Diperingatkan UE Tak Bantu Rusia dalam Perang Ukraina, Ini Jawaban China
loading...
A
A
A
Li, yang dilansir media pemerintah China; CCTV, mengatakan kepada para pemimpin Uni Eropa bahwa China selalu mencari perdamaian dan mempromosikan negosiasi dan bersedia untuk terus memainkan peran konstruktif dengan komunitas internasional.
Michel mengatakan kedua pihak sepakat bahwa perang, yang disebut Rusia sebagai “operasi militer khusus”, mengancam keamanan dan ekonomi global.
China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi, dan telah berulang kali mengkritik apa yang disebutnya sanksi Barat yang ilegal dan sepihak.
China memiliki kekhawatiran bahwa negara-negara Eropa mengambil isyarat kebijakan luar negeri garis keras dari Washington dan telah meminta UE untuk mengecualikan campur tangan eksternal dari hubungannya dengan China.
Pada 2019, UE tiba-tiba beralih dari bahasa diplomatik yang lembut ke label China sebagai saingan sistemik.
Uni Eropa, Inggris dan Amerika Serikat telah memberikan sanksi kepada pejabat China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah Xinjiang, yang mendorong Beijing untuk membalas dengan cara yang sama, membekukan kesepakatan investasi Uni Eropa-China yang sudah dinegosiasikan.
China sejak itu juga menangguhkan impor dari Lithuania setelah negara Uni Eropa di Baltik itu mengizinkan Taiwan untuk membuka kedutaan de facto di ibu kotanya, membuat marah Beijing yang menganggap pulau yang memerintah sendiri secara demokratis itu sebagai wilayah China.
Von der Leyen mengatakan Beijing perlu mempertahankan tatanan internasional yang telah menjadikan China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.
“Ini adalah momen yang menentukan karena tidak akan ada yang seperti sebelum perang. Sekarang menjadi pertanyaan untuk mengambil sikap yang sangat jelas untuk mendukung dan mempertahankan tatanan berbasis aturan,” katanya.
Lihat Juga: Spesifikasi Kapal Ursa Major Rusia, Disebut Tenggelam di Laut Mediterania karena Diserang Teroris
Michel mengatakan kedua pihak sepakat bahwa perang, yang disebut Rusia sebagai “operasi militer khusus”, mengancam keamanan dan ekonomi global.
China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi, dan telah berulang kali mengkritik apa yang disebutnya sanksi Barat yang ilegal dan sepihak.
China memiliki kekhawatiran bahwa negara-negara Eropa mengambil isyarat kebijakan luar negeri garis keras dari Washington dan telah meminta UE untuk mengecualikan campur tangan eksternal dari hubungannya dengan China.
Pada 2019, UE tiba-tiba beralih dari bahasa diplomatik yang lembut ke label China sebagai saingan sistemik.
Uni Eropa, Inggris dan Amerika Serikat telah memberikan sanksi kepada pejabat China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah Xinjiang, yang mendorong Beijing untuk membalas dengan cara yang sama, membekukan kesepakatan investasi Uni Eropa-China yang sudah dinegosiasikan.
China sejak itu juga menangguhkan impor dari Lithuania setelah negara Uni Eropa di Baltik itu mengizinkan Taiwan untuk membuka kedutaan de facto di ibu kotanya, membuat marah Beijing yang menganggap pulau yang memerintah sendiri secara demokratis itu sebagai wilayah China.
Von der Leyen mengatakan Beijing perlu mempertahankan tatanan internasional yang telah menjadikan China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.
“Ini adalah momen yang menentukan karena tidak akan ada yang seperti sebelum perang. Sekarang menjadi pertanyaan untuk mengambil sikap yang sangat jelas untuk mendukung dan mempertahankan tatanan berbasis aturan,” katanya.
Lihat Juga: Spesifikasi Kapal Ursa Major Rusia, Disebut Tenggelam di Laut Mediterania karena Diserang Teroris
(min)