Dokumen Ungkap Putin Cegah Obama Ciptakan Negara Palestina
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Sejumlah dokumen dengan status declassified atau secara resmi tidak lagi rahasia mengungkap bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mencegah mantan Barack Obama menciptakan negara Palestina berdasarkan perbatasan 1948.
Pada akhir 2016, Obama yang kala itu Presiden Amerika Serikat (AS) berupaya mengesahkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut Israel melepaskan wilayah Tepi Barat dan menerima resolusi dua negara berdasarkan perbatasan 1948.
Tindakan Putin itu merupakan lobi khusus Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Baca: Netanyahu: Putin Selamatkan Israel dari Resolusi PBB Soal Palestina )
The Jerusalem Post pada Kamis (18/6/2020) melaporkan dokumen-dokumen transkrip percakapan telepon antara mantan penasihat Presiden AS Donald Trump Michael Flynn dan mantan Duta Besar Rusia untuk PBB Sergey Kislyak mengonfirmasi bahwa PM Netanyahu melobi Kremlin dan pemerintahan Trump—pemerintah presiden terpilih AS tahun 2016)—untuk mengekang inisiatif yang menurutnya tidak sesuai dengan kebutuhan keamanan jangka panjang Israel.
Israel, tampaknya, mengetahui langkah yang direncanakan ketika bekerja melawan Resolusi 2334 DK PBB yang dikoordinasikan pemerintahan Obama. Itu adalah resolusi pertama sejak 1979 untuk mengutuk Israel atas kebijakan permukiman. Yang patut diingat, AS abstain dari pemungutan suara DK PBB—memungkinkan jalannya resolusi—dalam salah satu tindakan terakhir Obama sebagai presiden Amerika.
Kebijakan AS secara tradisional adalah sebagai pelindung diplomatik Israel, melindungi negara mayoritas Yahudi itu dari resolusi yang merugikannya. Namun, abstainnya pemerintah Obama kala itu muncul sebagai kejutan, yang menarik reaksi keras dari para pejabat Israel. Bahkan saat itu para pejabat Zionis Israel menggambarkannya sebagai dukungan "resolusi anti-Israel yang ekstrem di belakang punggung Israel yang akan menjadi pemicu teror dan boikot."
Israel Hayom melaporkan awal pekan ini bahwa Netanyahu menghubungi Putin setelah mengetahui tentang rencana Obama, dengan mengatakan perkembangan seperti itu dapat mengacaukan keseimbangan kekuatan yang selalu rapuh di Timur Tengah. Kedua pemimpin telah melakukan kontak dekat untuk mengoordinasikan masalah militer dan keamanan yang berkaitan dengan kehadiran Rusia di Suriah. (Baca juga: Rusia: Perdamaian Berada di Tangan Masyarakat Palestina dan Israel )
Transkrip percakapan telepon Kislyak-Flynn yang dikutip oleh Jerusalem Post mengutip pejabat Rusia yang mengatakan; "Kami ingin menyampaikan kepada Anda dan melalui Anda kepada presiden terpilih bahwa kami memiliki keraguan signifikan tentang gagasan mengadopsi sekarang prinsip-prinsip untuk Timur Tengah bahwa rekan kerja Amerika kita mendorong untuk (itu)."
Menteri Luar Negeri pemerintah Obama kala itu; John Kerry, kemudian menyadari bahwa veto Rusia membuyarkan harapan mereka untuk meloloskan resolusi 2334 DK PBB. (Simak juga: Mahfud MD Tegaskan Kawasan Perbatasan Jadi Perhatian Presiden )
Pada akhir 2016, Obama yang kala itu Presiden Amerika Serikat (AS) berupaya mengesahkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut Israel melepaskan wilayah Tepi Barat dan menerima resolusi dua negara berdasarkan perbatasan 1948.
Tindakan Putin itu merupakan lobi khusus Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Baca: Netanyahu: Putin Selamatkan Israel dari Resolusi PBB Soal Palestina )
The Jerusalem Post pada Kamis (18/6/2020) melaporkan dokumen-dokumen transkrip percakapan telepon antara mantan penasihat Presiden AS Donald Trump Michael Flynn dan mantan Duta Besar Rusia untuk PBB Sergey Kislyak mengonfirmasi bahwa PM Netanyahu melobi Kremlin dan pemerintahan Trump—pemerintah presiden terpilih AS tahun 2016)—untuk mengekang inisiatif yang menurutnya tidak sesuai dengan kebutuhan keamanan jangka panjang Israel.
Israel, tampaknya, mengetahui langkah yang direncanakan ketika bekerja melawan Resolusi 2334 DK PBB yang dikoordinasikan pemerintahan Obama. Itu adalah resolusi pertama sejak 1979 untuk mengutuk Israel atas kebijakan permukiman. Yang patut diingat, AS abstain dari pemungutan suara DK PBB—memungkinkan jalannya resolusi—dalam salah satu tindakan terakhir Obama sebagai presiden Amerika.
Kebijakan AS secara tradisional adalah sebagai pelindung diplomatik Israel, melindungi negara mayoritas Yahudi itu dari resolusi yang merugikannya. Namun, abstainnya pemerintah Obama kala itu muncul sebagai kejutan, yang menarik reaksi keras dari para pejabat Israel. Bahkan saat itu para pejabat Zionis Israel menggambarkannya sebagai dukungan "resolusi anti-Israel yang ekstrem di belakang punggung Israel yang akan menjadi pemicu teror dan boikot."
Israel Hayom melaporkan awal pekan ini bahwa Netanyahu menghubungi Putin setelah mengetahui tentang rencana Obama, dengan mengatakan perkembangan seperti itu dapat mengacaukan keseimbangan kekuatan yang selalu rapuh di Timur Tengah. Kedua pemimpin telah melakukan kontak dekat untuk mengoordinasikan masalah militer dan keamanan yang berkaitan dengan kehadiran Rusia di Suriah. (Baca juga: Rusia: Perdamaian Berada di Tangan Masyarakat Palestina dan Israel )
Transkrip percakapan telepon Kislyak-Flynn yang dikutip oleh Jerusalem Post mengutip pejabat Rusia yang mengatakan; "Kami ingin menyampaikan kepada Anda dan melalui Anda kepada presiden terpilih bahwa kami memiliki keraguan signifikan tentang gagasan mengadopsi sekarang prinsip-prinsip untuk Timur Tengah bahwa rekan kerja Amerika kita mendorong untuk (itu)."
Menteri Luar Negeri pemerintah Obama kala itu; John Kerry, kemudian menyadari bahwa veto Rusia membuyarkan harapan mereka untuk meloloskan resolusi 2334 DK PBB. (Simak juga: Mahfud MD Tegaskan Kawasan Perbatasan Jadi Perhatian Presiden )
(min)