tetangganya pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
(sya)