Republik Luhansk Donbass Ingin Gelar Referendum Gabung Rusia

Senin, 28 Maret 2022 - 20:51 WIB
loading...
Republik Luhansk Donbass Ingin Gelar Referendum Gabung Rusia
Pemimpin Republik Rakyat Luhansk (LPR) Leonid Pasechnik ingin gelar referendum gabung Rusia. Foto/sputnik
A A A
DONBASS - Republik Rakyat Luhansk (LPR) berencana mengadakan referendum untuk bergabung dengan Rusia dalam waktu dekat.

LPR merupakan salah satu dari dua wilayah Donbass yang memisahkan diri dari Ukraina dan diakui kemerdekaannya oleh Moskow pada akhir Februari.

Menurut laporan RT.com pada Senin (28/3/2022), belum ada indikasi Kremlin akan menerima permintaan seperti itu. Bulan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui kemerdekaan LPR, tetapi hampir seluruh dunia menganggapnya masih menjadi bagian dari Ukraina.



Berbicara kepada wartawan pada Minggu, Pemimpin LPR Leonid Pasechnik mengatakan dia berpikir, "Dalam waktu dekat referendum akan diadakan di republik, di mana orang akan menggunakan hak konstitusional mereka yang mutlak, dan memberikan pendapat mereka sehubungan dengan bergabung dengan Rusia."



Pejabat itu menambahkan bahwa dia, “Entah bagaimana yakin itulah yang akan terjadi.”



Mengomentari kemungkinan pemungutan suara seperti itu di LPR, Senator Rusia Andrey Klishas mengatakan pada Minggu bahwa baik Luhansk dan Donetsk memiliki hak untuk bergabung dengan Rusia kecuali jika langkah tersebut bertentangan dengan konstitusi mereka.

Namun, Leonid Kalashnikov, yang mengepalai komite Duma Rusia untuk Urusan Negara Persemakmuran Merdeka, Integrasi Eurasia dan Hubungan dengan Rekan Senegaranya, telah memperingatkan, “Sekarang bukan saat yang tepat” untuk mengadakan referendum di republik tersebut.

Kalashnikov berpendapat, "Anda tidak perlu repot dengan pertanyaan seperti itu ketika takdir sedang ditentukan di garis depan."

Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan LPR mendeklarasikan kemerdekaan pada 2014 setelah kudeta kekerasan di Kiev.

Kedua wilayah tersebut sebagian besar berbahasa Rusia, dan ketakutan tumbuh pada saat elemen nasionalis dalam pemerintahan Ukraina menganiaya etnis minoritas.

Ukraina mencap dua republik yang memisahkan diri itu sebagai separatis dan meluncurkan “operasi anti-teroris”, mengerahkan militernya untuk mendapatkan kembali kendali, yang mengakibatkan perang berdarah.

Permusuhan bersenjata berakhir pada Februari 2015 dengan penandatanganan kesepakatan di ibukota Belarusia, yang disebut perjanjian damai Minsk II, yang ditengahi Jerman dan Prancis.

Kesepakatan itu menuntut agar militer Ukraina dan separatis menghentikan tembakan dan mengakhiri bentrokan, yang telah mengubah wilayah itu menjadi zona konflik.

Dokumen tersebut juga menyerukan reformasi administrasi dan politik besar di Ukraina serta otonomi dan pemilu lokal untuk republik Donbass.

Namun, implementasi perjanjian itu terhenti, dengan kedua belah pihak saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan.

Pada pertengahan Februari 2022, DPR dan LPR mulai melaporkan peningkatan penembakan artileri oleh Ukraina.

Konflik itu memaksa republik Donbass untuk meminta pengakuan resmi dari Rusia, seperti yang diklaim oleh pimpinan masing-masing.

Pada 21 Februari, Moskow mengakui kedua republik sebagai negara merdeka, menandatangani perjanjian persahabatan dengan Donetsk dan Lugansk.

Namun, bagian dari wilayah Donetsk dan Lugansk yang dinyatakan oleh kedua republik sebagai milik mereka dalam konstitusi masing-masing masih berada di bawah kendali Ukraina.

Pada 24 Februari, Putin melancarkan serangan militer di Ukraina. Rusia bersikeras negara tetangga harus "dimiliterisasi dan didenazifikasi".

Rusia mengklaim milisi sayap kanan yang telah menembus pemerintah Ukraina, diduga bertujuan melakukan genosida terhadap penduduk Donbass yang berbahasa Rusia.

Ukraina dan sekutunya menolak tuduhan Putin sebagai dalih belaka, menuduh Moskow melancarkan agresi “tanpa alasan” terhadap negara berdaulat.

(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0981 seconds (0.1#10.140)